Melihat Jejak Kuda Terbang di Kampung Pitu yang Sakral di Yogyakarta

Tapak-Kuda-Sembrani.jpg
((SuaraJogja.id/Asta Pramesti))

RIAU ONLINE, YOGYAKARTA-Pernah mendengar kuda sebrani atau kuda yang bisa terbang. Jejak hewan mitologi yang bertugas menghantar bidadari ini terekam di Kampung Pitu di Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Istimewa Yogyakarta.

Di sisi timur Gunung Api Purba Nglanggeran, terdapat sebuah kawasan sakral bernama Kampung Pitu. Memiliki peraturan unik, kampung ini hanya boleh dihuni oleh 7 Kepala Keluarga (KK) saja. Tidak boleh kurang, tidak boleh lebih.

Selain itu, mereka yang boleh tinggal dan bermukim di tanah yang terletak di Dusun Nglanggeran Wetan ini hanyalah turunan dari Eyang Iro Kromo. Dia adalah orang yang pertama kali tinggal di Kampung Pitu ribuan tahun lalu.

Karena adanya peraturan tersebut, tanah seluas 7 hektar itu kini benar-benar hanya dihuni 7 KK dengan total 30 orang penduduk dan 8 bangunan rumah.

Meski masih banyak tanah, tidak ada orang luar yang berani menjadi pendatang baru dan bermukim di Kampung Pitu saking kelewat sakralnya.

Menuntaskan rasa penasaran, tim SuaraJogja.id bertandang langsung ke Kampung Pitu. Di sana kami menemui sang juru kunci, Redjo Dimulyo yang merupakan cicit dari Eyang Iro Kromo.

Menyapa kami dengan hangat, Redjo yang sudah berumur 103 tahun, masih begitu bersemangat menceritakan seluk beluk Kampung Pitu.

Menurut Redjo, dulunya Kampung Pitu berawal dari sayembara Keraton yang menjanjikan hadiah tanah bagi siapapun yang mau dan mampu menjaga pohon pusaka bernama Kinah Gadung Wulung.

Tanah hadiah ini nantinya tak hanya untuk si pemenang sayembara namun juga para keturunannya. Dengan catatan, hanya 7 KK dari keturunan si pemenang saja yang bisa hidup dan bertahan di tanah bersangkutan.


Sebagai pemenang dari sayembara, Eyang Iro Kromo pun mendapatkan hadiah tanah Kampung Pitu. Percaya atau tidak, ajaibnya, hingga kini Kampung Pitu memang hanya bisa ditinggali oleh dirinya dan anak cucunya.

Apabila peraturan 7 KK ini dilanggar, sambung Redjo, akan ada hal buruk yang menimpa si pelanggar. Bahkan, disebutkan ada orang luar yang tiba-tiba meninggal setelah mengeyel ingin bermukim di Kampung Pitu.

"Ono wong anyar mboten asli mriki arep urip ten mriki. Kulo wangsuli mboten kenging, tapi nekat. Ten mriki tiyange sedo (Dulu ada orang dari luar yang ingin bermukim di sini. Sudah saya kasih tahu tidak boleh tapi nekat. Akhirnya orangnya meninggal)," ujar Redjo saat ditemui pada Selasa (18/2/2020) lalu.

Perihal penyebab kematian, imbuh Redjo, yang bersangkutan tahu-tahu masuk angin beberapa hari sebelum akhirnya meninggal dunia.

"Wetan iki arep digawe omah, omahe durung dadi tapi wonge wis meninggal (Pernah ada orang luar yang bikin rumah di sebelah barat ini, rumahnya belum jadi, orangnya sudah meninggal)," sambung Redjo.

Berkaca pada kejadian di luar nalar itu, warga Kampung Pitu maupun masyarakat umum pun lebih memilih mematuhi peraturan yang ada.

Tak heran apabila ada anak warga Kampung Pitu yang menikah, dia diwajibkan untuk berpindah. Alasannya sederhana, yakni guna menjaga jumlah kepala keluarga tetap tujuh.

Dari kesepuluh anak Redjo, hanya satu yang kini tinggal bersamanya di Kampung Pitu, yaitu anak paling ragil bernama Surono. Supaya tetap tujuh KK, stastus Redjo pun kini menempel di kartu keluarga milik Surono.

Tradisi dan Pantangan di Kampung Pitu

Kampung Pitu sejatinya sangat menjunjung tinggi tradisi yang telah ada sejak ribuan tahun lalu. Warganya kompak melakoni apa yang diwajibkan dan menghindari setiap pantangan.


Soal kewajiban, warga setelah harus mengamalkan apa yang disebut Aksara 4, Aksara 5, dan Aksara 7. Secara garis besar, tiga Aksara yang dimaksud adalah pedoman-pedoman tentang bagaimana manusia bertingkah laku di alam.

Redjo menjelaskan, Aksara 4 berarti suci, jujur, langgeng, dan lestari. Di sisi lain, Aksara 7 lebih menekankan tradisi mencari waktu yang pas untuk melakukan sesuatu. Misalnya, saat ingin membangun rumah atau menikah, dianjurkan mencari hari yang bagus.

Redjo tidak menjelaskan secara lebih rinci terkait Aksara 5. Namun yang pasti, ketiganya wajib dilakukan oleh siapapun yang hidup di masyarakat dan berdampingan dengan alam.

Beragam ritual juga dilangsungkan oleh warga Kampung Pitu, di antaranya Rasulan, Tingalan, hingga Ngabekten.


Ritual-ritual ini dipercaya membawa berkah dan keamanan bagi warga Kampung Pitu. Sekaligus, merupakan cara keturunan Eyang Iro Kromo untuk mengirim rasa syukur dan menghormati alam tempat mereka berpijak.

Soal pantangan di Kampung Pitu, ternyata adalah menyelenggarakan acara wayang.

"Sampun tradisi, mboten keno nek nanggep wayang. Nek tontonan angsale ledek lan ketoprak (Sudah tradisi, tidak boleh gelar sajian wayang kulit. Hiburan yang diperbolehkan biasanya ledek dan ketoprak)," kata Redjo.

Mengapa wayang dilarang? Seorang warga generasi keempat Kampung Pitu, Yatnorejo menjelaskan, hal itu berkaitan dengan nama gunung tempat berdirinya kawasan Kampung Pitu.

"Karena gunungnya itu namanya Gunung Wayang, makanya tidak boleh diadakan acara wayangan di sini," jelas Yatno ketika ditemui di rumahnya.

"Dulu pernah ada yang gelar wayang. Akhirnya ada peristiwa orang dipenggal kepalanya. Sejak saat itu, warga tidak berani ada yang menggelar wayang," beber Yatno.

Sebenarnya, larangan wayang ini tak hanya berlaku di Kampung Pitu. Beberapa wilayah lain di dekat Kampung Pitu yang masih satu kawasan di Gunung Api Purba juga tak boleh meremehkan peraturan satu ini.

Tempat Keramat di Kampung Pitu

Tak hanya kampungnya saja yang sakral, beberapa tempat di Kampung Pitu juga dipercaya memiliki kekuatan magis.

Kini jadi persawahan di sudut Kampung Pitu, dulunya area itu disebut Telaga Guyangan. Warga percaya, dahulu telaga itu merupakan tempat untuk memandikan kuda sembrani, kendaraan para bidadari.

"Telaga Guyangan niku padusane jaran sembrani, langenane widodari. (Telaga Guyangan dulunya tempat untuk memandikan kuda sembrani miliki para bidadari)," kata Redjo.

Redjo juga menyebut bahwa jejak kaki para kuda magis yang berkunjung ke Telaga Guyangan ini tercetak di tanah sekitar telaga. Bentuknya masih bisa terlihat cukup jelas karena kini telah menjadi batu.

Dikatakan Redjo, para abdi dalem Keraton beberapa kali mengambil batu tempat tapak kuda tercetak. Konon, hanya dengan tiga ketukan saja, bongkahan batu tersebut bisa terangkat dan dibawa ke Keraton Yogyakarta. Namun, tentu saja tidak sembarang orang bisa melakukannya.

 

Tapak Kuda Sembrani. (SuaraJogja.id/Asta Pramesti)

Tapak Kuda Sembrani. (SuaraJogja.id/Asta Pramesti)

Kondisi Kampung Pitu Kini

Secara geografis, Kampung Pitu terletak di Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, dengan topografi tanah yang tidak rata dan berbukit-bukit.

Untuk bisa mencapai kampung sakral ini, rute satu-satunya yang bisa ditempuh adalah dengan menaiki tanjakan curam, lengkap dengan jurang yang berada di sisi jalan. Jalan ini bisa dilalui oleh motor maupun mobil.

Sejak didapuk menjadi tempat wisata pada tahun 2015, Kampung Pitu banyak mengalami perubahan, terutama dari segi infrastruktur jalan dan teknologi.

Sebelum seperti sekarang, Kampung Pitu seolah terisolir dari dunia modern lantaran letaknya yang jauh di atas bukit, kondisi jalan yang hanya bisa dilalui oleh pejalan kaki, hingga tidak adanya penerangan listrik.

Salah satu warga, Sumbuk, bernostalgia tentang bagaimana perjuangan yang harus dilakoninya dulu tatkala ingin pergi ke pasar.

"Dulu kalau mau ke belanja pasar Piyungan, harus mulai jalan jam 1 pagi. Sampai Pasar Piyungan jam 5 pagi," kenang Sumbuk.

Namun kini, sejak jalan mulai diperbaiki dan listrik mulai masuk, kehidupan di Kampung Pitu setidaknya jadi lebih mudah. Sumbuk menambahkan, kini hanya dibutuhkan waktu satu jam untuk bisa sampai Pasar Piyungan.

Meski beberapa hal tetap saja harus memakan waktu lama karena jauhnya Kampung Pitu dari pusat keramaian, hal ini tidak membuat para warganya lantas merasa nelangsa.

Salah satu cucu Redjo Dimulyo, Roni Setiawan yang kini menginjak 20 tahun, mengungkapkan bahwa ia merasa senang hidup di kampung sakral yang jauh dari kota.

 Kampung Pitu. (SuaraJogja.id/Asta Pramesti)

Kampung Pitu. (SuaraJogja.id/Asta Pramesti)

"Ya, senang-senang saja, sih. Apalagi di sini ada wifi," kata Roni sambil terkekeh.

Senada, salah satu warga bernama Suhardi mengaku tidak masalah walau harus tinggal di Kampung Pitu. Dia tetap merasa bahagia meski harus meninggalkan desa kelahirannya yang bisa dibilang lebih modern dari tempat tinggalnya kini.

"Saya bahagia tinggal di sini," kata Hardi yang resmi menjadi warga Kampung Pitu setelah menikahi perempuan keturunan Eyang Iro Kromo, Suyanti.

Meski hidup berdekatan dengan sekelumit tradisi yang seram untuk dilanggar dan jauh dari nalar akal sehat, apa yang dilakoni warga Kampung Pitu sejatinya hanya berusaha menjaga keselarasan alam.

Hasil nyata dari semua ritual, tradisi, pantangan yang ada di Kampung Pitu adalah membuat alam tempat mereka berpijak tetap asri dan lestari