Pernah Bergaji Rp 100 Juta Per Bulan, Hasanuddin kini Jualan Es Keliling Kampung

Hasanuddin.jpg
(istimewa)

RIAU ONLINE, BANDUNG-Ada pepatah yang mengatakan hidup berputar bagai roda, kadang di atas kadang di bawah. Pepatah itu mungkin cocok dengan kehidupan Hasanuddin (66). Pria paruh baya ini kini hidup dengan dengan pas-pasan. Namun dia tetap merasa bersyukur dengan kehidupannya sekarang karena merasa lebih 'hidup".

Siapa sangka, dulu, pedagang es cincau diSukabumi, Jawa Barat, ini dulunya bergelimpangan harta.

Kehidupan mewah itu pernah Ia rasakan, saat menjadi seorang manajer dengan gaji fantastis.

Pria asal Palembang ini merasakan betul lika-liku kehidupannya di masa lalu. Dari yang bergelimang harta, hingga kini berjualan es cincau di jalanan.

Sebagai seorang mantan manajer, Hasanudin sempat hidup dengan gaji fantastis hingga mencapai Rp 100 juta per bulannya.

Meski pendapatan tak seberapa, namun kini ia mampu merasakan ketenangan hidup yang luar biasa.

Kisah inspirasi ini dibagikan melalui kanal Youtube, Gavy Story Selasa, 26 Mei 2020 yang mengangkat kisah dirinya, pria yang kini berusia 66 tahun itu sempat menjabat sebagai General Manager (GM) sebuah tempat hiburan terkenal di Jakarta.

Selama itu pula, Hasanudin merasakan betul kemewahan yang diperolehnya dari hasil kerja keras selama ini.

Pak Hasanudin tinggal di Jakarta dan memiliki sebuah rumah mewah, mobil bagus, keluarga yang harmonis, dan sebagainya.

Saking melimpahnya, ia tak mempermasalahkan saat istrinya ingin berbelanja, makan enak di restoran enak, hingga memberi sang mertua.

Hasanudin yang sempat mengenyam pendidikan di Singapura dan mahir berbahasa Inggris dan mandarin itu juga kerap diutangi sejumlah uang oleh teman-temannya.

Alhasil, uangnya pun perlahan-lahan mulai menipis. Ia bahkan pernah menumpuk utang hingga Rp 3 miliar.

Saat itu konflik pun mulai muncul antara dirinya dengan hingga kemudian memutuskan untuk bercerai.


Hasanudin kemudian mencoba untuk membangun rumah tangganya kembali dengan menikahi seorang wanita.

Sayang, pernikahannya ini juga diwarnai konflik dan kembali kandas hingga kekayaan yang dimiliki Hasanudin habis.

Tak menyerah dengan nasib, Hasanudin kemudian bertemu dengan seorang muslimah yang ingin dinikahinya.

Kemudian calon istrinya itu mengajukan syarat agar dirinya menjadi harus memeluk Islam terlebih dahulu.

Akhirnya Hasanudin resmi menjadi seorang mualaf di usia 43 tahun. Ia kemudian merantau ke Sukabumi, Jawa Barat, dan memulai hidup baru dengan sang istri.

Di sana, ia bertekad meninggalkan masa lalunya yang pelik. Untuk menopang kebutuhan hidupnya sehari-hari, ia memilih berjualan es cincau dengan gerobak dorong. Setiap hari, ia menyusuri jalanan menjajakan dagangannya tersebut.

Meski hasilnya tak sebanyak dulu saat dirinya menjadi seorang manajer, Hasanudin tetap bersyukur.

Tangkap layar YouTube/Gavy Story
Kisah perjalanan hidup seorang mualaf yang dulu bergelimang harta sebagai manajer

 

Tangkap layar YouTube/Gavy Story Kisah perjalanan hidup seorang mualaf yang dulu bergelimang harta sebagai manajer (Tangkap layar YouTube/Gavy Story)

Pernah pada suatu ketika, ia dihadapkan kesulitan saat sang anak membeli sepatu dan diharuskan membayar uang sekolah sebanyak Rp 300 ribu.

Saat itu ia hanya pasrah sembari tetap berikhtiar mencari jalan keluar dengan tetap berjualan keliling. Karena tak kunjung mendapat pembeli, cincau yang ia jual mulai rusak.

Beruntung, ada seseorang yang ingin membeli es cincaunya tersebut. Hasanudin pun menolak seraya menjelaskan bahwa barang dagangannya itu telah rusak dan tidak layak konsumsi.

Sang pembeli pun tetap membeli minuman lainnya yang juga dijual oleh Hasanudin yakni es nanas sebanyak dua bungkus seharga Rp 10 ribu. Tak disangka, sang pembeli kembali memanggil Hasanudin dan memberinya Rp 300 ribu. Jumlah yang selama ini dicarinya untuk sang anak.

Saat itulah, ia merasa sangat terharu. Hasanudin merasa Allah telah menolongnya saat dirinya membutuhkan.

Ia kemudian teringat akan gaji Rp 100 juta yang dulu didapatnya. Hasanudin merasa bahwa uang sebesar Rp 300 ribu yang diperolehnya saat itu nilainya lebih besar dari Rp 100 juta saat ia masih menjadi seorang manajer.

Ada sebuah kepuasan batin yang membuatnya untuk bersyukur.

“Saya buka uangnya pas Rp300 ribu. Ya Allah saya sedih, Allah itu sering tolong saya. Allah tolong saya, saya jadi ada uang untuk beli sepatu anak saya. Allah tolong saya terus. Dulu saya dapat gaji Rp100 juta, sekarang nilainya dari itu,” ucapnya dalam video tersebut.

Kisah Hasanudin di atas, merupakan sebuah fase kehidupan yang bergerak seperti perputaran roda nasib.

Dari seorang manajer dengan gaji ratusan juta, ia kini hidup sederhana sebagai penjual es cincau.

Meski demikian, hal tersebut tetap disyukuri oleh Hasanudin karena membuat dirinya lebih tenang. Artikel ini sudah terbit di Tribun pekanbaru