Tolak Sistem Pengupahan dan Ancaman PHK Sepihak PT. Sarana Prima Multi Niaga

Kebun-Sawit.jpg
(Internet)

RIAUONLINE - PT. Sarana Prima Multi Niaga (SPMN) merupakan perkebunan sawit yang memiliki luas lebih kurang 7.714 hektar yang terletak di desa Karang Sari, Kecamatan Paranggean, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah. PT SPMN juga tercatat sebagai anggota Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO).

Baru-baru ini PT. SPMN mengeluarkan kebijakan perubahan mekanisme pengupahan untuk mandor panen dari satuan waktu menjadi satuan hasil. “Kami menolak pengupahan berdasarkan satuan hasil atau tonase. Kalau dengan satuan waktu, upah kami setiap tahun pasti ada kenaikan. Kalau dengan sistem tonase, belum pasti ada kenaikan upah, juga tidak ada upah lembur. Mekanisme pengupahan berdasarkan satuan hasil atau tonase memaksa kami harus mencari buah sebanyaknya. Kalau berdasarkan satuan waktu, upah kami Rp 120.000/hari. Dengan sistem satuan hasil atau tonase, kami harus mengumpulkan buah paling tidak 25 ton/hari agar dapat mencapai upah Rp 120.000. Jika hanya dapat 8 ton saja, maka upah kami hanya Rp 44.000/hari. Kami harus memenuhi target tersebut jika ingin upah hari kerjanya sesuai UMK”, kata Dianto, sekretaris SEPASI (Serikat Pekerja Sawit Indonesia) PT. SPMN.

Buruh PT. SPMN sudah meminta perundingan bipartit dengan manajemen PT. SPMN terkait perubahan mekanisme pengupahan tersebut. “Manajemen perusahaan menolak permintaan kami agar mekanisme pengupahan tetap berdasarkan satuan hasil. Manajemen perusahaan menyatakan mekanisme pengupahan berdasarkan satuan hasil atau tonase akan diterapkan mulai 1 April ini. Untuk itu, seluruh mandor menyepakati untuk tidak bekerja, kami juga menyampaikan kepada pemanen untuk tidak bekerja sampai tuntutan dipenuhi perusahaan”, kata Dianto, melanjutkan.

Zidane, spesialis buruh perkebunan Sawit Watch menyampaikan praktik kerja di PT. SPMN sebagaimana disampaikan oleh pengurus SEPASI merupakan salah bukti perkebunan sawit belum mengimplementasikan sistem kerja dan sistem pengupahan yang menjamin kepastian upah. “Praktik tersebut dapat dikatakan mewakili kondisi kerja buruh perkebunan sawit di Indonesia. Pengupahan berbasis satuan hasil atau target kerja tidak menjamin kepastian upah. Upah buruh akan sangat tergantung pada pencapaian hasil kerjanya, mekanisme pengupahan seperti ini berpotensi besar menyebabkan buruh bekerja melewati waktu kerja normal. Kenapa? karena buruh jadinya dipacu bekerja mengumpulkan hasil sebanyak mungkin agar bisa memenuhi mekanisme, paling tidak sesuai dengan upah normatif. Kami meminta agar PT. SPMN tetap memberlakukan mekanisme pengupahan berdasarkan satuan waktu sebagaimana keinginan buruh”, kata Zidane.


Serikat Pekerja Sawit Indonesia (SEPASI) menduga perubahan mekanisme pengupahan juga menjadi strategi perusahaan melakukan PHK. “Perusahaan mestinya mendengar aspirasi buruh. Dalam pertemuan dengan manajemen perusahaan, kami sudah menyampaikan sikap kami atas perubahan mekanisme pengupahan. Jika kami menolak perubahan mekanisme pengupahan, maka perusahaan bisa saja memberhentikan kami dengan alasan indispliner, dengan alasan tidak menerima perubahan mekanisme pengupahan. Kami menolak intimidasi dan PHK terhadap buruh yang menolak perubahan mekanisme pengupahan”, kata Dianto.

Zidane menyampaikan PT. SPMN sebaiknya membuka ruang dialog dengan serikat. “Serikat buruh telah menyampaikan sikap atas perubahan mekanisme pengupahan. Sebaiknya PT. SPMN membuka ruang dialog dengan serikat. PT. SPMN adalah anggota RSPO, RSPO telah menetapkan prinsip tenaga kerja, seperti tidak ada bentuk kerja paksa, upah dan kondisi untuk buruh memenuhi standar hukum dan cukup untuk memberikan upah yang layak. RSPO juga mewajibkan perusahaan anggotanya untuk mengakui hak untuk berserikat dan untuk melakukan tawar menawar secara kolektif. Tentunya PT. SPMN sebagai anggota RSPO wajib mematuhi prinsip tersebut”, kata Zidane. (