Rekonstruksi Pemilu 2029 (2): Pilpres 2004, Demokrasi Tanpa Sekat

Oleh-Ilham-Muhammad-Yasir-Redaktur-Eksekutif-Riau-Online.jpg
(Istimewa)

Oleh: Ilham Muhammad Yasir, Redaktur Eksekutif Riau Online

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pemilihan Presiden langsung pertama di Indonesia pada 2004 menandai babak baru demokrasi di Indonesia. Pada pilpres tersebut, proses pencalonan diatur dengan ambang batas yang rendah sesuai Pasal 101 UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pilpres. 

Lima pasangan calon waktu itu bertarung terbuka menggunakan syarat minimal kursi DPR atau suara nasional yang tidak diterapkan seperti pada pilpres-pilpres berikutnya. Sistem ini memberi ruang inklusif bagi semua partai, mendorong persaingan sehat, dan memperkuat legitimasi presiden dan wakil presiden terpilih.

Kelima pasangan calon mampu bersaing tanpa hambatan aturan ambang batas yang ketat. Inklusivitas ini memberikan kesempatan bagi partai kecil berpartisipasi dalam pencalonan, memperkuat kompetisi politik yang sehat dan transparan, sekaligus mengukuhkan legitimasi pemimpin di mata rakyat.

Pembelahan Tajam

Sejak ambang batas pencalonan presiden yang tinggi diterapkan pada pilpres 2009, dinamika politik nasional berubah signifikan. Pilpres 2014, 2019, dan 2024 berlangsung lebih panas dan terpolarisasi. 

Pembelahan tajam antar kubu pendukung pasangan calon kian nyata. Sejarah menunjukkan, threshold selalu membatasi jumlah pasangan calon menjadi dua. 

Munculnya tiga pasangan calon pada pilpres 2024 lebih merupakan efek dari perpecahan di koalisi partai-partai besar. Bukan cerminan kehendak rakyat yang menginginkan lebih banyak pilihan pasangan calon.

Ambang batas tinggi itu mempersulit partai kecil dan calon alternatif kehilangan kesempatan untuk dapat maju melalui partai. Akibatnya, strategi koalisi menjadi rumit, pragmatis, dan eksklusif. Dampaknya tak hanya pada pencalonan, tetapi juga proses kampanye dan pola pemilih yang makin terfragmentasi. Ini menjadi tantangan serius bagi stabilitas demokrasi dan kohesi sosial.

Dalam UU No. 23 Tahun 2003 saat itu, terdapat ketentuan presidential threshold minimal 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara nasional. 


Namun, pilpres 2004 menggunakan ketentuan khusus dalam Pasal 101 UU itu, yakni threshold hanya 3 persen kursi DPR atau 5 persen suara nasional. Dengan jumlah kursi DPR 550 saat itu, persentase tersebut setara sekitar 17 kursi.

Belajar di Pilpres 2004

Ketentuan peralihan ini bersifat temporer, memberi ruang lebih luas dalam pilpres pertama yang sarat tantangan transisi demokrasi. Penerapan Pasal 101 memungkinkan lima pasangan calon kompetitif tanpa hambatan ambang batas tinggi. 

Ini membuktikan demokrasi tanpa sekat dalam pencalonan presiden dan wakil presiden bisa berjalan efektif, menciptakan persaingan sehat, dan menguatkan legitimasi pemenang.

Pengalaman pilpres 2004 menjadi pelajaran penting saat Mahkamah Konstitusi (MK) di awal Januari 2025 menghapus presidential threshold lewat Putusan Nomor 62 Tahun 2024. 

Putusan ini mengembalikan semangat demokrasi terbuka, menghapus sekat bagi partai kecil dan calon di luar partai dapat diusung partai maju dalam pilpres 2029. Momentum ini membuka peluang rekonstruksi sistem pemilu lebih inklusif, dinamis, dan bermartabat.

Namun, demokrasi tanpa sekat membawa tantangan baru. Potensi fragmentasi suara, banyak calon presiden, dan risiko konflik politik menjadi pekerjaan rumah yang harus dikelola dengan pengawasan ketat dan pendidikan politik yang masif agar masyarakat dapat memilih cerdas dan bijak. Sistem politik inklusif membutuhkan tata kelola adaptif dan mekanisme penyelenggaraan transparan.

Rekonstruksi Pilpres 2029

Rekonstruksi demokrasi tanpa sekat menuntut pembentukan kultur politik yang sehat dan bertanggung jawab. Partai politik harus merumuskan koalisi inklusif dan berkelanjutan. 

Pemilih harus dibekali kemampuan kritis menilai visi dan rekam jejak calon secara objektif. Sinergi aturan adil, penyelenggaraan bersih, dan pemilih cerdas adalah fondasi demokrasi Indonesia yang kuat.

Dengan mengacu pada semangat pilpres 2004, rekonstruksi pilpres 2029 mencerminkan kematangan politik bangsa yang mengedepankan keadilan dan hak politik setara. 

Pengalaman itu mengajarkan bahwa demokrasi tanpa sekat bukan hanya mungkin, tapi juga perlu diwujudkan untuk menghapus dominasi kekuasaan dan membuka ruang partisipasi seluas-luasnya.

Penutup

Mengingat prinsip konstitusional yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai sumber legitimasi kekuasaan, rekonstruksi pemilu 2029 harus mengedepankan demokrasi tanpa sekat. 

Bukan hanya soal menghapus aturan ambang batas, tetapi membangun sistem yang menjamin keadilan, keterbukaan, dan keberlanjutan dalam proses politik nasional.

Pilpres 2029 adalah momentum membangun sistem pemilu inklusif dan berkeadaban yang menjunjung prinsip demokrasi sejati. Ini langkah strategis memperkuat fondasi demokrasi Indonesia yang lebih terbuka, adil, dan bermartabat. 

*Dewan Pembina Yayasan Peduli Literasi Demokrasi Riau (YPLDR), Ketua dan anggota KPU Provinsi Riau 2019–2024 dan 2014 – 2019.