Tak Semanis Es Krimnya, Pekerja PT Alpen Food Industry Merasa Diperlakukan Tak Manusiawi

Logo-Aice.jpg
(istimewa)

RIAU ONLINE, BANDUNG-Sejumlah pekerja mengaku memiliki pengalaman kurang menyenangkan bekerja sebagai buruh PT Alpen Food Industry, perusahaan penghasil es krim, Aice.

Mereka mengungkapkan kondisi kehidupan mereka yang diperlakukan tidak manusiawi oleh perusahaan produsen es krim Aice tersebut, dan juga penyalur outsourcing.

Ravi Bimantara misalnya, kepada Suara.com, Kamis 5 Maret 2020, mengakui sejak awal bekerja sudah mendapatkan perlakuan yang terbilang tidak manusiawi.

Ia menceritakan, awal mula melamar pekerjaan di PT AFI sekitar bulan Februari 2020.

Dia dijanjikan penyalur outsourcing untuk mendapatkan pekerjaan nyaman dengan gaji yang sesuai di PT Alpen Food Industry, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.

Janji-janji itu, kata dia, contohnya ialah mendapat gaji di atas upah minimum Kota Bekasi, mes yang nyaman, makanan sehat dan kepastian status kerja.

"Kami diberi tahu ada fasilitas mes, di dalamnya ada sofa, kasur, pokoknya nyaman. Soal makan, katanya dapat 3 kali sehari katering. Makanannya juga didatangkan dari tempat asal kami, Jawa Timur. Satu kali makan Rp 10 ribu,” kata Ravi saat ditemui di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur.

Tergiur oleh janji tesebut, lelaki asal Mojokerto, Jawa Timur itu rela mengeluarkan uang Rp 300 ribu untuk tes kesehatan kepada penyalur outsourcing.

Tak hanya itu, Ravi juga mengungkapkan lebih dulu mengeluarkan uang Rp 700 ribu untuk membiayai perjalanan Mojokerto – Bekasi.

Namun, Ravi mulai merasakan kejanggalan sejak tanggal 12 februari 2020, persisnya saat diberangkatkan ke Bekasi.

“Kami disuruh kumpul sejak pagi, karena jam 9 berangkat ke Bekasi. Tapi kami baru diberangkatkan pukul 22.00 WIB, malamnya,” kata dia.

Ravi mengungkapkan, berangkat bersama rombongan berjumlah 75 orang. Semuanya diberangkatkan untuk bekerja di pabrik Aice Bekasi menggunakan satu bus.

Selama dalam perjalanan pun, Ravi mengakui hanya diberikan sekali jatah makan. Padahal, waktu tempuh Mojokerto – Bekasi adalah 24 jam.

"Cuma diangkut satu bus, jadi ada yang tak kebagian tempat duduk. Saya sendiri dari Mojokerto sampai Bekasi berdiri. Tapi karena lelah, saya tidur saja di lantasi bus,” kata dia.

Sepanjang perjalanan, Ravi berharap segera sampai di mes buruh PT AFI yang berkasur guna beristirahat.

Tapi sesampainya di mes, Ravi mengungkapkan jauh dari harapan semula. Dia hanya menemukan 2 mes yang masing-masing terdiri dari 2 kamar tidur dan 1 kamar mandi.


Satu kamar otomatis menjadi milik 3 buruh wanita yang harus tidur bersama 72 buruh laki-laki lainnya di dalam satu atap. Sementara buruh laki-laki sisanya harus tidur berimpitan setiap harinya.

"Yang cewek dapat satu kamar, laki-laki cuma menempati kamar satunya, ruang tamu, ruang tengah, dapur, hingga teras juga. Kalau tak cukup, tidur di bus,” kata Ravi.

Tak sampai di situ, urusan makanan yang dijanjikan akan disesuaikan dengan "lidah Jawa Timur" pun tak juga dipenuhi.

Untuk menelan sepotong daging ayam dan setetes es teh manis, Ravi mengakui ia dan kawan-kawannya sangat jarang merasakannya.

"Kalau katering di sini tidak pernah ada minuman manis. Pernah saya dapat nasi bungkusan isinya Cuma nasi, urap, dan kangkung. Itu pun urapnya cuma tahu dipotong kecil-kecil dan parutan kelapa.”

"Ayam jarang, soto juga jarang, yang paling sering itu telur ayam bumbu Bali dan nasi. Kadang juga ditambahkan ote-ote buat lauk, itu yang katanya Rp 15 ribu. Kan kita manusia, butuh makanan 4 sehat 5 sempurna."

Masa kerja Ravi tak berlangsung lama. Per hari ini, Kamis (5/3/2020),ia tidak lagi berstatus sebagai karyawan PT Alpen Food Industry karena di-PHK.

Ia merasa, mendapat PHK bersama 600-an pekerja PT AFI lainnya karena bersikap kritis terhadap kondisi tersebut, dan melakukan pemogokan umum.

Klarifikasi Aice

Berdasar rilis yang diterima Suara.com, Legal Corporate PT AFI, Simon Audry Halomoan Siagian menegaskan pihaknya telah mengikuti regulasi yang ada untuk menjawab tuntutan massa aksi.

Diketahui, para pekerja yang tergabung dalam Serikat Gerakan Buruh Indonesia (SGBBI) menyerukan aksi mogok kerja sejak Jumat, (21/2/2020)

"Kami harap pihak DGBBBI PT AFI dapat mengikuti anjuran yang diberikan oleh mediator," ungkap Simon.

Lebih lanjut, Simon menjawab sejumlah poin tuntutan yang diajukan SGBBI dalam bipartit. Selengkapnya, berikut klarifikasi yang disampaikan PT AFI.

1. Upah Pekerja

Salah satu tuntutan krusial yang diajukan oleh SGBBI yakni mengenai sistem pengupahan. Pada awalnya, SGBBI meminta agenda pembahasan kenaikan upah sebesar 15 persen dari sales tahun 2018 pada tahun 2019. Besaran upah yang diminta sebesar Rp 11.623.616.

Namun setelah perundingan bipartit berjalan lima kali, PT AFI menawarkan formula lain yakni dengan kenaikan upah senilai Rp 8.031.668 lantaran tidak bisa memenuhi besaran upah rapelan yang dituntutkan. Tawaran inipun tidak berujung pada penyelesaian.

"Tidak terjadi kesepakatan dalam proses bipartit maupun mediasi. Pihak mediator sudah mengeluarkan anjuran tertulis. Bagi pihak yang tidak setuju bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial," ucap Simon.

2. Tuduhan Eksploitasi Wanita Hamil

Selain sistem pengupahan, PT AFI juga diduga melakukan tindakan eksploitasi kepada pekerja wanita hamil. Disebut-sebut banyak pekerja yang mengalami keguguran karena porsi kerja yang berat.

Terkait hal ini, Simon menerangkan pihaknya telah mematuhi aturan mengenai keselamatan kerja seperti yang tertuang dalam Pasal 76 ayat (2) UU 13/2003.

"Kami memiliki tim medis yang bertugas di dalam operasional. Mereka secara rutin memberikan cek medis secara berkala termasuk bag rekan pekerja yang sedang mengandung untuk tidak melakukan pekerjaan berat, terutama saat shift malam," kata Simon.

Lebih lanjut kata Simon, PT AFI juga melakukan verifikasi kepada pekerja yang mengalami keguguran melalui pengecekan surat dokter.

"Tidak pernah ada diagnosa yang menerangkan pekerja keguguran karena melakukan pekerjaan terlalu berat," lanjutnya.

3. Klaim Mogok Kerja Tidak Sah

Dalam keterangan selanjutnya, PT AFI pun mengonfirmasi soal klaim aksi mogok kerja karyawan tidak sah.

Menurut Simon, PT AFI telah memberikan tanggapan terhadap Surat Pemberitahuan Mogok Kerja sebagai Mogok Kerja Tidak Sah yang diajukan oleh SGBBI. Ia mengatakan, selama negosiasi bipartit yang dilakukan lima kali tidak sekalipun menghasilkan penyelesaian.

Perusahaan telah mengundang SGBBI untuk melakukan bipartit pada aksi mogok kerja pertama yang berlangsung pada 20, 21 dan 23 Desember 2019, namun tidak menemukan titik temu.

"SGBBI mengajukan penyelesaikan secara tripartit melalui forum mediasi," ucap Simon.

Pihak PT AFI juga mengklaim saat itu pihaknya juga masih membuka peluang diskusi terkait Surat Pemberitahuan Mogok Kerja sebagai Mogok Kerja Tidak Sah, namun menemui jalan buntu karena proses bipartit masih berlangsung.

Artikel ini sudah terbit di Suara.com