Kisah Hoegeng: Tolak Rumah dan Mobil dari Pengusaha Judi Medan

Hoegeng-Imam-Santoso3.jpg
(Via djk.kemenku.go.id)

Laporan: Dwi Fatimah

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Lima puluh delapan tahun Meriyati setia berada di sisi Hoegeng Imam Santoso. Perempuan blasteran Jawa-Belanda itu setia menemani Hoegeng hingga maut menjemput Hoegeng. Ini adalah penuturan Meriyati, tentang pertemuannya dengan Hoegeng.

Dikutip dari buku Dunia Hoegeng ‘100 Tahun Keteladanan’ Meriyati berkisah saat bertemu Hoegeng pertama kali. Saat itu pada tahun 1946 saat Meriyati masih menjadi penyiar di RRI Yogyakarta, bermula saat Bung Karno meminta membuat suatu drama sandiwara radio bertajuk ‘Saijah dan Adinda’, Meriyati bertemu Hoegeng.

Pilihan mencari siapa yang cocok menjadi pemeran sandiwara memang sulit. Pada akhirnya mereka memutuskan yang memerankan Saijah adalah Hoegeng, dan yang menjadi Adinda adalah Meriyati.

Sesi latihan untuk sandiwara diadakan dengan teratur, sederhana dan menggunakan barang-barang seadanya waktu itu. Hoegeng dan Meriyati bermain dengan baik sekali, penuh kasih sayang. Sehingga tumbuh rasa cinta di antara keduanya. Dari sinilah kisah Hoegeng dan Meriyati bermula.

Hoegeng mendekati Meriyati dengan penuh kasih sayang. Ia selalu mengantar Meriyati dari RRI ke rumah dan sebaliknya.

Sesudah menikah, Meriyati dan Hoegeng bertempat tinggal di rumah pak Sutarsono, seorang yang juga dari Kepolisan Angkatan Laut. Hidup sebagai seorang istri dari mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, cukup berat bagi Meriyati. Apa lagi mereka kepalang janji kepada orangtua untuk tidak menerima apa-apa dari mereka.

Saat Meriyati hamil 7 bulan, mereka diminta pulang ke Pekalongan. Sebagai keluarga Jawa, Ibunda Hoegeng berpesan agar mereka kembali ke Pekalongan untuk menggelar hajatan Mitoni karena usia kandungan Meriyati saat itu sudah berumur tujuh bulan.

Namun pada tahun 1947, seketika keadaan ruwet kembali. Agresi Belanda I terjadi saat Belanda mengerahkan ratusan serdadu untuk mengamil alih paksa wilayah Sumatera dan Jawa yang menurut kesepakatan sebelumnya merupakan wilayah Republik Indonesia.

“Rumah kami berada di depan stasiun kereta api Pekalongan, jadi agak bahaya. Kami merasakan kapal terbang mondar-mandir di atas yang menunjukan bahwa ada sesuatu yang belum beres, meski Indonesia saat itu sudah dikatakan merdeka,” kisah Meriyati dikutip dari buku Dunia Hoegeng.

Setelah acara selamatan diadakan, keluarga Hoegeng memilih mengungsi. Sebelum mengungsi, ayah Hoegeng tak ingin peralatan rumah dan mobil miliknya digunakan Belanda.

Ayah Hoegeng yang saat itu menjabat sebagai Kepala Kantor Kejaksaan RI Karesidenan Pekalongan menyiram bensin ke mobil Fiat kesayangannya dan membakarnya hingga menjadi abu.


Dalam perjalanan mengungsi, keluarga Hoegeng dirampok oleh perampok yang bernama Barisan Usung-usung. Mereka mengambil semua yang ada tanpa ampun. Termasuk gigi palsu ayahnda Hoegeng.

Hoegeng sempat ditahan oleh NICA selama tiga minggu. Saat itu NICA ingin mengetahui apa saja kegiatan polisi RI. Saat terjadi genjatan senjata antara Indonesia-Belanda, Hoegeng dilepaskan. Ia memilih pergi kembali ke Yogyakarta dari pada kembali ke Pekalongan.

Saat itu Meriyati sempat ditinggal oleh Hoegeng yang pergi seorang diri ke Yogyakarta. Meriyati tinggal di sebuah garasi bersama Reni di Jalan Kernolong di kawasan Kramat, Jakarta Pusat.

Situasi politik saat itu memang tidak menentu. Pada tanggal 18 September 1948 pecah pemberontakan PKI-Muso di Madiun di mana Hoegeng sebagai mahasiswa PTIK ikut diterjunkan ke sana.

Setelah mengalami kesulitan hidup sebagai mahasiswa, Meriyati menerima ibu-ibu yang ingin dibersihkan wajahnya. Ia pernah melihat di sebuah salon cara membersihkan wajah ibu-ibu. Apa saja dilakukannya hanya untuk sekedar mendapatkan uang. Hingga akhirnya Hoegeng menyelesaikan pendidikan PTIK pada tahun 1952.

Kemudian mereka pindah ke Surabaya. Hoegeng menjabat sebagai kepala DKPN Komdak Jawa Timur sebelum akhirnya diangkat sebagai kepala dengan pangkat Kompol.

“Kami tinggal selama 4 tahun di Surabaya, lalu kami pindah ke Medan Sumatera Utara,” Jelas Meriyati.

Hoegeng dan Meriyati pindah ke Medan menggunakan kapal laut pada tahun 1956. Posisi Hoegeng di Medan sebagai Kadit Reskrim Kanor Polisi Sumatera Utara.

Sebelum berangkat ke Medan Hoegeng mendapat info jika jadi pejabat di Medan akan amat berat karena akan datang pengusaha dunia hitam dengan suap yang menggiurkan.

Benar saja, saat Hoegeng tiba di Medan, datanglah seorang pengusaha dunia hitam yang mengatasnamakan dirinya “ketua panitia selamat datang” mengatakan rumah dan mobil baru telah disediakan untuk Hoegeng. Namun Hoegeng menolaknya. Pengusaha itupun melongo dibuatnya.

Hoegeng dan Meriyati dihadapkan dengan kerusuhan lagi. Puncaknya pada Februari 1958 saat sekelompok tentara yang tidak puas dengan Jakarta karena terlalu sentralis membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Pasukan pemberontak menghujani Polonia dengan mortar di mana beberapa korban berjatuhan, termasuk rombongan Hoegeng. Telepon rumah Hoegeng juga diputus saat itu oleh PRRI.

Saat itu ada anggota polisi yang mendatangi rumah Hoegeng dan menyerahkan baju cokelat berlumuran darah. Sontak Meriyati menangis histeris karena mengira baju itu adalah milik suaminya. Ternyata nama yang terbordir di baju tersebut adalah Sugeng.

Pada bulan Oktober 1959, Hoegeng diperintahkan mengikuti pendidikan Brimob di Porong. Hoegeng dilatih bersama beberapa rekannya. Tak lama pulang dari Porong, ia dimutasi ke Jakarta sebagai Kadit Reskrim Komisariat Daerah Kepolisian Republik Indonesia. Namun, Hoegeng tak pernah secara resmi melakukan serah terima jabatan itu.

Meriyati mencari ide untuk mendapatkan uang tambahan. Kemudian ia mendirikan toko bunga yang diberi nama “Leilani” diambil dari bahasa Hawai yang artinya “bunga surga”

“Kami coba di garasi. Saya mencari bloemist yang terkenal. Dengan sangat sangat sederhana, saya mulai toko bunga itu dengan lambat laun menjadi cukup banyak pelanggan,” Kata Meriyati

Pada tahun 1960, Hoegeng dipanggil oleh Menko Keamana Nasional dan ditanya apakah ia bersedia menjabat Kepala Jawatan Imigrasi. Sebab pada saat itu, Imigrasi sudah dikuasi oleh orang-orang Non-Imigrasi. Hoegeng menjawab siap dengan tanggung jawab itu.

Presiden Soekarno menganggap pembentukan Federasi Malaysia (sekarang Malaysia) merupakan ‘boneka Inggris’. Malaysia dianggap merupakan kolonialisme dan imperialisme dalam bentuk baru. Serta dianggap bisa menjadi gangguan keamanan bagi Indonesia.

“Suatu waktu di Imigrasi dilakukan pelatihan untuk ikut sebagai sukarelawan dalam rangka Dwikora selama seminggu di perbatasan Riau. Kami berangkat dengan grup angkatan laut. grup kami kira kira berisi 20 orang. Bahkan kami dilepas oleh Bung Karno. Itu juga suatu pengalaman yang mengesankan bagi saya.” Kisah Meriyati.