Mengguncang Jiwa, Pengakuan Penghuni Soal Dugaan Penyiksaan di Kerangkeng Bupati Langkat

terbit-rencana.jpg
([Suara.com])

RIAUONLINE, LANGKAT-Catatan redaksi: artikel ini berisi narasi eksplisit dan rincian penganiayaan, namun bukan untuk mempromosikan aksi sadisme. Hal itu semata-mata agar publik mengetahui, banyak dugaan pelanggaran HAM yang tak diungkap dalam kasus kerangkeng manusia milik Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin. Bagi yang memunyai masalah psikologis, kami tidak menyarankan Anda membaca sampai selesai.

 

***

RIAN memantapkan diri untuk berangkat ke rumah Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin yang sejak lama mempromosikan ruangan bagian belakang rumah pribadinya, di Desa Raja Tengah, Kecamatan Kuala, sebagai panti rehabilitasi narkoba tanpa biaya apa pun alias gratis.

Dia sangat berharap bisa menjadi orang baik, kelak setelah mengikuti rehabilitasi yang disediakan di rumah sang regen.

Awalnya, Rian merasa bingung ketika diminta orangtuanya untuk masuk ke tempat rehabilitasi itu. Sebab, dia bukan pemadat.

Tapi, apa boleh buat, orangtuanya sudah angkat tangan terhadap kelakuan Rian yang seringkali menjual harta milik mereka. Maka, berangkatlah Rian diantar orangtuanya ke rumah Terbit.

Kesan pertama yang didapat Rian saat melihat ruang rehabilitasi di hadapannya adalah sunyi, gelap, dan suram.

Tak tampak seperti panti rehabilitasi. Justru lebih menyerupai penjara karena ruangannya dibatasi jeruji besi.

Orangtua Rian pergi setelah mengisi surat pernyataan bermeterai Rp 10 ribu, yang berisi persetujuan tidak bakal menuntut apabila anak mereka sakit atau meninggal dunia selama menjalani "rehabilitasi".

 

Bupati langkat dan kerangkeng di rumahnya (Youtube/ Tiorita Rencana)

Surat pernyataan yang harus diisi keluarga anak kereng agar tidak menuntut. [dokumentasi]

Setelahnya, Rian diperintahkan menghadap Terang Sembiring yang disebut sebagai "Kalapas", untuk diinterogasi.

Ia langsung tersentak, karena kalimat pertama yang tersembur dari mulut Terang adalah sebuah ultimatum.

“Kau sekarang jadi anak kereng. Kalau tak bisa dibina, maka dibinasakan!”

“Apa saja yang sudah kau habiskan?” bentak Terang.

“Yang ku habiskan?”

“Jujur kau!” kata Terang, menghardik.

“Iya, jujur aku. Semua (harta) kuhabiskan.”

Rian jujur menjawab, karena berpikir hal itu diperlukan agar dirinya bisa dibina. Tapi dia salah terka, karena Terang justru menyuruh Rian bersikap seperti monyet sedang digantung.

“Coba, kau bersikap gantung monyet!”

Rian menuruti perintah. Kedua tangannya berpegangan pada jeruji besi, sementara posisi tubuhnya setengah berjongkok.

Sejurus kemudian, tanpa ba-bi-bu, Terang mulai mencambuki punggung Rian memakai selang kompresor berkelir kuning.

“Ahh… ahh… ampun… ampun,” Rian mengerang menahan sakit.


Teriakan Rian tak digubris, dia tetap dicambuk. Semua anak kereng baru, merasakan penyiksaan semacam ini. Mereka mengenalnya sebagai masa orientasi atau tradisi pengenalan. Penyiksanya pun berganti-ganti.

Hari kedua Rian berada di kereng, giliran Amri yang menyiksanya. Amri adalah orang kepercayaan bupati, atau disebut “anak kandang” alias anak buah Cana.

Keesokannya, hari ketiga, Rian disiksa oleh Caring yang menjabat sebagai “pembina kereng”—tapi para penghuni diam-diam lebih suka menyebutnya sebagai “Si Raja Tega”.

Setiap hari selama dua pekan sejak pertama datang, Rian disiksa. Cambukan menjadi sarapan harian. Ada kalanya ia menerima “tamparan Jepang”, yakni si penyiksa menampar bagian telinga kiri dan kanan Rian secara bergantian dan cepat.

“Dapat apa kau hari ini ?“ kata penghuni senior kereng.

“Ditumbuknya aku bang, tumbuk tunjang. Dada kena dua kancing setengah,“ jawab Rian.

Tumbuk tunjang artinya dipukul dan diterjang. Sementara “dua kancing setengah” adalah istilah para anak kereng, yang berarti terkena pukulan pada bagian ulu hati.


Akibat siksaan bertubi-tubi, sebulan pertama di kereng, Rian tak bisa makan karena rahangnya sakit. Sebulan penuh pula Rian kehilangan setengah daya pendengaran.

Tapi menurut kawan-kawannya di kerangkeng, Rian termasuk beruntung, disiksa tapi tidak sampai mati.

Rian tak percaya kata-kata temannya, hingga suatu waktu, ia sendiri menyaksikan anak kereng bernama Sarianto Ginting mati di tangan ‘bos kecil’, yakni Dewa Perangin-angin—putra pertama ‘bos besar’ Cana.

Bupati langkat dan kerangkeng di rumahnya (Youtube/ Tiorita Rencana)

Bupati langkat dan kerangkeng di rumahnya (Youtube/ Tiorita Rencana)

Tangan Dewa di malam jahanam

MEI 2020. Lanang berengos memakai setelan loreng hitam-oranye, sibuk membagikan satu ton beras ke warga, atas nama keluarga Cana.

Warga mengenal lelaki itu adalah Dewa Perangin-angin, putra sulung Cana. Tapi penghuni kerangkeng sang ayah lebih mengenalnya sebagai “bos kecil”, yang mampu membuat nyali mereka ciut.

Mereka tahu betul Dewa tidak main-main kalau melakukan kekerasan. Beberapa jari anak kereng putus dan kukunya copot akibat dipukul memakai palu, linggis, dan batu.


Seorang anak kereng mengakui kemaluannya disundut memakai rokok oleh Dewa dan kawan-kawannya. Ada pula yang mengaku diteteskan plastik yang dibakar oleh Dewa.

Jumat 11 Juni 2021, pukul 16.30 WIB. Langit belum lagi temaram, masih tampak kemerah-merahan dari dalam kereng.

Di dalam Kereng I, Sarianto Ginting merintih kesakitan. Luka cambukan di punggungnya masih merah kebiruan.

Sarianto mulai menjadi anak kereng sejak lima hari sebelumnya, Senin 7 Juni. Hari pertama masuk, dia sudah menerima penyiksaan dan dipaksa mengaku sebagai pecandu sabu.

Uci dan Rajes yang mendapat tugas meng-ospek Sarianto sejak hari pertama. Uci adalah pembina di kereng.

Kalau Rajes, sebenarnya bekas anak kereng atau disebut "besker", yang kemudian diangkat menjadi asisten pembina kereng. Keduanya sering mencambuki Sarianto memakai selang kompresor.

Dewa Perangin-angin dan sejumlah kawannya datang ke kereng menjelang Magrib. Rasa takut cepat merambat, bergelayut di pikiran anak-anak kereng yang melihat kedatangan ‘si bos kecil’.

Ketakutan baru berpendar setelah mereka tahu Dewa datang hari itu khusus untuk si anak baru, Sarianto.

Dewa lantas memerintahkan Uci dan Rajes untuk membawa Sarianto ke hadapannya.

“Masuk sini karena apa kau?” tanya Dewa.

“Minum tuak uwak,” jawab Sarianto. Dia memanggil Dewa dengan sebutan uwak atau abang.

“Anjing kau! Di sini enggak ada peminum tuak. Minum tuak enggak masuk sini.”

“Bergantung kau di jeruji,” kata Dewa, dan Sarianto lekas-lekas menuruti perintah itu.

“Yang lain mengadap ke tembok,” Dewa memerintahkan anak kereng lainnya yang ketakutan.

Sedetik kemudian, Dewa memukuli Sarianto memakai broti atau kayu balok.

Baak…buuk..baak…buuk.

“Ampun uwak, ampun… sakit…” teriak Sarianto. Tapi dia tetap berkukuh bukan pemadat. Dewa semakin naik pitam.

“Sudah ngaku saja kalau kau ini pecandu narkoba kan?”

“Bukan uwak, aku hanya minum tuak,” kata Sarianto, memelas.

“Rajes!” Dewa berteriak, “Tutup mata orang ini, ikat tangannya pakai lakban. Bawa keluar!”

Setelah mengikuti instruksi si bos kecil, Rajes membawa Sarianto keluar kereng.

Dewa bersama Hendra Guspar lanjut menyiksa Sarinto Ginting memakai selang dan broti. Tigapuluh menit lamanya.

“Bau amis badanmu,” kata Dewa, setelah berhenti menyiksa.

“Mandi kau dulu!”

Rajes memabawa Sarianto ke kolam tempat pembuangan kotoran dari rumah bupati. Kolam itu juga biasanya menjadi tempat pembuangan bangkai. Letaknya persis di depan kereng. Berbentuk petak panjang 10 meter dengan kedalaman berkisar satu meter.

“Menyelam!” perintah Dewa.

Sarianto menurut, meski masih merasakan sakit, lemas dan ketakutan. Setelah beberapa lama menyelam, kepala Sarianto muncul di permukaan air.

“Mantap kan?” tanya Dewa

“Mantap uwak,” lemas Sarianto menjawab.

“Menyelam lagi!”

Sarinto Ginting kembali menyelam. Satu menit berlalu, dia tak muncul kepermukaan. Dewa memanggil anak kereng, memerintahkannya mencari ke dalam kolam.

“Cari… cari… semua cari!”

Sarianto ditemukan sekarat di dekat saluran pembuangan kolam. Rajes membopongnya keluar kolam. Ia bergegas memompa napas. Sarianto tak kunjung sadarkan diri.

“Bawa ke kursi,” kata Rajes mengajak anak kereng.

Mereka membawa Sarianto ke kursi. Letaknya tepat di depan kereng I.

“Cepat bawa ke klinik,” perintah Dewa.

Memakai mobil dobel kabin, Rajes membawa Sarianto ke klinik bidan. Lokasinya tak jauh, hanya bersebelahan dengan rumah Cana.


Tak lama, Rajes datang dari arah klinik ke kereng, menghampiri Dewa.

“Enggo liwat nak ndai—sudah mati orang itu,” lapor Rajes.

Dewa tak acuh, meninggalkan lokasi.


Mayat dimandikan air kolam tinja

MALAM belum larut, baru pukul 22.00 WIB, saat Supar sampai di kerangkeng setelah mendapat kabar salah satu anak kereng tewas di tangan bos kecil.

Anak buah Cana itu bergegas memerintahkan lima anak kereng membawa ember.

“Bawa ember ke sana,” perintah Supar sembari menunjuk arah samping kereng I.

Pada lokasi yang ditunjuk Supar, ada seorang kakek berpeci sedang menggelar tikar dan kain kafan.

“Sudah tiga kali aku memandikan jenzah di sini,” kata kakek berpeci itu, berbisik ke anak kereng yang menghampiri.

Rasken alias Jerapah, rekan Supar sesama ‘anak kandang’ alias anak buah Cana, juga berada di sana. Dia dikenal sadis. Punya catatan terlibat dalam beberapa kasus pembunuhan. Salah satunya pembunuhan manajer pabrik bernama Idris Sembiring tahun 2009. Motifnya membunuh Idris Sembiring lantaran sering memprotes Cana.

Satu lagi anak kandang yang ikut di lokasi bersama Supar dan Rasken adalah Carin. Lelaki yang dijuluki ‘Si Raja Tega’ ini menjabat sebagai pembina kereng.

Carin Si Raja Tega tak kalah kejam dengan kawan-kawannya. Dia pernah menyuruh anak kereng meminum air kencing, menjilat kemaluan anjing, membakar bulu dan kemaluan anak kereng, hingga memaksa mereka saling melakukan sodomi.

“Ambil air di kolam ikan sana,” perintah Carin kepada lima anak kereng yang membawa ember.

Saat kelima anak kereng hendak mengambil air, Carin meralat perintahnya.

“Eh, kau saja, yang lain ganti baju dan pakai celana pendek. Bantu memandikan jenazah.”

Tak lama kemudian, mereka bersama-sama memegang dan menahan jenazah Sarianto. Sementara Rajes menyirami mayat memakai air kolam.

Mobil Puskesmas Kuala tiba setelah jenazah Sarianto selesai dimandikan dan dikafani si kakek berpeci. Kendaraan tersebut dikendarai seorang lelaki perawat.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, mereka juga kedatangan mobil pikap Suzuki Carry yang dikemudikan Ilaj alias Jago.

Ilaj datang bersama satu penumpang dengan membawa peti jenazah. Anak kereng membantu memasukkan jenazah Sarianto ke dalam peti. Selanjutnya, peti itu dibawa pergi memakai mobil Puskesmas Kuala.

Bukan yang pertama

SABTU 12 Juni 2021, sehari setelah kematian Sarianto, seorang perempuan mendatangi kereng dengan menunggangi kuda besi Kawasaki Warrior.

Perempuan itu adalah Sribana Perangin-Angin, Ketua DPRD Langkat sekaligus adik kandung sang bupati.

Sribana memerintahkan agar seluruh pembina kereng berkumpul di hadapannya. Ada Uci, Pembina Kerangkeng 2; Terang, Kalapas 1; Suparman, Kalapas 2; Sudir, Carin, dan Amri yang masing-masing sebagai Pembina Kerangkeng. Dewa yang merupakan keponakan Sribana juga ada.

“Kok bisa ada korban lagi?” kata Sribana memarahi semua lelaki di hadapannya.

“Ini yang terakhir!” perintah Sribana.

Dua tahun sebelum kematian Sarianto, para pembina kereng juga pernah menjadi sasaran amarah Sribana. Pemicunya pun sama, ada anak kereng yang meninggal setelah dianiaya.

Pendahulu Sarianto itu bernama Abdul Sidiq Isnur atau biasa dipanggil sebagai Bedul di kerangkeng. Abdul dijebloskan ke kerangkeng hari Kamis, 14 Februari 2019.

Tak lama dia menjadi anak kereng, karena Rabu pekan depannya, 20 Februari, Abdul tewas di dalam kerangkeng.

Selama enam hari sejak masuk kerangkeng, Abdul dianiaya oleh Hermanto alias Ato, Iskandar Sembiring, Terang Sembiring, dan Wahyudi. Kesemuanya menganiaya Abdul memakai tangan kosong dan selang kompresor.

Abdul dianiaya di dalam kereng I. Akibatnya, sekujur tubuh Abdul luka-luka. Paling parah lukanya pada bagian wajah dan punggung. Abdul dianiaya hingga tak mampu bersuara sampai akhir hanyatnya.

Tato dan besi panas

SESAAT setelah mengetahui Sarianto meninggal, para penghuni kerangkeng terdiam, syok bercampur takut. Rian pun demikian. Baru kali ini ia melihat kawan satu kerengnya tewas di tangan Dewa.

Rian sejak lama tahu tabiat Dewa yang ia nilai suka menyiksa anak-anak kereng. Sudah banyak jari-jari anak kereng putus dipukul kunci roda. Kuku-kuku jempol kaki anak kereng, ada pula yang copot dihantam martil.

Tak hanya itu, Rian juga penah menyaksikan Dewa memerintahkan anak-anak kereng berkelahi. Setiap anak yang disuruh berkelahi, dibekali selang sebagai senjata. Dewa menonton perkelahian itu.

Rian dan anak-anak kereng bukannya tak punya niat untuk berlawan. Tapi Rian tahu, di area kerangkeng, tak ada yang bisa menyentuh Dewa.

Selama satu bulan setelah Sarianto meninggal dunia, Dewa tak tampak mengunjungi kereng. Tapi saat dia mulai kembali ke kereng, tetap melakukan penyiksaan.

“Kalau embat di bagian kaki, enggak mati kan,” kata Dewa sembari menyiksa anak kereng baru memakai broti dan selang.

Rian yang menyaksikan adegan itu membantin, “Lain soal kalau di luar, enggak bakal berani dia.”

Dalam kerangkeng yang sama dengan Rian, ada Broery yang juga meringkuk. Dia takut setengah mati bakal bernasib sama seperti Sarianto.

Lagipula, rasa sakit akibat penganiayaan Dewa masih terasa di dada Broery. Benar-benar terasa di dada, persisnya di kulit yang sebelumnya terdapat tato.

Masih sangat jelas di benak Dedi kejadian yang menakutkan itu. Tatkala ia diperintahkan menghadap Dewa.

“Apa gambar tato kau ini?” kata Dewa.

“Gambar korek dan bong, uwak.”

“Wiihhh…” Dewa mencibir.

“Cuma seni ini uwak,“ jawab Broery sekenanya, ketakutan.

“Gak suka aku lihatnya. Coba copot baju orang ini!”

Mendengar perintah Dewa, sejumlah kawanannya seperti Dedi Pongor dan Guspar bergerak melucuti kaos Broery. Setelahnya, mereka mencekal kedua tangan dan kaki Broery.

Sementara Dewa, sibuk memanaskan besi di atas api kompor gas. Ketika besi panas itu berwarna kemerahan, Dewa menempelkannya ke tato di dada Broery.

Nyuuusss….

Seketika Broery berteriak, meraung-raung menahan sakit.

“Wiiihh… belum hilang. Sekali lagi ya.”

Dewa kembali memanaskan besi di atas api kompor gas. Kemudian, ia tempelkan lagi ke tato Broery.

Nyuuussss…

Dewa baru berhenti setelah tato di dada Broery benar-benar hilang.

Bagian dada Broery yang ditempelkan besi panas. [dokumentasi]

Bagian dada Broery yang ditempelkan besi panas. [dokumentasi]

Selang Biru Sang Bupati

“MANA lebih enak? Sabu apa ini?“ kata Bupati Langkat Terbit Rencana Perangin-Angin alias Cana sembari mencambuki anak-anak kereng.

Rian dan anak-anak kereng lainnya tahu kebiasaan Cana saat menganiaya mereka, yakni memakai selang khusus. Dewa, sang putra, sekali pun tak pernah memakai selang itu.

Selangnya berwarna biru muda. Ada gagang di ujungnya. Panjang selang sekitar satu meter. Selang itu biasa disimpan di bagasi sepeda motor sang bupati, Honda Vario.

Sama seperti terhadap putranya, anak-anak kereng juga sangat takut kepada Cana. Mereka disuruh bekerja rodi di ladang dan pabrik pengelola sawit milik Dewa dan Cana.

Anak-anak kereng diberikan tugas memanen buah sawit, kuli angkut, menyortir, hingga mengelola di pabrik.

Setiap hari, mereka diwajibkan bekerja sejak pukul 07.00 WIB hingga 18.00 WIB, tanpa dilengkapi alat keselamatan kerja dan diberi upah.

Sehari-hari mereka hanya diberi makan dengan lauk seadanya. Cara menghidangkannya juga kadang tak manusiawi.

Rian, Broery, dan anak-anak kereng lainnya sering dipaksa makan sayuran yang diletakkan dalam sepatu. Pernah pula mereka dipaksa menikmati makanan yang sudah ditumpahkan ke lantai.

Mereka selalui dihantui ketakutan kalau Cana datang mengontrol ke pabrik. Sebab, mereka tak pernah bisa beristirahat.

Kalau Cana datang, mereka bisa-bisa bekerja sehari semalam suntuk. Bahkan, untuk kencing saja tidak berani. Saking takutnya.

“Kami capek,” curhat sesama anak kereng sepulang dari pabrik.

“Kenapa uwak?”

“Sebulan ini bupati di atas (pabrik) saja. Kami ini enggak ada istirahatnya,” keluhnya.

Rian bercerita, Cana pernah mendatangkan ‘orang pintar’ alias dukun ke pabrik sawit. Anak-anak kereng mengetahui kalau pabrik di sana memang angker.

Anak-anak kereng maupun pekerja biasa pabrik itu ketakutan, setelah merebak cerita salah satu karyawan pabrik tewas akibat terjatuh ke dalam kuali tempat memasak sawit.

Dukun itu meminta kurban dua ekor lembu sebagai syarat ritual pengusiran roh jahat. Tapi, Cana hanya memberi satu ekor lembu.

“Esoknya, itu dukunnya ikut mate,” kenang Rian.

[Suara.com]

[Suara.com]

Kabur yang sia-sia

PENGHUJUNG Juni 2021, Bengbeng pusing bukan kepalang. Sudah satu tahun lebih empat bulan tidak pulang ke rumah. Rindu dia kepada keluarga.

Bengbeng sebenarnya sudah “dibebaskan” dari kerangkeng. Tapi dia tak boleh pulang, karena diangkat sebagai pengurus anak kereng.

Anak-anak kereng juga tak ada yang ikhlas berlama-lama tinggal. Tapi apa daya, penjagaan kerangkeng milik Cana itu super ketat.

Mereka hanya mampu melepaskan hasrat kerinduan terhadap orang-orang terkasih maupun kebebasan melalui beragam medium, corat-coret di kertas.

“Kapan Kapan aku pulang? Aku ingin pulang,” pesan anak kereng itu tertulis di secarik kertas.

Pada kertas itu juga terdapat tulisan ”Situhuna agingku. Kam lanai terlupaken aku. Buktina gelarndu lalap terlebuh aku.” –sebenarnya adikku, kamu tidak bisa aku lupakan. Buktinya, namamu selalu yang aku panggil.

Empat belas anak kereng akhirnya nekat melarikan diri pada akhir bulan Juni, karena tak lagi tahan terhadap beragam penyiksaan fisik, perlakuan yang merendahkan martabat serta kerja rodi.

Mereka memengaruhi Bengbeng untuk membuka gembok kereng. Bengbeng yang juga kesal, menuruti keinginan anak-anak kereng.

Tapi, tak mudah bagi anak kereng melarikan diri. Mereka mesti melewati perkebunan sawit di sekililing rumah Cana.

Tanpa alas kaki, mereka menginjak duri-duri sawit. Rasa nyeri baru mereka rasakan saat kondisi mulai tenang, berhasil melarikan diri.

Berjarak dua minggu kemudian, 1 dari 14 anak kereng yang kabur tertangkap, yakni Robi. Dia dijemput paksa olah anak buah Cana.

Kaki-tangan Cana ini menggunakan tiga mobil Toyota Avanza. Satu di antaranya yang menjemput adalah oknum anggota TNI berinisial LS. Macam menjemput teroris.

Tok… tok… tok… LS menggedor-gedor rumah orang tua Robi.

Robi panik, segera berlari ke kamar. Karena tak kunjung dibuka, LS menelepon ponsel orangtua Robi.

“Abang di mana? Saya di depan rumah, tak dibuka pintu.”

“Aku lagi tak di rumah. Kenapa kau?”

“Apalagi bang, jemput Robi lah.”

“Sudah kubilang kemarin juga, enggak usah balik lagi ke kereng,” kata ayah Robi.

“Enggak bisa bang. Ini perintah bupati. Kami menjalankan tugas,” jawab LS.

Mendengar kalimat “ini perintah bupati”, membuat ayah Robi terpaksa pulang ke rumah, membukakan pintu.

Setelah masuk ke rumah, Rajes yang ikut rombongan LS bergegas mendobrak pintu kamar. Dia mendapati Robi ketakutan, bersembunyi di bawah ranjang.

Ayah Robi tak berdaya, meski sudah mengetahui anaknya disiksa di dalam kereng. LS membawa Robi kembali ke kereng, menumpangi Toyota Avanza berwarna hitam.

Sekembalinya di kerangkeng, Robi langsung menghadapi Dewa yang murka.

“Sudah hebat kau lari? Anjing!” tanya Dewa.

Robi disiksa. Matanya ditutup lakban. Dipukul memakai broti. Dicambuk memakai selang. Kedua kuku jempol kakinya copot, dimartil Dewa.

Penyiksaan berlangsung sejak tengah malam hingga menjelang azan Subuh. Anak buah Dewa silih berganti memukul Robi. Sambil minum tuak.

Robi juga dipaksa menelan dua bungkus micin dan bawang bombai. Perutnya melilit. Dua kali muntah-muntah.

Kuku kaki Robi (bukan nama sebenarnya) yang rusak karena dipukul marti. [dokumentasi]

Kuku kaki Robi (bukan nama sebenarnya) yang rusak karena dipukul marti. [dokumentasi]

Bantahan Pengacara

MANGAPUL Silalahi, kuasa hukum sekaligus juru bicara keluarga Terbit Rencana Perangin-Angin akhirnya mau mengangkat telepon saya, awal pekan ini.

Dia adalah satu-satunya pihak yang memberi penjelasan terkait berbagai tuduhan penyiksaan dalam kerangkeng.

Sebelumnya, saya sudah menghubungi Ketua DPRD Langkat Sribana Perangin-Angin melalui sambungan telepon maupun pesan WhatsApp untuk mengonfirmasi hal yang sama, tapi tak ada balasan.

Soal Dewa, saya sudah berusaha mencari keberadaannya maupun nomor ponselnya ke sejumlah pihak, termasuk kepada petinggi-petinggi organisasi yang diikuti ‘si bos kecil’, tapi tak ada yang mau memberikan.

Mangapul Silalahi, melalui sambungan telepon, membantah semua cerita dari mantan anak kereng.

Dia juga menepis tudingan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) soal dugaan keterlibatan anggota keluarga Cana dalam kasus kekerasan kerangkeng manusia.

"Ngaco itu tudingannya," kata Mangapul.

“Ada dugaan bahwa Dewa juga terlibat kekerasan hingga mengakibatkan salah satu anak kereng meninggal dunia, benar begitu?” tanya saya.

"Tidak. Tak ada itu," tegasnya.

Mangapul mengatakan, LPSK sudah melakukan asesmen terhadap “warga binaan” sejak 24 Januari 2022. LPSK juga sudah meninjau kerangkeng. Selain lembaga itu, Komnas HAM juga melakukan investigasi.

Kedua lembaga itu lantas menyerahkan hasil investigasi kepada Komisi III DPR dan aparat kepolisian.

"Setelah diserahkan, apakah temuannya itu ditindaklanjuti oleh penyidik, itu kan bukan domain mereka. Mau mereka bilang ada kekerasan atau hal lain, ya silakan saja.”

Mangapul juga heran terhadap tindak-tanduk LPSK yang begitu gencar bersuara di media massa. Menurutnya, pernyataan-pernyataan LPSK memojokkan keluarga Terbit Rencana Perangin-Angin. Ia juga menyebut nama Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu.

"Makanya sering saya sampaikan LPSK ini ada apa? Partogi ada apa. Partogi harus ingat, dia itu sekarang ini adalah pejabat negara, bukan lagi orang KontraS.”

Ia mengecam, karena menurutnya LPSK sudah melakukan character assassination atau pembunuhan karakter terhadap Bupati nonaktif Langkat karena menyebutnya sebagai mantan pengocok judi dadu.

"Itu dalam bahasa hukum disebut ultra petita, melampaui kewenangannya.”

Mangapul mengakui, pihaknya sangat dirugikan karena opini yang beredar terkait kerangkeng manusia. Karenanya, dia mengklaim pihaknya sebagai korban pemberitaan media yang menghakimi.

"Kami juga bisa dong membuat laporan ke LPSK, bahwa kami adalah korban pemberitaan media yang mengutip sumber dari LPSK," katanya.

Mangapul menerangkan, pihaknya sudah menjalani pemeriksaan di Polda Sumatera Utara.

"Sudah BAP dan berbagai pertanyaan-pertanyaan oleh teman-teman penyidik, tidak ada mengarah ke pertanyaan ke sana (keterlibatan keluarga Terbit Rencana)," jelasnya.

Dia juga menepis tudingan keterlibatan Dewa Perangin-Angin dan Sribana Perangin-Angin dalam kasus kekerasan di panti rehabilitasi.

"Tak ada itu. Terakhir saya dampingi Sribana, pemeriksaan Sabtu (19/3) kemarin, tidak ada pemeriksaan seperti itu, jadi ini sudah berlebihan."

Karena masih berproses di kepolisian, menurutnya tidak elok LPSK menyampaikan temuan yang menghakimi keluarga Terbit Rencana Perangin-Angin.

"Jadi untuk apa LPSK membuat opini yang liar, temuan mereka itu harusnya secara diam-diam disampaikan. Mereka sudah sampaikan ke penyidik, ya silakan mereka pantau saja kerja penyidik. Tidak kemudian membuat berita menghakimi, membuat asumsi."

Mangapul tidak menampik adanya kekerasan di lokasi kerangkeng manusia. Tapi dia menegaskan, pelakunya bisa siapa saja.

"Kami tidak menampik ada kekerasan di sana, yang bisa saja dilakukan oleh siapa pun. Karena bukan rahasia umum, tempat-tempat rehabilitasi, bahkan lapas sekali pun yang punya negara itu, faktor-faktor kekerasan ada. Tidak hanya fisik, tapi juga psikis dan segala macam.”

Mangapul meminta agar kasus kerangkeng manusia ini diselesaikan sebagaimana mestinya sesuai koridor hukum.

"Biarkan proses ini berjalan, jangan menegakkan keadilan dengan cara melanggar hukum!”

Harapan di tengah trauma

SENIN 21 Maret 2022, saya menemui Rian, Broery, dan Robi di sebuah desa. Ketiganya masih menunjukkan trauma akibat penyiksaan di dalam kerangkeng Bupati Langkat.

“Aku tak berani melihat sungai. Hampir mati tenggelam aku dulu di sungai sewaktu melarikan diri,” kata Robi.

“Selain sungai uwak?” tanya saya.

“Sama selang. Trauma aku dicambuk.”

Rian menimpali, “Kami ini pengin benar bebas. Sewaktu di kereng, setiap salat selalu berdoa, ya Allah keluarkan kami dari sini.”

“Semua salat di kereng?” kata saya.

“Semua uwak, termasuk yang bandel.”

Rian menambahkan, “Kawan kami yang Nasrani juga ikut salat dalam kereng. Enggak bohong aku ini. Saking takutnya kami.”

Awalnya, saat terbebas, Anak-anak kereng menyimpan dendam kepada orangtua mereka. Tak terima dimasukkan ke kereng berkedok tempat rehabilitasi.

Mereka menyadari kesalahan mereka, dan berkeinginan untuk berubah. Tapi di kereng, mereka sama sekali tidak merasa lebih baik.

“Kami tunjukkan luka kami ini ke orangtua. Mereka pingsan. Merasa bersalah. Di situ rasa dendam kami hilang,” kata Robi.

“Banyak kawan-kawan aku itu yang stres. Jadi gila,” kata Rian, menukas dikutip dari suara.com

Mereka menyadari, Cana dan Dewa punya kekuasaan dan uang. Mantan anak-anak kereng takut, kasus ini tidak benar-benar diproses seadil-adilnya.

Mereka berharap, Presiden Jokowi, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa, dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mau berempati terhadap penderitaan anak-anak kereng dan menyelesaikan kasusnya.

“Pak presiden, pak panglima, pak kapolri, tolong tengok penderitaan kami ini,” kata Robi.

Rian melontarkan pernyataan menggugat. “Masak yang kejam, dilindungi. Seharusnya korban yang dilindungi, bukan penjahat. Karena dia banyak duit? Berarti negara ini bisa dibeli dengan duit. Gayus Tambunan lah hukuman bisa dibeli. Kek kami ini orang enggak punya duit, gimana?”

Robi menimpali, “Apa yang mau kami beli? Toh nyawa kami sebatas harga meterai.”