Oleh: Ricky Rahmadia, Penggiat Diskusi yang sedang Belajar Bersyariah
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Idul Adha bukan hanya perayaan ibadah kurban semata, tetapi juga cermin nilai-nilai keadilan sosial dan kepatuhan terhadap syariat. Di sinilah kita menemukan benang merah dengan ekonomi syariah. Dalam ritual kurban, penyembelihan harus sesuai syariat, hewan disembelih dengan cara yang benar, daging didistribusikan tidak hanya kepada Muslim, tetapi juga kepada saudara–saudara kita yang Non Muslim dan kepada siapa pun yang membutuhkan. Sama-sama daging, tapi cara memperolehnya menjadi pembeda utama antara yang halal dan haram. Analogi ini relevan untuk menggambarkan esensi ekonomi syariah. Sama-sama transaksi, sama-sama hasil, tapi syariah menekankan bagaimana proses itu berlangsung.
Namun pemahaman masyarakat tentang ekonomi syariah seringkali terhenti pada tataran simbolik. Sebagian publik menganggap bahwa ekonomi syariah lebih kurang saja dengan ekonomi konvensional kebanyakan. Termasuk persoalan bank syariah yang lebih ditanggapi dengan sekadar ganti nama dari bank konvensional. “Bunga dan Margin sama saja, prosesnya malah lebih rumit,” menjadi narasi yang jamak terdengar. Di sinilah titik kritisnya, ketika esensi ekonomi syariah dipahami secara sekedarnya, maka kritik yang muncul akan bersifat superfisial.
Data Lembaga Survei Cigmark tahun 2024 menjadi potret penting yang patut direnungkan. Dari 600 responden yang disurvei menggunakan metode multistage random sampling dengan margin of error 4,1%, mengukur tingkat preferensi masyarakat tentang perbankan di Provinsi Riau yang berbudaya Melayu dan notabene beragama mayoritas Islam, diperoleh hasil bahwa 46,8% memilih bank konvensional, 37,2% memilih bank syariah, dan 16% tidak tahu/tidak menjawab. Artinya, preferensi terhadap perbankan syariah masih berada di bawah perbankan konvensional.
Ketika dilihat dari lokasi tempat tinggal, masyarakat perkotaan lebih banyak memilih perbankan syariah (43,4%) dibandingkan dengan bank konvensional (39,7%) dan 16,9% tidak menjawab. Sementara masyarakat desa lebih memilih bank konvensional (53,5%) dibanding bank syariah (31,3%) dan 15,2% nya tidak menjawab. Hal ini menunjukkan adanya gap literasi dan akses. Bank syariah lebih terjangkau di kota, sementara di desa tidak hanya soal lokasi, tapi juga minimnya informasi yang mereka terima.
Menariknya, ketika dikaji berdasarkan tingkat pendidikan, preferensi terhadap bank syariah meningkat tajam. Masyarakat dengan pendidikan D3 memilih bank syariah sebesar 78,6%, dan hanya 21,4% memilih konvensional. Di kelompok masyarakat dengan pendidikan S1 atau lebih tinggi, 68,8% memilih bank syariah, 25% memilih bank konvensional, dan 6,3% tidak menjawab. Meski proporsi kelompok berpendidikan tinggi ini hanya 7,6% dari total populasi, data ini menunjukkan bahwa pendidikan memiliki pengaruh signifikan terhadap literasi dan preferensi perbankan syariah. Ini adalah ruang besar untuk penguatan edukasi publik.
Ironi lain yang menyertai stagnasi ekonomi syariah adalah absennya pemikiran ekonomi Islam dalam khazanah akademik. Dalam literatur ekonomi global, tokoh-tokoh seperti Adam Smith, Karl Marx, dan Keynes begitu dominan. Namun nama-nama seperti Ibn Khaldun, Al-Ghazali, atau Abu Ubayd jarang dimasukkan dalam buku-buku teks ekonomi modern. Padahal pemikiran mereka sangat fundamental, dari mulai prinsip keadilan dalam distribusi kekayaan hingga konsep pasar yang etis dan transparan.
Di Indonesia sendiri, pembahasan ekonomi Islam di bangku kuliah seringkali tidak menjadi bagian utama dari sistem ekonomi. Yang dibahas secara dominan masih kapitalisme dan sosialisme. Akibatnya, generasi muda tidak mendapatkan cukup pemahaman mengenai sistem ekonomi yang justru lahir dari akar agamanya sendiri.
Sejarah mencatat bahwa dunia Islam bukan hanya pelaku ekonomi, tapi juga pelopor sistem ekonomi. Konsep seperti ‘cek’ (sakk) yang digunakan dalam sistem dagang Arab pada masa keemasan Islam diadopsi oleh Eropa dan menjadi cikal bakal cek modern. Begitu pula prinsip partnership atau musyarakah dalam perdagangan, yang menjadi rujukan sistem bisnis kontemporer.
Ironisnya, sebagian besar inovasi ekonomi ini kini diakui sebagai bagian dari sistem kapitalis atau sosialis, tanpa menyebut akar sejarahnya dalam peradaban Islam. Adam Smith, dalam pengantar Wealth of Nations, mengagumi bagaimana bangsa Arab abad pertengahan membangun sistem dagang yang jujur dan terbuka, menjadikannya model bagi perekonomian modern.
Saat banyak negara Barat mulai mengadopsi prinsip-prinsip syariah, seperti ethical banking, risk-sharing dan pelarangan riba dalam bentuk tertentu, justru di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, bank syariah masih dianggap asing oleh sebagian masyarakat. Beberapa negara Eropa bahkan memiliki unit perbankan syariah, dan lembaga keuangan dunia mulai melirik sistem ini sebagai solusi krisis moral ekonomi modern.
Namun masyarakat kita masih disibukkan dengan debat margin dan biaya. Masyarakat lebih takut makan daging babi daripada daging sapi yang tidak disembelih secara syariat. Padahal keduanya sama-sama haram. Kita lebih khawatir pada apa yang tampak, dan mengabaikan proses yang seharusnya menjadi landasan.
Kritik terhadap bank syariah memang perlu didengar. Prosedur yang rumit, margin yang serupa dengan bank konvensional, hingga layanan yang belum sepenuhnya optimal. Namun kita juga harus jujur bahwa bank syariah sedang berproses. Sebagai sistem yang masih muda, ia harus berhadapan dengan raksasa konvensional yang jauh lebih mapan dalam modal, jaringan, dan teknologi. Ini adalah adu intelektual dan adu daya saing, bukan semata adu label.
Kegagalan Bank Muamalat sebagai pelopor juga menjadi PR besar. Bank ini membuka jalan, tapi tak otomatis berhasil menaklukkan pasar. Ia tetap menjadi batu loncatan penting dalam sejarah, bahwa yang pertama tak selalu paling sukses, tapi perlu dicatat dalam sejarah sebagai pembuka jalan.
Kita perlu menyadari bahwa bersyariah bukanlah tentang kesempurnaan, tetapi tentang menapaki perjalan menuju kesempurnaan. Tidak ada sistem ekonomi yang benar-benar sempurna, tetapi ekonomi syariah adalah satu-satunya sistem yang menjadi bagian dari kepatuhan agama. Ia bukan sekadar alternatif, tapi manifestasi nilai hidup.
Idul Adha menjadi pengingat bahwa setiap proses harus bernilai. Menyembelih hewan kurban bukan hanya soal darah dan daging, tapi juga soal cara. Begitu pula ekonomi syariah, bukan semata soal margin dan keuntungan, tetapi tentang kehalalan, keadilan, dan keberkahan. Inilah refleksi ekonomi syariah, penuh harapan, tapi juga tidak luput dari kritikan.