Oleh: Ricky Rahmadia, Penggiat Diskusi
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Tak perlu jauh membahas ributnya PT GAG Nikel di Raja Ampat. Kita lihat Riau, Provinsi kaya raya yang sejak dulu menjadi rebutan, bukan karena rakyatnya miskin gagasan, tapi karena kekayaan alamnya menggiurkan. Di sebuah forum Kadin Provinsi Riau yang masih dipimpin oleh Pak Andi Rahman, saya pernah berdebat kecil dengan almarhum Pak Deliarnov, Pakar Ekonomi yang juga dosen yang saya hormati di kampus. Saya katakan, "Investasi itu memiskinkan." Beliau tersenyum, lalu menjawab lugas, "Itu karena kita belum jadi pemilik agenda."
Waktu itu saya bicara dari pengalaman, masyarakat kita dulunya punya damar, rotan, sungai penuh ikan, ternak berlimpah, semua disiapkan oleh alam. Setelah investasi datang, hutan hilang, sungai kotor, masyarakat jadi buruh di kampung sendiri, dimiskinkan oleh Investasi. Tapi setelah saya membaca Buku Guns, Germs, and Steel karya monumental Jared Diamond yang mendapat penghargaan Pulitzer, saya sadar masalahnya bukan semata pada investasi, tapi pada kesiapan.
Diamond menjelaskan bagaimana peradaban besar seperti Aztec dan Inca tumbang hanya oleh sekelompok kecil pasukan Spanyol. Bayangkan, ribuan prajurit bersenjata panah dan tombak kalah oleh ratusan penunggang kuda, senjata baja, dan virus. Bangsa Inca menertawakan kecilnya pasukan Spanyol, tapi mereka lupa bahwa dominasi baru tidak hanya datang dari kekuatan fisik, melainkan juga teknologi, organisasi, dan biologi. Virus cacar yang dibawa Spanyol menghancurkan populasi lokal, bahkan sebelum perlawanan dimulai.
Apakah kita di Riau tengah mengulang sejarah serupa? Kita punya "emas", Emas Hitam (minyak dan gas), Emas Hijau (sawit), dan kekayaan hayati yang luar biasa. Tapi apakah kita siap? Apakah kita bangun sistem industri yang tangguh? Rantai pasok yang terhubung dari hulu ke hilir?
Kita bersorak dengan pembagian Participating Interest (PI) 10% dari Blok Rokan. Tapi di mana politeknik migas kita? Di mana koperasi rakyat yang jadi bagian dari rantai migas? Padahal PI itu bukan warisan abadi. Bisa habis sewaktu-waktu. Kalau tidak kita kelola menjadi kekuatan jangka panjang, itu hanya bonus sekali jalan.
Lebih dari 70% ekspor Riau masih berbasis komoditas mentah, mayoritas sawit dan migas. Data BPS menunjukkan sektor industri pengolahan kalah jauh dari sektor ekstraktif. Padahal sektor inilah yang mestinya menyerap tenaga kerja, memberi nilai tambah dan menciptakan ketahanan ekonomi. Teori kutukan sumber daya (resource curse) dari Sachs dan Warner (2001) menegaskan bahwa daerah kaya sumber daya cenderung gagal berkembang karena terlalu bergantung pada hasil alam dan mengabaikan pembangunan manusianya. Kita sibuk menghitung pajak dan bagi hasil, tapi lupa membangun industri, riset lokal, dan kapasitas masyarakat. Kita terlalu sibuk memungut, belum cukup sibuk mencipta. Sibuk memalak, tapi belum menanam rantai pasok. Sibuk menunggu investor, tapi lupa menyiapkan petani, pengrajin, teknisi, dan pelaku usaha mikro.
Mari kita lihat China membuka diri pada investasi asing, tapi tetap mengatur arsitektur ekonominya. Mereka mewajibkan transfer teknologi, membangun industri nasional dan menciptakan jaringan distribusi domestik. Mereka biarkan modal asing masuk, tapi kendali tetap di tangan sendiri. Itu sebabnya mereka menjadi antitesa kehancuran Inca dan Aztec.
Riau harus menempuh jalan serupa. Kemandirian tidak lahir dari retorika, tapi dari struktur. Dari bagaimana kita menyusun pendidikan vokasi, memperkuat UMKM, mengintegrasikan koperasi ke dalam rantai pasok industri. Kita butuh lebih banyak pabrik sabun dari sawit, pabrik pupuk dari limbah, produk makanan dari hasil tani lokal. Pendidikan vokasi harus menjadi tulang punggung. Kita tidak hanya butuh sarjana, tapi juga teknisi, operator, pembuat produk. Dunia kampus harus menjadi ladang inovasi dan solusi, bukan sekadar tempat mengejar gelar.
Sayangnya, banyak pemerintah daerah masih lebih tertarik menghitung pendapatan dari tambang dan sawit, ketimbang membangun struktur ekonomi yang berdaya tahan. Padahal, pendapatan yang paling tahan adalah yang tersebar, berasal dari usaha produktif rakyat, dari kemandirian individu, bukan dari dana transfer pusat yang fluktuatif. Investasi bukanlah dosa. Tapi ia harus diarahkan. Ia harus memperkuat kapasitas lokal, bukan justru melemahkannya. Investasi harus menjadi alat pemerataan, bukan pemusatan. Kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang kembali dijajah, bukan oleh kapal perang, tapi oleh kontrak dan konsesi.
Maka, pelajaran dari Inca dan Aztec, pelajaran bagaimana China melakukan mobilisasi ekonomi dengan keterbukaan bukan semata soal sejarah. Ini soal kesiapan. Soal sistem. Soal apakah kita cukup arif mengelola emas yang kita miliki. Seperti kata pepatah, “Kayu besar jangan disandar, nanti rebah menimpa badan.” Kita harus tumbuh dengan akar sendiri, kokoh di tanah sendiri. Karena kalau tidak, Riau hanya akan hanya jadi cerita lain dalam buku sejarah dunia, kaya, tapi tak berdaulat.
Jangan sampai “Emas” yang kita miliki menjadi kutukan tersendiri.