Dipanggil Jadi Saksi Korupsi Hotel Kuansing, Bupati Andi Pilih Laporkan Kajari ke Kejati

oknum-jaska-dilaporkan-andi.jpg
(RONI TUAH/RIAUONLINE)

RIAU ONLINE, PEKANBARU-Bupati Kuantan Singingi Andi Putra, mangkir jadi saksi sidang perkara korupsi pembangunan Hotel Kuansing tahun 2015 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, Jumat 18 Juni 2021 siang.

Bukannya menghadiri sidang, Andi Putra justru memilih datang ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) Riau. Dia melaporkan dugaan pemerasan yang dilakukan petinggi di Kejaksaan Negeri (Kuansing). "Seharusnya dia hari ini sidang," ujar Kepala Kejari Kuansing, Hadiman.

Andi Putra yang ditemui di Kejati Riau mengaku sudah memberi tahu kalau dirinyalah tidak bisa hadir sidang. "Saya melapor, saya tidak bisa hadir dan tadi sudah saya surati," kata Andi Putra yang dipanggil jadi saksi dalam kapasitas sebagai Ketua DPRD Kuansing.

Selain Andi Putra, dalam persidangan yang dipimpin Irwan Irawan juga dipanggil mantan Bupati Kuansing, Sukarmis, dan mantan Kepala Bappeda Kuansing, Indra Agus Lukman. Sukarmis tidak hadir karena terpapar Covid-19 dan Indra sedang dinas ke luar kota.

Di persidangan hanya dua saksi yang dipanggil Jaksa Penuntut Umum hadir di persidangan. Mereka adalah Hasvirta selaku kabid Aset di BPKAD Kuansing dan Siwi Yudo selaku konsultan pengawas proyek pembangunan Hotel Kuansing.

Sebelumnya, Hadiman mengatakan kehadiran Andi Putra, Sukarmis dan Indra diperlukan di persidangan. Keterangan yang diberikan akan membantu kelancaran proses persidangan.

 

Terkait ketidakhadiran para saksi, Hadiman menyatakan akan melayangkan panggilan ulang. "Tetap kami panggil Andi Putra dan lainnya," kata Hadiman.


Ada tiga terdakwa dalam perkara korupsi Hotel Kuansing ini. Mereka adalah Fahrudin ST selaku mantan kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (CKTR) dan pejabat pembuat komitmen (PPK), Alfion Hendra selaku pejabat pelaksana teknis kegiatan (PPTK) dan Robert Tambunan selaku direktur PT Betania Prima, pihak ketiga dalam kegiatan ini.

Namun di persidangan, hanya menghadirkan terdakwa Fahruddin ST dan Alfon Hendra. Sementara terdakwa lain sudah meninggal dunia hingga kasusnya dihentikan demi hukum.

JPU dalam dakwaannya menyebutkan korupsi terjadi pada 2015. Ketika itu terdakwa Fachruddin selaku Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Kuansing dan juga Pengguna Anggaran (PA) pada Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Kabupaten Kuansing dan juga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dalam Kegiatan Pembangunan Ruang Pertemuan Hotel Kuansing.

Pembangunan Hotel Kuansing dilakukan berdasarkan Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) Pemkab Kuansing di Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang Nomor DPA Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) 1.03.1.03.07.29.02.5.2. Pada pos mata belanja diketahui terdapat kegiatan Pembangunan Ruang Pertemuan Hotel Kuansing.

Perkara itu bermula pada tahun 2014 lalu, yakni adanya pembangunan fisik Hotel Kuansing oleh Dinas CKTR kabupaten setempat. Kemudian di tahun 2015, dilakukan pembangunan ruang pertemuan hotel yang dikerjakan PT Betania Prima dengan pagu anggaran sebesar Rp13,1 miliar yang bersumber dari APBD Kabupaten Kuansing.

Dalam pekerjaannya, rekanan menyerahkan jaminan pelaksanaan Rp629 juta lebih. Selain itu, pada kegiatan ini terjadi keterlambatan pembayaran uang muka oleh PPTK, sehingga berdampak pada keterlambatan progres pekerjaan.

PT Betania Prima selaku rekanan juga tidak pernah berada di lokasi selama proses pengerjaan proyek tersebut. Mereka hanya datang saat pencairan pembayaran pekerjaan setiap terminnya, dalam hal ini dihadiri Direktur PT Betania Prima.

Hingga masa kontrak berakhir, pekerjaan tidak mampu diselesaikan rekanan. Rekanan hanya mampu menyelesaikan bobot pekerjaaan sebesar 44,5 persen, dan total yang telah dibayarkan Rp5,263 miliar.

Atas hal itu, PT Betania Prima dikenakan denda atas keterlambatan pekerjaan sebesar Rp352 juta. Namun, PPTK tidak pernah menagih denda tersebut.

Tidak hanya itu, PPTK juga tidak melakukan klaim terhadap uang jaminan pelaksanaan kegiatan yang dititipkan PT Betania Prima di Bank Riau Kepri sebesar Rp629 juta. Semestinya, uang tersebut disetorkan ke kas daerah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kuansing.

Sejak awal kegiatan, Kepala Dinas CKTR Kuansing selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) tidak pernah membentuk tim Penilai Penerima Hasil Pekerjaan (PPHP). Sehingga, tidak pernah melakukan serah terima terhadap hasil pekerjaan, dan saat ini hasil pekerjaan tersebut tidak jelas keberadaannya.

 

 

Dengan demikian, Hotel Kuansing itu belum bisa dimanfaatkan. "Hasil perhitungan kerugian kerugian negara kerugian 5.050.257.046,21," kata JPU.

Atas perbuatannya, terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.