Oleh: Dahlan Tampubolon, Pengamat Ekonomi Universitas Riau
RIAU ONLINE - PEKANBARU - Participating Interest (PI) 10 % merupakan peluang emas bagi daerah penghasil Minyak dan Gas (Migas) untuk memperkuat kemandirian fiskal, meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), serta mendorong pembangunan ekonomi daerah secara berkelanjutan.
Namun, sayangnya apa seharusnya menjadi berkah justru mulai menjelma menjadi sumber masalah baru. Penyalahgunaan dan tata kelola yang buruk.
Secara hukum, PI telah diatur dalam regulasi sektor Migas hulu, termasuk Peraturan Menteri ESDM tentang Participating Interest. Regulasi tersebut menjadi acuan dalam penetapan BUMD penerima PI, besaran maksimal (10 %), serta mekanisme pencairan dan bagi hasilnya.
Untuk Provinsi Riau, pencairan tahap pertama PI dilakukan untuk periode operasional PHR 9 Agustus 2021 hingga 31 Desember 2023 dan telah dicairkan pada 13 Desember 2023. Tahap kedua mencakup periode Januari–Desember 2023 dengan nilai mencapai Rp 3,5 triliun.
Sebagai dana “fresh funds” yang bersumber dari kekayaan alam daerah, PI 10 Persen semestinya dikelola dengan prinsip transparansi, akuntabilitas, dan efisiensi. Dana ini dapat digunakan untuk investasi sektor riil, pembangunan infrastruktur, pendidikan, peningkatan kapasitas SDM lokal, hingga mendorong pertumbuhan UMKM. Namun, kenyataan di lapangan jauh dari harapan.
Kasus SPRH: Cerminan Buruknya Tata Kelola PI
Kasus dugaan penyalahgunaan dana PI sebesar Rp 551 miliar oleh PT Sarana Pembangunan Rokan Hilir (SPRH) menunjukkan betapa rapuhnya sistem pengawasan internal BUMD.
Dugaan penarikan dana secara tunai dari rekening perusahaan, transfer ke rekening pribadi atau pihak ketiga tanpa dasar hukum dan pertanggungjawaban yang sah, serta pembelian lahan kelapa sawit fiktif, merupakan indikasi kuat adanya korupsi secara sistematis.
Ini bukan hanya pelanggaran administratif semata, melainkan juga bentuk nyata dari penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian tanggung jawab terhadap dana public yang dikelola oleh BUMD pengelola PI 10 Persen.
Jika benar dana tersebut digunakan di luar Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP) tanpa persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS, maka tata kelola SPRH sudah sangat bermasalah.
Lebih ironis lagi, pengawasan seharusnya dilakukan oleh Dewan Komisaris nyaris tak terdengar. Ini memperlihatkan Pemda sebagai pemilik BUMD gagal menempatkan orang-orang yang kompeten dan berintegritas.
Riau bukan satu-satunya wilayah menghadapi persoalan ini. Di Jawa Barat, PT Migas Utama Jabar (MUJ) mengalami kerugian Rp 86,2 miliar setelah anak usahanya, PT Energi Negeri Mandiri (ENM), gagal dalam proyek kerja sama subkontrak dengan PT Serba Dinamik Indonesia untuk pengadaan barang dan jasa kilang migas.
Di Lampung, PT Lampung Jaya Utama (LJU) sebagai penerima PI dari wilayah kerja Offshore South East Sumatera (WK OSES) juga terseret persoalan. Dividen sebesar Rp196,98 miliar dari anak usahanya PT Lampung Energi Berjaya (LEB), hanya sebagian dilaporkan masuk ke kas daerah. Sisanya, sekitar Rp56 miliar, belum jelas rimbanya.
Potensi Besar, Tapi Rentan Jadi Bancakan dan Disalahgunakan
Dana PI 10 Persen memiliki potensi luar biasa untuk memperkuat fondasi ekonomi daerah jika dikelola secara benar.
Beberapa skema strategis bisa dilakukan antara lain:
-
Beasiswa penuh untuk putra-putri daerah di bidang teknik, energi, pertanian, kesehatan, dan IT. Pusat pelatihan keterampilan berbasis kebutuhan industri lokal, modernisasi pertanian dan hilirisasi komoditas unggulan.
-
Pengembangan energi terbarukan seperti surya, biomassa, dan mikrohidro dan pembentukan dana abadi daerah, dengan hanya hasil investasinya yang digunakan untuk pembiayaan pembangunan jangka panjang.
Namun semua itu akan sia-sia jika sistem pengawasan BUMD tidak diperkuat. Audit forensik atas transaksi PI harus dilakukan menyeluruh, tidak hanya di SPRH, tetapi di seluruh BUMD pengelola PI, termasuk BUMD milik Pemprov Riau, PT Riau Petroleum.
Kita juga perlu membangun sistem check and balance yang kuat, termasuk pelaporan keuangan secara transparan, audit berkala, dan mekanisme whistleblower yang berjalan efektif.
Pertanyaan sering muncul, “Apa yang sudah diberikan pusat kepada kita?” Maka jawabannya adalah Participating Interest. Namun sebenarnya yang terjadi, alih-alih menjadi alat pemberdayaan, PI justru menjadi ladang pembibitan korupsi di daerah.
Sudah saatnya kita berhenti menyalahkan pusat dan mulai membenahi rumah tangga kita sendiri. Jangan biarkan dana sebesar ini jadi bancakan, dikuasai segelintir orang yang tak paham, tak peduli, dan tak bertanggung jawab. Jika pengawasan tidak diperketat dan integritas tidak dijaga, maka PI akan terus menjadi kutukan, bukan berkah.