Menanti Langkah Lanjutan Satgas PKH di Riau

Hasan-Supriyanto2.jpg
(Dok. Pribadi)

Oleh: Hasan Supriyanto, Sekretaris Wilayah Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Wilayah Riau

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Keberadaan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) yang dibentuk Presiden Prabowo Subianto berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan yang terbit pada tanggal 21 Januari 2025 lalu menjadi perhatian publik. Salah satu tujuannya pembentukan satgas ini adalah mengembalikan kawasan hutan yang telah disalahgunakan ke fungsi aslinya. Kiprah Satgas PKH menjadi perhatian publik termasuk di Provinsi Riau. Berbagai elemen dan kelompok masyarakat bereaksi dengan apa yang sudah dilakukan Satgas PKH.

Reaksi yang  paling menarik perhatian masyarakat Riau adalah ketika Satgas PKH melakukan langkah penindakan di Kawasan hutan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN). Langkah  progresif Satgas PKH menancapkan plang penguasaan di sejumlah kawasan hutan konservasi menjadi bukti nyata keseriusan satgas. Langkah Satgas PKH menjadi pembicaraan di banyak tempat dan berbagai kalangan termasuk masyarakat awam yang tidak begitu mengetahui keberadaan kawasan hutan.

Reaksi keras dilakukan masyarakat yang saat ini sudah terlanjur berada di kawasan tersebut. Demo besar-besaran juga sudah dilakukan masyarakat setempat. Berbagai spekulasi muncul pasca demo termasuk spekulasi adanya aktor intelektual dibalik demo tersebut. Namun terlepas dari itu semua, reaksi ini patut menjadi perhatian berbagai pihak termasuk Satgas PKH. Pemerintah Provinsi Riau dan Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkompida) juga turut merespon kondisi tersebut. Salah satu penekanan jajaran Pemerintah Provinsi adalah bagaimana relokasi masyarakat yang juga menjadi target Satgas PKH.

Sebenarnya upaya penegakan hukum untuk mengembalikan kawasan hutan sudah dilakukan pihak terkait sejak beberapa tahun lalu. Salah satunya adalah yang dilakukan Balai Taman Nasional Tesso Nilo yang merupakan salah satu UPT Kementerian Kehutanan. Namun langkah ini tidak optimal karena mendapat penolakan yang serius dari masyarakat yang sudah berada di Kawasan. Beberapa peristiwa intimidasi dirasakan jajaran UPT Balai Taman Nasional Tesso Nilo, mulai dari pembakaran mobil operasional hingga ancaman pembunuhan.

Upaya penegakan hukum juga sudah dilakukan terhadap pihak-pihak yang sudah melakukan penyalahgunaan kekuasaan yang menyebabkan terjadinya alih fungsi hutan. Beberapa kepala  desa, tokoh masyarakat termasuk tokoh adat telah diputus bersalah oleh pengadilan dan menjadi terpidana. Bahkan beberapa diantaranya sudah keluar dan selesai menjalani hukuman. Namun upaya tersebut sepertinya belum cukup menghentikan aktivitas alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan dan pemukiman.

Kondisi ini membuktikan apa yang sudah dilakukan pihak terkait khususnya dalam penegakan hukum tidak menciptakan efek jera. Kegiatan alih fungsi lahan dengan berbagai modus masih terus terjadi. Proses jual beli lahan dengan dalih lahan milik masyarakat adat masih terus terjadi. Pihak lain yang berminat untuk menguasai lahan juga semakin tinggi seiring dengan semakin tingginya angka migrasi penduduk dari daerah lain. Semakin moncernya harga kelapa sawit juga menjadi alasan lain tingginya antusias masyarakat untuk menguasai lahan, termasuk masyarakat pendatang.


Langkah Satgas PKH saat ini, menurut Penulis, cukup membuat banyak pihak menahan diri untuk melakukan upaya alih fungsi lahan dari kawasan hutan. Tindakan Satgas PKH yang melakukan langkah yang sama di kawasan hutan lain di Provinsi Riau menjadi salah satu indikatornya. Susunan atau komposisi kelembagaan atau organisasi Satgas PKH juga menjadi bukti keseriusan satgas. Keberadaan multipihak dalam kelembagaan Satgas PKH, khususnya aparat penegak hukum menjadi optimisme sendiri. Satgas yang terdiri dari TNI, Polri, Kejagung, dan kementerian terkait, dapat menjadi pilihan kelembagaan ini dapat menyelesaikan carut marut pengelolaan kawasan hutan.

Keberadaan aparat penegak hukum dalam Satgas PKH juga menjadi pembuktian, apakah dugaan banyak pihak adanya “beking” dalam perambahan dan alih fungsi hutan menjadi benar adanya. Karena keberadaan “beking” yang disinyalir banyak pihak memiliki kekuasaan atau dekat dengan lingkaran kekuasaan. Walaupun secara hukum pembuktian atas dugaan tersebut masih terbatas. Namun beberapa kali publik disuguhi informasi dugaan adanya praktek “beking” dalam pengelolaan hutan khususnya alih fungsi kawasan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.

Fenomena menarik lainnya dari upaya Satgas PKH dalam penertiban kawasan hutan adalah munculnya dukungan dan kepedulian masyarakat luas terhadap keberadaan satwa endemik. Selama ini keberadaan satwa endemik seperti gajah dan harimau belum begitu massif muncul ke publik dan masih kurang disinggung para pihak. Kepedulian satwa endemic dan semakin berkurangnya kawasan hutan masih dikampanyekan pihak tertentu seperti pemerhati/aktivis lingkungan, lembaga atau organisasi penggiat lingkungan dan kementerian kehutanan. Salah satu satwa endemic yang menjadi objek kepedulian para pihak termasuk Satgas PKH adalah gajah dan harimau.

Pernyataan Kapolda Riau misalnya, yang menegaskan bahwa Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) bukan sekedar bentang alam biasa, melainkan rumah vital bagi populasi satwa gajah Sumatera. Pernyataan ini menjadi seruan untuk meningkatkan kesadaran publik akan pentingnya menjaga habitat alami satwa dilindungi tersebut.

Kapolda Riau, sebagaimana dikutip media online detik.com pada 27 Juni 2025 menegaskan bahwa "Taman Nasional Tesso Nilo bukan sekadar bentang alam. Ia adalah rumah, napas, dan nadi kehidupan bagi makhluk-makhluk yang tak pernah meminta banyak-selain hak untuk hidup tenang. Penyelamatan hutan Tesso Nilo menurut Kapolda Riau sangat penting untuk kelangsungan ekosistem, termasuk populasi Gajah Sumatera dan satwa langka lainnya yang hampir punah akibat perambahan hutan hingga deforestasi.

Secara umum, berdasarkan respon publik yang dikutip melalui media massa, apa yang dilakukan Satgas PKH menuai respon, baik pro dan kontra. Perbedaan respon ini tentu saja sesuatu hal yang wajar, karena perspektif, cara memandangnya dan kepentingannya juga berbeda. Ekspresi dan cara mengekspresikan perbedaan ini juga menarik untuk dicermati. Terdapat beberapa kali aksi menyatakan pendapat atau demonstrasi, baik yang mendukung maupun yang menolak penertiban kawasan hutan. Beberapa kelompok masyarakat termasuk tokoh masyarakat juga menyampaikan responnya secara terbuka melalui media massa.

Apapun yang sudah dilakukan Satgas PKH, sudah memantik diskursus yang menarik di masyarakat luas tidak hanya pada kelompok yang berhubungan langsung dengan kawasan hutan. Langkah lanjutan dari Satgas PKH sedang dinanti dan ditunggu masyarakat, tidak hanya masyarakat yang sudah ada, bermukim dan berusaha di kawasan hutan. Salah satu yang ditunggu masyarakat adalah bagaimana skema relokasi masyarakat. Karena disamping mendapat penolakan, persoalannya tidak sederhana. Jumlah masyarakatnya sudah banyak dan beragam.

Namun patut disadari bersama, sebagai sebuah kebijakan tentu saja tidak akan bisa memuaskan semua pihak. Harapannya adalah dapat diupayakan solusi yang baik untuk semua pihak. Tantangan yang paling utama adalah proses relokasi masyarakat yang sangat komplek situasinya. Gubernur Riau juga berharap proses relokasi juga dilaksanakan melalui proses keadilan bagi masyarakat sekitar. Masyarakat yang saat ini berada di kawasan jumlahnya sudah bertambah seiring dengan peningkatan jumlah penduduk baik akibat kelahiran maupun migrasi dari daerah lain.

Tantangan Satgas PKH tidak sederhana, namun dengan bekal instruksi presiden dengan kewenangan yang diberikan tentu sangat diharapkan dapat mencari jalan keluar yang bijaksana. Walaupun disadari tidak akan membuat semua pihak senang. Semoga apa yang sudah dilakukan Satgas PKH menjadi jalan keluar bagi proses dan kondisi yang sudah lama terjadi. Harapan bahwa kepentingan penyelamatan hutan/konservasi, sosial dan ekonomi dapat dilakukan secara bersamaan. Semoga