Sosok Hoegeng Jenderal Polisi Berintegritas, Manusia Langka di Era Kekinian

hoegeng.jpg
(republika)

Laporan: Dwi Fatimah 

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Dalam buku Dunia Hoegeng ‘100 Tahun Keteladanan’ karya jurnalis senior, Farouk Arnez menceritakan sosok Hoegeng Imam Santoso. Keteladanan dan intergritas sosok Jendral (Purn) Imam Santoso akan selalu dikenang masyarakat Indonesia.

Hoegeng Iman Santoso meninggalkan warisan tentang keteguhan mempertahankan prinsip, menjaga intergritas dan dedikasi. Kapolri ke-5 menjabat mulai 1968 hingga 1971 adalah sosok langka yang sulit dicari padanannya dari dulu hingga sekarang.

Selain menceritakan tentang sosok sang mantan kapolri, buku ini juga menceritakan dapur keluarga Hoegeng dan sosok humanis sang jendral.

Buku berisi 339 halaman ini berisi tentang testimoni orang-orang terdekat Hoegeng. Juga berisi tiga kasus menonjol di akhir karir Hoegeng sebagai Kapolri dan kebijakan Hoegeng selama menjadi kapolri yang terekam di media masa.

Hoegeng ibarat cermin besar bahwa pernah ada seorang pejabat tinggi, hidup dengan sadik.


Hoegeng Imam Santoso adalah manusia langka di era kekinian. Ia pernah menjabat sejumlah posisi strategis dan basah. Mulai dari Kepala Jawatan Imigrasi, Mentri Luar Negri, Mentri/ Serketaris Kabinet Inti hingga Panglima Angkatan Kepolisian.

Dalam perjalanan sejarahnya, Polri telah melahirkan tokoh polisi yang bersahaja, disiplin, jujur, tak mau kompromi, dan tak gampang tergiur harta. Dia tidak memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan sendiri. Dialah Hoegeng.

Mendiang mantan presiden RI KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah mengatakan, di Indonesia ini hanya ada tiga polisi yang jujur dan tidak bisa disuap. Yakni, patung polisi, polisi tidur dan Hoegeng.

Hoegeng mengajari keluarganya untuk hidup dengan penuh idealisme, anti kompromi, tak mau berkhianat, dan berkongsi dengan kebatilan. Sepak terjangnya yang tidak bisa disetir ini membuatnya kehilangan jabatannya. Ia bahkan bergabung dengan Petisi 50 pada tahun 1980 yang lantang mengkritik penguasa saat itu yang dianggap mulai melenceng.

Hoegeng tak tercemar dengan “uang teman, cuma cuma, tanpa ikatan dan sukarela” ia juga tak kenal dengan “uang adminitrasi” sebab, yang semacam itu selalu ia tolak dengan tegas, apapun dalihnya.

Bahkan, toko bunga “Laeliani” milik sang istri ia minta tutup supaya tak dilarisi orang dengan maksud tertentu saat ia menjabat di Imigrasi. Sang istri belakangan juga dilarang menjadi Ketua Bhayangkari saat dirinya menjabat sebagai Kapolri. Keluarga itu juga tak pernah menetap di rumah dinas Kapolri.

Hoegeng tidak aji mumpung meskipun menjadi pemimpin dan pejabat negara. Dia tidak memanfaatkan jabatannya untuk memberi surat izin bagi putranya menjadi taruna ABRI ketika itu, atau kemudahan bagi putrinya untuk sekadar lolos di perguruan tinggi negeri dengan fasilitas jabatannya. Hingga wafatnya pada 14 Juli 2004, Hoegeng tidak memiliki rekening gendut. Ia hanya memiliki uang pensiun.

Sepak terjang Hoegeng yang tak bisa disetir membuat gerah para ‘tuan besar’. Namun Hoegeng tak pernah menyesali langkahnya sebagaimana ia mengidolakan tokoh wayang Brotoseno yang pantang menyembah.

Akibatnya, jalan hidup “The Singing General” ini semakin terimpit dan terjepit. Ia masuk ke dalam ‘daftar hitam’ pemerintah Orde Baru. Aktivitasnya dibatasi, termasuk dicegah ke luar negeri.

Sebagai pejabat negara dan mantan Kapolri, Hoegeng tak memiliki apa-apa sampai wafatnya, kecuali kejujuran itu sendiri. Kisah hidup dan teladan Hoegeng Iman Santoso tentu bisa menjadi cermin perlunya sosok polisi yang bersahaja, terbuka, jujur, profesional, tanpa kompromi, dan anti-KKN. Keteladanan seorang polisi seperti Hoegeng diperlukan untuk mendorong perubahan.  

Buku ini bagian dari merayakan 100 tahun Hoegeng. Merayakan keteladanan, merayakan kejujuran, merayakan kebenaran.