Emas Rakyat Aceh 20 Kg untuk Beli Pesawat Seulawah Ternyata Dikorupsi

Seulawah-Bantuan-Rakyat-Aceh.jpg
(INTERNET)

RIAU ONLINE - Permintaan pemerintah Indonesia kepada rakyat Aceh untuk menyumbangkan apa saja bisa disumbangkan untuk membeli pesawat bagi kepala negara, Presiden Sukarno, disambut antusias.

Pada 16 Juni 1948, di Hotel Kutaraja (Banda Aceh), Sukarno berpidato dan berhasil membangkitkan patriotisme rakyat Aceh. Melalui sebuah kepanitiaan diketuai Djuned Yusuf dan Said Muhammad Alhabsji, berhasil dikumpulkan sumbangan dari rakyat Aceh setara dengan 20 kilogram (Kg) emas.

Emas seberat 20 Kg tersebut, menurut almarhum wartawan senior Rosihan Anwar, dalam bukunya Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 6, setara dengan 120 ribu Dolar Singapura.

Baca Juga: Bukan Aceh, Kaum Ibu Minanglah Pertama Kali Beli Pesawat Untuk Indonesia

Sayangnya, uang senilai 120 ribu Dolar Singapura tersebut tak utuh diserahkan ke Opsir Udara II Wiwko Supono, staf Biro Rencana dan Propaganda TNI AU yang diperintahkan oleh Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) Laksamana Udara Soerjadi Soerjadarma, untuk membeli pesawat di Siam, Thailand sekarang.

"Wiweko terperanjat hanya menerima separo saja, 60 ribu Dolar AS. Separonya mungkin sudah di korupsi. Itu terjadi tahun 1948," tulis Rosihan Anwar dalam bukunya seperti dikutip RIAUONLINE.CO.ID, Sabtu, 18 Februari 2017.

"Korupsi sudah membudaya pada masa itu" keluhnya suatu hari.

 


Lalu, bagaimana Wiweko bisa membeli pesawat terbang harganya kurang dari 125 ribu Dolar AS? Dengan dana 60 ribu Dolar Singapura, Wiweko mencari solusi dan mendapatkan satu unit kapal terbang, kemudian beranak-pinak menjadi tiga unit pesawat terbang  Dakota.

Pesawat Dakota DC-3 yang mampu dibeli oleh Wiweko di luar negeri. Kemudian diberi nama RI 001-Seulawah dengan panjang badan 19,66 meter dan rentang sayap 28.96 meter, ditenagai dua mesin Pratt & Whitney berbobot 8.030 kg serta mampu terbang dengan kecepatan maksimum 346 km/jam.

Pesawat Seulawah Bantuan Rakyat Aceh

Pesawat dibeli Wiweko inilah kemudian diberi nama Indonesia Airways, maskapai penerbangan komersil untuk membiayai biaya operasional perwakilan Republik Indonesia di luar negeri. Kantor pusatnya di Burma (Myanmar) sekarang. 

Awal Desember 1948, pesawat Dakota RI-001 Seulawah bertolak dari Lanud Maguwo-Kutaraja dan 6 Desember 1948, bertolak menuju Kalkuta, India.

Klik Juga: Ditembak Pemuda Riau, Pesawat Pembom B-25 Patah Dua

 

Pesawat diawaki Kapten Pilot J Maupin, Kopilot OU III Sutardjo Sigit, juru radio Adisumarmo, dan juru mesin Caesselberry. Perjalanan ke Kalkuta untuk melakukan perawatan berkala. Ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, Dakota RI-001 Seulawah tidak bisa kembali ke tanah air.

Atas prakarsa Wiweko Supono, dengan modal Dakota RI-001 Seulawah itulah, maka didirikanlah perusahaan penerbangan niaga pertama, Indonesian Airways, dengan kantor di Birma (kini Myanmar), 29 Januari 1949. 

Saat itu Birma membutuhkan jasa angkutan udara baik untuk kepentingan sipil maupun militer menghadapi kaum separatis. Usaha yang ia rintis membawakan hasil, bahkan dapat menambah modal usaha dengan membeli pesawat C-47 (DC-3 Dakota versi militer) serta pada 31 Oktober 1950, mampu menyumbangkan pesawat dakota RI 007 Djakarta sebagai terima kasih kepada pemerintah Myanmar.

Dalam sejarah, bersama awak pesawat DC-3 Dakota RI-001 "Seulawah" Indonesian Airways, Wiweko berhasil dua kali menembus blokade udara Belanda, menyelundupkan senjata, peralatan komunikasi dan obat-obatan dari Birma ke Pangkalan Udara Lhok Nga dan Pangkalan Udara Blang Bintang (Bandar Udara Iskandar Muda), Aceh.


Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline