Indonesia di Hantui Gelombang Kedua Covid-19 karena Ada Mudik Massal

Ilustrasi-mudik3.jpg
(istimewa)

RIAU ONLINE, JAKARTA- Ahli mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Prof Pratiwi Sudarmomo, Indonesia di hantui kemungkinan munculnya gelombang kedua virus corona. Padahal kini Indonesia masih berjuang menghentikan penularan corona.

Peluang munculnya gelomvang kedua virus corona karena ramainya warga mudik.

“Gelombang kedua itu bisa saja terjadi karena ada pergerakan luar biasa. Kemarin Lebaran orang pergi mudik, kemudian akan kembali lagi ke Jakarta,” tutur Prof Pratiwi dalam diskusi di gedung Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Selasa 2 Juni 2020.

Kemungkinan itu, menurut Pratiwi, ditambah dengan masuknya tenaga kerja dari luar negeri ke Indonesia. Mobilitas masyarakat yang tinggi ini patut diwaspadai, karena SARS-CoV-2 yang tergolong virus RNA memiliki kemampuan untuk bermutasi terus menerus dari waktu ke waktu.


Yang terjadi kemudian adalah virus berkembang lebih banyak di suatu daerah dibandingkan sebelum adanya pergerakan manusia yang begitu massif, sehingga kemungkinan tertular virus sangat tinggi. Hal itu didukung pula dengan diabaikannya perintah physical distancing oleh masyarakat. 

Pratiwi sangat memahami apabila banyak masyarakat yang mengkhawatirkan munculnya gelombang kedua penularan virus corona di Indonesia. Namun, ia menyayangkan karena ketakutan itu tidak dibarengi dengan perilaku pencegahan yang sesuai. 


Ia melihat, masyarakat kini justru lebih mudah mengabaikan protokol kesehatan yang ada. "Ada yang pergi tanpa masker, pergi ke tempat berkerumun, mulai coba-coba pergi minum kopi ke restoran. Ketakutannya iya, perilakunya enggak," keluhnya.


Beralih soal strain virus corona yang disebut berbeda antardaerah di Indonesia, Pratiwi mengungkap bahwa SARS-CoV-2 memang memiliki beberapa variasi. 
“Beberapa variasi antara lain kita bisa mengetahui ke mana saja virus itu sudah pergi. Misalnya, apakah virus itu datang dari Wuhan langsung ke Indonesia, misalnya, dan tanggal berapa dia sampai di kita,” kata Pratiwi.


“Yang pertama kali datang itu di pertengahan Januari malah sudah masuk ke Indonesia dan apakah virus itu sudah jalan dari Wuhan ke Singapura, Eropa, Amerika, baru masuk ke Indonesia, itulah mengapa dikatakan virus corona yang ada di daerah Jawa Timur berbeda dari strain di Jakarta.”


Menurut Pratiwi, kemungkinan itu semakin membuka peluang bagi para ilmuwan untuk melakukan whole genome sequencing untuk mengetahui dari mana saja setiap virus yang ditemukan di Indonesia berasal. Keuntungannya adalah untuk mengetahui apakah virus satu dengan yang lainnya memiliki virulensi yang sama atau berbeda. 

Whole genome sequencing, kata Pratiwi, juga penting dilakukan untuk menentukan apakah penyintas COVID-19 dapat mengalami reinfeksi. 
“Untuk semua yang pernah terpapar, baik sakit maupun tidak sakit, tubuhnya akan membuat kekebalan. Kekebalan itu terdiri dari meningkatnya imunoglobin M dan imunoglobin G. Jadi itulah sebabnya kita bisa mendeteksi orang-orang terutama yang sakit dengan rapid test,” terangnya.


“Untuk menyebabkan perubahan yang jelas pada reaksi saya rasa tidak. Karena tentu saja kita memilih imunoglobilin terhadap protein-protein tertentu yang tidak mudah berubah dari virus tersebut. Jadi masih bisa digunakan.”


Namun sayangnya, menurut Pratiwi, di Indonesia tidak cukup banyak yang melakukan sequencing dari banyaknya strain virus di Indonesia. 

“Kalau saya sekarang kena kemudian negatif, setelah dua tiga minggu hasil PCR menunjukkan positif dan saya ambil virusnya lalu saya sequence, ternyata sama dengan yang lama maka itu berarti ada reaktivasi saja dari apa yang sudah ada di badan sebelumnya. Tapi kalau ternyata berbeda berarti kita mengalami reinfeksi. Artikel ini sudah terbit di Kumparan.com