Pemulihan Psikis Anak 5 Tahun Saksi Ayah Bunuh Ibu

pendampingan-anak2.jpg
(Muthi Haura/Riau Online)

RAU ONLINE, PEKANBARU-Dengan senyum sumringah, gadis kecil itu ceria menyambut beberapa tamu yang datang ke rumahnya di KM 19, Maredan, Tualang, Kabupaten Siak, Riau, Rabu 16 Maret 2022. Terkadang, ia bergelayut manja di lengan para tamu yang memberikannya seplastik besar makanan.

Sorotannya tanpa beban, tapi dari bola matanya terpencar sebuah kesedihan. Di depan matanya, kedua orang tuanya cekcok berujung dengan melayangnya eggrek (alat pemotong kelapa sawit) oleh CD (38) ke leher ibunya, NH (30), Jumat, 11 Maret 2022.

Kesedihan akan hilangnya definisi ‘keluarga’ baginya. Kesedihan karena tidak lagi memiliki sosok ia panggil ‘mamak’, juga ‘ayah’. Juga mungkin memendam banyak kekecewaan.

Si gadis ceria kembali berlari kesana-kemari. Kaki kecilnya yang dibalut jeans selutut itu seolah mematuhi keinginan sang pemilik badan. Di ujung tengah ruangan, sang abang tertunduk lesu. Matanya menggambarkan kelelahan amat sangat. Sayu, terkadang berkaca-kaca.

R (13), santri pondok pesantren di Kabupaten Siak tampak menunduk. Sesekali mengangkat kepala sembari memberi senyum terlihat dipaksakan. Di kiri kanan R, duduk neneknya, Marta Leni dan adik angkatnya, Santi. Ruko bercat hijau dijadikan sebagai rumah itu penuh.

Pasalnya, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB), Fariza, dan rombongannya mendatangi rumah si gadis kecil nan ceria. Kepada DP3AP2KB, Marta Leni bercerita, Jumat, 11 Maret 2022 lalu, anak perempuannya, NH pergi wirid.

Sore usai wirid, NH tak kunjung pulang, sedangkan teman-teman satu wiridnya sudah pulang. Ini tentu saja menimbulkan tanda tanya bagi suami NH, berinisial CD. “Belum pulang juga, karena bantu-bantu di rumah tempat wirid itu, tapi CD udah mondar-mandir ngelihat ke arah jalan,” kata Marta Leni, Rabu, 16 Maret 2022.

Dengan mata berkaca-kaca, Marta Leni melanjutkan cerita, saat NH sudah pulang, ia mampir terlebih dahulu ke kedainya, di sebelah rumah anaknya tersebut. Ia membuka kedai makan diberi nama ‘Radela’. Kedai makan ini bersama-sama ia besarkan dengan NH, berdiri selemparan batu dari ruko kediamannya.

“Mampir, terus saya bilang. Antarlah makanan ke tempat suamimu. NH nurut, ia sekalian juga udah belikan rokok untuk sang suami. Terus, tak beberapa lama, cucu bungsu saya (L) datang sambil bilang, kalau mamak dipotong ayah,” katanya dengan mata berkaca-kaca.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB), Fariza mengunjungi rumah korban meninggal akibat keributan dalam rumah tangga/Muthi Haura/Riau Online

Mendengar penuturan sang cucu, sontak Marta Leni kaget. Jantungnya berdegup kencang. Perempuan berusia 55 tahun itu langsung membawa sang cucu ke ruko menjadi kediaman sang anak. Belum sampai di ruko, Marta Leni melihat NH tertatih-tatih berjalan ke arahnya.

Ketika itu, NH dalam kondisi penuh darah. Enggrek masih tertancap di lehernya. “Maakk, kata anak saya, lalu kemudian dia terjatuh. Barulah enggrek yang tertancap di lehernya terlepas. Saya minta bantuan ke orang di jalan, tapi tidak ada satupun yang nolong. Di situ saya sedih sekali,” katanya sambil menghela nafas.

Marta Leni menatap nanar dengan mata berkaca-kaca. Ia menghela nafas, lalu kemudian kembali melanjutkan cerita. Saat melihat anaknya, ia menjerit-jerit hingga suaranya serak, akan tetapi tetap tak ada satupun yang menolong.

“Akhirnya badan saya terjatuh, terus saya ngucap Laa illaha illailah kuatkan aku. Barulah berdiri lagi. Siap itu, nggak ada juga yang bantu. Darahnya masih ngalir kayak air. Meninggalnya di tanah. Setelah itu, barulah datang adek angkat, dipegangnya tangannya, udah nggak ada. Barulah ambil kain buat nyelimuti dia,” kenangnya.

pendampingan anak

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB), Fariza mengunjungi rumah korban meninggal akibat keributan dalam rumah tangga/Muthi Haura/Riau Online

Berkali-kali perempuan separuh baya berjilbab pink itu menghela nafas. Rasa kecewa, sedih, dan berbagai rasa lainnya bercampur aduk dihatinya. Sempat terbesit rasa bersalah karena ia yang menyuruh anaknya NH untuk mengantar makanan kepada suaminya. Namun, penyesalanpun tak akan ada lagi artinya.


Kepala DP3AP2KB, Fariza dan rombongannya mendengarkan cerita Marta Leni. Si gadis ceria beberapa kali juga turut nimbrung, walau mungkin ia tidak memahami pembahasan tengah diperbincangkan. Atau justru sebenarnya ia paham? Si gadis kecil ceria tertawa, lalu memakan dengan lahap cemilan yang diberikan kepadanya.

Gigi-giginya yang kecoklatan terlihat saat ia tertawa. Abangnya masih bungkam. Sesekali rombongan DP3AP2KB mengajak si gadis ceria dan abangnya bercerita. Si gadis nan lincahitu menanggapi dengan semangat. Terlihat kepintaran dari tutur kata dan kelakuannya. Sementara abangnya masih sama. Tertunduk dengan lesu.


Mamak Kok Gak Keluar-keluar

Si gadis ceria sendiri merupakan anak bungsu dari tiga bersaudara. Anak pertama, R, duduk dibangku MTs kelas 1 pondok pesantren, anak kedua, D, duduk kelas VI sekolah dasar di Aceh. R bukan anak kandung NH bersama suaminya CD, melainkan anak bawaan NH dari suami pertamanya.

“Jadi dulu dengar ceritanya itu, NH saat masih SMP mungkin sempat dekat dengan CD, merupakan karyawan pabrik yang lokasinya dekat dengan SMP NH. Lalu beberapa tahun kemudian, NH menikah dengan suami pertamanya, sehingga lahirlah si abang,” cerita Marta Leni.

Saat mengetahui NH menikah dengan lelaki lain, CD kembali ke kampung halamannya di Aceh. Beberapa tahun kemudian, setelah CD mengetahui NH bercerai, ia menikahi NH dan lahirlah D, sekarang tinggal di Aceh dan si bungsu, L, anak gadis ceria. Tapi sepanjang pernikahan NH dan CD, menurut Marta Leni emang kerap kali berselisih paham.

Selain itu, CD juga memiliki sifat posesif terlalu berlebihan. Bahkan dengan sesama perempuan saja, CD bisa cemburu. Untuk menghidupi keluarganya, pelaku bekerja serabutan, bahkan terkadang tak bekerja. Sementara itu, NH membuka rumah makan bersama Marta Leni. Di rukonya, korban juga membuka laundry dan berjualan pulsa.

Nama usaha yang dikelola NH yaitu Radela yang merupakan singkatan dari nama ketiga anak-anaknya. Saat NH akan dimakamkan, si abang dijemput dari pondok pesantren. “Sedangkan anak kedua si D, saat ditelepon, ia menangis kencang. Ia kemudian juga bertanya dimana ayahnya,” kata Marta Leni.

Sesekali perempuan paruh baya itu mengusap matanya. Ia kemudian berkali-kali menghela nafas. “Kalau si bungsu, kalau lagi sepi, suka nanya, dimana mamaknya. Mana Mamak? Pergi dia ke kuburan sama abangnya, dia nanya, mamak kok nggak keluar? Waktu kemaren dia nanya mamak nggak pulang?,” ceritanya.

L merupakan anak berkulit sawo matang. Rambutnya pirang kecoklatan dengan senyum terus tersungging di wajahnya. Sosoknya periang, sehingga gampang dekat dengan orang baru ia temui.

Kepada RIAUONLINE.CO.ID, L bercerita banyak hal seolah tak pernah ada masalah besar sedang dihadapinya. Si gadis periang bercerita tentang temannya bernama Mei. Tentang kejadian-kejadian lucu pernah dialaminya seperti terjatuh saat memanjat pohon.

“Suka manjat pohon. Pernah jatuh, tapi nggak sakit ante (tante),” katanya sembari tertawa.

Ia mengajak kru RIAUONLINE.CO.ID memanjat pohon ceri. Dengan cekatan, gadis berbaju merah itu memanjat pohon ceri dan memetik buah ceri yang sudah matang. Sesekali ia tertawa saat melihat kekhawatiran kami saat melihatnya memanjat.

“Ihh ante (tante) jangan takut. Nggak papa loh!” katanya seolah menenangkan. Bahasa dan tutur katanya mengambarkan dirinya yang jauh lebih dewasa dibandingkan umurnya. L juga terkagum-kagum dengan inai dipakai kami. Katanya bagus, ia juga menginginkannya.

“Ante (tante), kalau besok ke sini lagi, bawain ya. Pasangin juga,” pintanya dengan tatapan mata yang menusuk.

Adik angkat neneknya, Santi, mengajak RIAUONLINE.CO.ID melihat lokasi NH menghembuskan nafas terakhirnya. Lokasinya tepat di depan Rumah Makan Radela dan di pinggir jalan Marendan-Siak. Santi bercerita, NH merupakan sosok yang baik.

Ia mengenal NH sejak almarhumah berusia tiga tahun. Santi menganggap NH bukan hanya sebagai tetangganya, tapi juga anaknya. Ibunya NH sendiri, Marta Lena sudah dianggap Santi sebagai kakak angkatnya. Dimata Santi, NH adalah sosok pekerja keras dan mampu melihat peluang untuk menghasilkan uang.

Ia menceritakan, ruko ditempati NH, dibangun hasil jerih payah almarhumah dan ia juga mengecat dinding ruko tersebut berawarna hijau. “Jiwa sosialnya juga termasuk tinggi. Suka membantu orang. Walaupun ia tidak berpunya, tapi ia sangat suka membantu orang lain,” aku Santi.

Perempuan setengah baya mengenakan jilbab biru muda itu menuturkan, suami NH, CD, setelah membunuh NH, Jumat, 11 Maret 2022, sehari berselang ditemukan gantung diri.

“Suaminya gantung diri di ladang belakang rumah. Kalau perkiraan saya sekitar 1 kilometer lah, itu pun nggak sampai,” ujarnya.

Terapi Bermain Pulihkan Psikologi Anak

Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (DP3AP2KB), Fariza mengatakan, pihaknya mengunjungi rumah korban meninggal akibat leher ditebas sang suami.

Kunjungan Fariza dan rombongan ini dalam rangka pendampingan kepada keluarga korban, dimana anak korban melihat langsung sang ayah menebas leher ibunya.

“Kita akan melakukan pendampingan terhadap orang tua dan anak-anak korban agar cepat pulih. Karena langsung pelakunya masih keluarganya sendiri,” katanya.

Fariza juga mengatakan, pihaknya dan Dinas DP3AP2KB Kabupaten Siak bekerjasama untuk melakukan pendampingan, sekaligus juga akan membawa psikolong untuk memeriksa orang tua dan anak korban.

Sementara itu, Psikolog Klinis, Yanwar Arief, menjelaskan dampak terjadi pada L, melihat secara langsung kekerasan terjadi pada orangtuanya, akan menimbulkan traumatik. Proses traumatik merupakan pengalaman tidak menyenangkan dan menganggu proses psikologis anak.

Akibatnya, anak akan mengalami sedih, depresi, bahkan kedepannya bisa membenci sosok laki-laki jika tidak ditangani dengan tepat.

“Kekerasan menghilangkan nyawa seseorang itu kejadian luar biasa. Siapapun orang menyaksikan pasti punya perasaan atau emosi tidak stabil. Mungkin ada perasaan takut, bingung kok ini terjadi. Dampaknya akan sangat luar biasa ke psikologis anaknya,” jelasnya.

 

Yanwar menjelaskan, pengalaman traumatik harus ditangani oleh profesional. Penanganannya tidak bisa ditangani oleh orang tidak memiliki kemampuan. Alasannya, ini merupakan peristiwa luar biasa. Saat ini yang harus dilakukan adalah memberikan dukungan sosial.

Terapi bermain menjadi penanganan tepat untuk release emosi pada anak korban kekerasan atau pertengkaran orangtua. Selain itu, dukungan dari pihak keluarga dan orang terdekat sangat dibutuhkan dalam menangani kasus anak korban kekerasan dan pertengkaran orangtua.

Dekan Fakultas Psikologi UIR ini mengatakan, jika tidak ditangani dengan tepat, anak yang melihat kekerasan atau pertengkaran orangtua, ada kemungkinan akan meniru perilaku tersebut dikemudian hari.

“Sederhananya begini, anak itu belajar dari apa yang dia lihat. Ketika anak melihat kekerasan, dia akan meniru adegan tersebut. Proses penerimaan anak seperti itu, karena pengalaman tersebut masuk ke dalam memori dan diproses oleh anak. Itu akan menjadi berbahaya jika tidak didampingi dan ditangani dengan tepat,” pungkasnya.