Heboh Rendang Babi, Ini Sejarah Rendang bagi Masyarakat Minangkabau

rendang3.jpg
(Shutterstock)

Laporan Dwi Fatimah

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Akhir-akhir ini publik dihebohkan dengan rendang babi terutama bagi warga Minangkabau. Pasalnya rendang babi dianggap mencoreng serta melukai adat dan budaya Minangkabau.

Hal ini bermula dari beredarnya foto menu nasi babi yang dijual di restoran online bernama Babiambo.

Sergio, pemilik restoran online Babiambo Mengklarifikasi terkait menu rendang babi yang dijual secara online. Dia menegaskan tidak bermaksud untuk menghina atau melecehkan budaya masyarakat Sumatera Barat.

"Saya mau minta maaf yang sebesar-besarnya. Pertama buat pihak-pihak yang merasa tersinggung karena ini, soalnya benar-benar enggak ada maksud untuk menyinggung," kata Sergio saat ditemui wartawan di kediamannya di Jakarta Utara, Jumat 10 Juni 2022.

Dia tidak menyangka usaha yang dia pasarkan di salah satu aplikasi ojek online menyebabkan kegaduhan.

"Karena keterbatasan knowledge kita juga, kalau ternyata ini akan menyinggung ke arah sana, saya menyesal banget, kalau tahu dari awal bakal begini tidak akan kita lakuin," ujarnya.

Sergio mengatakan, bahwa restoran online miliknya ini buka pada awal tahun 2020 lalu dan hanya bertahan sekitar 4 bulan karena kurang laku.

Lalu, bagaimana sebenarnya sejarah makanan rendang bagi masyarakat Minangkabau? berikut riauonline paparkan penjelasannya:

Rendang merupakan sajian makanan dari ranah Minang, Sumatera Barat. Menurut sejarah, nama "rendang" berasal dari bahasa Minang, yaitu randang. 

Kata randang merujuk pada teknik memasak bernama marandang, yang berarti mengolah dan mengaduk masakan dalam waktu yang lama sehingga hasil masakan menjadi kering. 

Terciptanya kuliner rendang berasal dari hasil akulturasi budaya yang masuk ke Minang. Salah satu kuliner yang sejenis dengan hidangan rendang yaitu kuliner kari dari India. 

Rendang dan masyarakat Minangkabau tak bisa dipisahkan. Kuliner ini sudah menjadi identitas tersendiri ketika menyambut hari-hari besar seperti memasuki bulan puasa dan lebaran.

Rendang juga diakui sebagai makanan terenak di dunia. Pengakuan tersebut otomatis meningkatkan eksistensinya di kancah dunia.

Sebagai masakan tradisi, rendang diduga telah lahir sejak orang Minang menggelar acara adat pertamanya.


Kemudian seni memasak ini berkembang ke kawasan serantau berbudaya Melayu lainnya, mulai dari Mandailing, Riau, Jambi, hingga ke negeri seberang di Negeri Sembilan yang banyak dihuni perantau asal Minangkabau.

Sejarawan Universitas Andalas Prof Gusti Asnan menduga rendang telah menjadi masakan yang tersebar luas sejak orang Minang mulai merantau dan berlayar ke Malaka untuk berdagang pada awal abad ke-16.

"Perjalanan perantau melewati sungai dan memakan waktu lama, randang mungkin menjadi pilihan tepat saat itu sebagai bekal," katanya.

Rendang kering sangat awet dan tahan berbulan lamanya. Rendang semakin terkenal dan tersebar luas sangat jauh melampaui wilayah aslinya berkat budaya merantau suku Minangkabau.

Perantau dari Minangkabau tak sedikit yang membuka usaha rumah makan, di seluruh nusantara bahkan hingga Eropa.

Masyarakat Minang percaya bahwa rendang memiliki 3 makna tentang sikap, yaitu kesabaran, kebijaksanaan, dan ketekunan. Ketiga unsur ini dibutuhkan dalam proses memasak rendang, termasuk memilih bahan-bahan berkualitas untuk membuatnya, sehingga terciptalah masakan dengan citarasa tinggi.

Selain itu, ada makna simbolis lainnya. Filosofi rendang bagi masyarakat Minangkabau adalah musyawarah dan mufakat. 

 

 

Hal ini, dikutip dari buku Randang Bundo (2019) karya Wynda Dwi Amalia, berangkat dari 4 bahan pokok yang melambangkan keutuhan masyarakat Minang. 

Secara simbolik, dagiang (daging) merupakan niniak mamak (para pemimpin suku adat), karambia (kelapa) melambangkan cadiak pandai (kaum Intelektual), lado (cabai) sebagai simbol alim-ulama, dan pemasak (bumbu) menggambarkan keseluruhan masyarakat Minangkabau.