Oleh : Ricky Rahmadia, Penggiat Diskusi
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Di atas jalur panjang yang membelah Sungai Kuantan, Rayyan berdiri, ia tak mendayung, tapi menari. Di tengah deras arus dan sorak sorai, gerak tubuhnya berbisik kepada dunia, bahwa budaya bukan sekedar tontonan, tapi pesan. Viral di media sosial, menembus batas kampung, menebar gelombang kesadaran.
Namun ini bukan hanya tentang Rayyan. Ini adalah tentang bagaimana menciptakan Rayyan-Rayyan lain, bukan semata yang menari di atas jalur, tapi mereka yang menari di atas derak roda-pembangunan. Anak-anak muda yang bukan saja viral di dunia maya, tetapi hadir di dunia nyata, menjadi pemikir dan penggerak tanah kelahiran.
Pacu Jalur bukan sekadar kebanggaan Kuansing. Ia adalah wajah Riau yang paling tulus, warisan budaya yang menembus kalender nasional dan dikenal di kancah internasional. Tapi sayangnya, momentum sebesar ini sering berlalu begitu saja. Infrastruktur seadanya, promosi sekedarnya, dan pengelolaan seperlunya, perhatian datang sering musiman.
Pacu Jalur bukan sebatas nama Kuansing, tetapi nama Riau keseluruhan. Mata dunia hari ini bukan sebatas melihat gerak kayuh Rayyan di jagat maya, tetapi menyebut Kuansing, Riau dan Indonesia. Momentum mengangkat isu, betapa pentingnya Kuansing mendapat perhatian pembangunan bukan sebatas perhatian media social sekali lalu saja.
Banyak negara dan daerah telah membuktikan bahwa wisata budaya adalah jalan ekonomi paling bersih dan paling panjang usianya. Tidak seperti tambang yang menggali dan meninggalkan luka ekologis, tidak seperti hutan yang ditebang dan menyisakan banjir. Budaya membangun tanpa menghancurkan, mengangkat tanpa melukai.
Yogyakarta tidak kaya dengan tambang, tapi kaya narasi. Menghidupi masyarakat dengan seni, tradisi dan pendidikan. Inilah yang seharusnya dipelajari, karena Kuansing tak kalah. Sungainya panjang, kayuhan nya kuat dan masyarakatnya cerdas. Ia hanya butuh satu hal, pengelolaan yang serius dan perhatian yang khusus, seperti jalur yang ditempa sejak awal membuat, hingga dikayuh seirama. Kuansing sejatinya adalah penghasil banyak tokoh, pendidik, akademisi dan orang – orang ternama di Riau.
Pemerintah Kuansing dan tokoh masyarakat harus mengambil pelajaran dari tarian Rayyan. Bukan untuk viral kembali, tapi mengangkat kampung lebih tinggi. Untuk menyusun peta jalan pembangunan yang berakar pada budaya, namun berpijak pada data dan keberlanjutan.
BPS mencatat penduduk miskin di Kuantan Singingi tahun 2023 sebanyak 26.100 jiwa atau sebesar 8,07% dari jumlah penduduk. Kabupaten dengan persentase masyarakat miskin terbesar ke 4 di Riau. APBD Kuansing 2025 tak sampai Rp 2 triliun, tak mencukupi untuk menata dan membangun Kuansing secara menyeluruh, perlu kerja sama semua pihak untuk meminta kue pembangunan dari Pemerintah Pusat dan Provinsi Riau. APBD yang ada tak cukup mengembangkan infrastruktur pendukung, destinasi wisata, memperkuat ekonomi kreatif, dan membangun Sumber daya manusia dan menopang kemiskinan.
Pacu Jalur perlu ruang yang layak, promosi yang terpadu, dan tata kelola yang profesional. Jalannya harus mulus, penginapannya bersih, ceritanya kuat, dan penyambutnya siap. Karena tidak ada budaya yang besar jika hanya dibesarkan oleh semangat lokal. Ia harus diangkat oleh sistem yang berpikir jauh ke depan.
Membangun jalan dan kemudahan akses bukan sebatas membangun fisik, tetapi membangun urat nadi perekonomian, tanpa itu Kuansing hanya bagian cerita ketika Pacu Jalur bergema, setelahnya kembali seperti semula. Layaknya viral di media sosial, setelah itu dilupa ketika dunia maya tertuju pada hal viral lainnya.
Rayyan menari di atas jalur, dan semua tersentuh. Tapi pembangunan tidak cukup hanya dengan satu gerakan viral. Perlu menciptakan lebih banyak Rayyan yang bukan hanya muncul di atas Jalur, tapi yang tumbuh di sekolah, di UMKM, di ruang-ruang inovasi, ruang digital produktif dan banyak ruang kreatifitas lainnya.
Kuansing butuh anak-anak muda yang bangga dengan kampungnya, tapi juga berani membawanya ke pentas dunia, menjadikan budaya bukan sebatas warisan, tapi masa depan.
Pacu Jalur telah lama menjadi pengajaran, bahwa tak ada kemenangan tanpa kayuhan yang serentak. Satu orang tercepat tidak akan cukup jika yang lain tertinggal. Begitu pula Kuansing, ia tak akan maju hanya oleh bupati atau oleh Rayyan, atau satu dua tokoh ternama. Ia hanya akan maju jika mengayuh bersama, dalam satu jalur, dalam satu irama, dalam satu tekad. Pacu Jalur mengajarkan, tak semua perlu didepan, tapi perlu dayung yang serempak.
Tepian Narosa kembali bersuara. Bukan sekadar memanggil pendayung, tapi memanggil para pembangun. Bukan hanya untuk memenangi lomba, tapi untuk membangun peradaban. Membangun Kuansing, mengangkat Riau.