Hasil Forensik, Polisi Bohong, tak Ada Tanda-tanda Perlawanan dari Siyono

Ekspose-Hasil-Autopsi-Siyono.jpg
(BBC)

RIAU ONLINETeka-teki penyebab kematian Siyono, dilakukan anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri, mulai terkuak. Terkuaknya misteri tersebut usai autopsi yang dilakukan beberapa pekan lalu, disampaikan ke media di kantor Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM), Senin, 11 April 2016. 

 

Autopsi ini dilakukan Komnas HAM, Persatuan Dokter Forensik Indonesia, dan PP Muhammadiyah terhadap jenazah terduga teroris Siyono. Hasilnya, korban meninggal karena patah tulang di bagian dada mengarah ke jaringan jantung.

 

Komisioner Komnas HAM, Siane Indriani menjelaskan, hasil autopsi terhadap Siyono memperlihatkan korban mengalami patah di lima iga bagian kiri, patah satu iga bagian kanan, dan tulang dada juga patah akibat benda tumpul di rongga dada mengarah ke jaringan jantung. 

 

Baca Juga: Begini Aksi Salah Tangkap Densus 88

 

"Ini menyebabkan kematian lumayan fatal. Titik kematian ada di situ," kata Siane pada wartawan.

 

Hasil forensik juga tak menunjukkan ada tanda-tanda perlawanan atau tangkisan dari Siyono. Tim forensik diketuai Gatot Suharto juga menemukan luka ketokan di kepala, tapi hal itu tidak menyebabkan perdarahan atau kematian.

 

PP Muhammadiyah Terima

SURATMI (kanan, mengenakan baju warna hitam yang juga menutup wajahnya), istri terduga teroris Siyono yang tewas ketika diperiksa Densus 88 Selasa (29/3) menyerahkan 2 bungkusan uang kepada Busyro Muqodas Ketua PP Muhammadiyah Bidang hukum dan HAM.


 

Kepolisian sebelumnya mengklaim Siyono meninggal setelah berkelahi dengan anggota Detasemen Khusus Antiteror 88 dan menyatakan Siyono tewas akibat perdarahan di kepala disebabkan benturan dengan benda tumpul.

 

Selain itu, hasil autopsi juga menunjukkan ada memar di bagian belakang tubuh seperti bersandar pada permukaan keras. Terhadap temuan ini, PP Muhammadiyah maupun Komnas HAM, baru akan membahas guna menentukan langkah selanjutnya terhadap temuan diperoleh dari autopsi.

 

Sementara itu, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik, Busyro Muqoddas mengatakan, autopsi dilakukan tersebut bagian dari kontrol dari masyarakat sipil terhadap negara.

 

Klik Juga: Seorang Terduga Teroris di Pulau Jawa Warga Pekanbaru

 

"Kami sepakat kasus Siyono ini terakhir lah, terakhir sekali, jangan sampai ini terus-menerus dan tidak ada endingnya," kata mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). 

 

Busyro juga menilai sudah lama tidak ada indikasi turunnya frekuensi, kualitas, atau volume tindakan terorisme dan tidak pernah diungkap dengan lebih transparan karena (terduga) langsung meninggal dunia.

 

Warga Minat Densus 88 Dibubarkan

 LASKAR Islam di Solo melakukan aksi demo terkait tewasnya terduga teroris oleh Densus Anti Teror, Jumat, 18 Maret 2016.

 

"Upaya melakukan otopsi dan membukanya pada publik sebagai bentuk kontrol terhadap Densus 88 dalam penanganan terduga terorisme," tutur mantan Ketua Komisi Yudisial ini. 

 

Koordinator KontraS, Haris Azhar juga mengatakan, selama ini tidak pernah terdengar polisi melakukan penegakan hukum terhadap orang-orang yang meninggal dalam operasi penanggulangan terorisme.

 

"Yang utama proses penegakan hukum dulu, soal nanti dilengkapi pelanggaran etik atau disiplinernya, itu terserah internal mereka (polisi). Ini momentum tepat mengevaluasi kerja negara dalam melakukan pemberantasan terorisme, BNPT harus diperiksa, diuji, itu kan kerja pakai duit negara, Densus juga seperti itu, termasuk bantuan-bantuan asing," jelasnya. 

 

Dalam konferensi pers itu, PP Muhammadiyah dan Komnas HAM juga membuka dua paket uang menurut mereka diberikan pada istri dan saudara laki-laki mendiang Siyono oleh polisi saat keduanya membesuk di tahanan. Meski kemudian Siyono sudah meninggal. Ketika dibuka di hadapan wartawan, uang tersebut berjumlah Rp 100 juta.

 

 

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE dan Follow Twitter @red_riauonline