Perambah TNTN Tak Ditahan, Pengacara Ini Soroti Penerapan Ultimum Remedium

TNTN-Pelalawan3.jpg
(Foto: Instagram/@btn_tessonilo via kumparan)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pengacara senior Riau, Aspandiar, angkat suara terkait penerapan asas ultimum remedium dalam kasus perambahan hutan yang tengah menjadi sorotan publik. 

Aspandiar menilai, apabila asas tersebut ditafsirkan sebagai celah bagi pelaku untuk lolos dari jerat hukum pidana, maka itu adalah bentuk penyimpangan serius terhadap semangat dan substansi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025.

Menurutnya, Perpres tersebut secara eksplisit menegaskan bahwa pelanggaran berupa penguasaan kawasan hutan tanpa perizinan berusaha harus dikenakan sanksi secara komprehensif, bukan alternatif.

"Kalau asas ultimum remedium ini diartikan sebagai peluang bagi si perambah hutan untuk lolos dari jeratan hukum, maka jelas itu merupakan penyimpangan dari Perpres No. 5 Tahun 2025. Dan dalam jangka panjang, itu bisa membelokkan semangat dan tujuan dari lahirnya Perpres ini,” ujar Aspandiar dalam keterangannya, Selasa, 8 Juli 2025.

Aspandiar mengutip Pasal 4 ayat (2) huruf c dalam Perpres tersebut, yang menyatakan bahwa pelaku tanpa izin berusaha akan dikenai denda administratif, sanksi pidana sesuai ketentuan perundang-undangan, dan dilakukan penguasaan kembali terhadap kawasan hutan.

Menurutnya, Pasal ini tidak menyatakan bahwa sanksi bisa dipilih salah satu. Sanksi dalam Perpres ini adalah satu kesatuan.

"Artinya, denda administratif, pidana, dan penguasaan kembali terhadap lahan semuanya harus dijalankan bersama-sama. Tidak bisa pidananya diabaikan begitu saja hanya karena pelaku kooperatif atau dikenai sanksi administratif terlebih dahulu,” tegasnya.

Lebih lanjut, ia juga menyinggung Pasal 7 Perpres, yang menyatakan bahwa penertiban kawasan hutan tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana. 


Dengan demikian, upaya-upaya administratif dalam menertibkan kawasan hutan tidak bisa dijadikan dalih untuk menghentikan proses hukum terhadap pelaku.

Meski begitu, Aspandiar tak menampik bahwa keputusan penyidik untuk tidak melakukan penahanan terhadap tersangka bisa saja dilakukan dengan alasan yang sah, seperti pertimbangan subjektif terkait kerja sama tersangka atau alasan kemanusiaan. Namun, ia menegaskan bahwa tidak dilakukan penahanan bukan berarti proses hukum dihentikan.

"Kalau ultimum remedium dijadikan alasan penyidik untuk tidak menahan tersangka, itu masih bisa kita terima. Tapi ini harus digarisbawahi, proses hukumnya tetap harus berjalan. Kecuali kalau status tersangkanya dicabut. Nah, itu baru masalah besar," ujarnya.

"Tapi yang kami lihat, dan yang kita harapkan bersama, proses hukumnya tetap berlanjut. Bahkan, kabarnya SPDP-nya sudah diserahkan ke kejaksaan. Itu yang perlu dikawal,” sambungnya

Namun persoalan menjadi rumit ketika diketahui bahwa perlakuan hukum tidak dilakukan secara setara. 

Aspandiar mempertanyakan alasan penyidik tidak menerapkan perlakuan serupa terhadap tersangka lain berinisial “J”, yang juga diduga kuat melakukan pelanggaran serupa.

"Yang menjadi pertanyaan adalah, apa pertimbangan penyidik sehingga tidak melakukan langkah yang sama terhadap J? Ini yang menimbulkan kecurigaan. Apakah ada perbedaan alat bukti? Atau ada intervensi? Penegakan hukum harus transparan dan adil, tidak boleh tebang pilih," tambahnya.

Aspandiar menegaskan bahwa asas ultimum remedium bukan berarti hukum pidana menjadi pilihan terakhir yang bisa diabaikan begitu saja dalam kasus-kasus kehutanan. 

Sebaliknya, penerapan pidana harus menjadi bagian integral dalam menegakkan keadilan dan menimbulkan efek jera, terlebih pada kasus yang menyangkut kerusakan lingkungan dan kepentingan masyarakat luas.

Ia pun menyerukan agar masyarakat sipil, media, dan lembaga pengawasan hukum terus mengawal proses ini, agar Perpres No. 5 Tahun 2025 tidak menjadi dokumen kosong tanpa implementasi nyata.

"Kita punya aturan yang sudah cukup kuat. Tapi tanpa integritas dan keberanian penegak hukum, semua itu akan jadi sia-sia. Jangan sampai Perpres ini hanya menjadi formalitas yang justru dimanipulasi oleh oknum untuk kepentingan tertentu,” pungkas Aspandiar.