Oleh Ilham Muhammad Yasir Redaktur Eksekutif RiauOnline
RIAU ONLINE, PEKANBARU - DALAM politik, satu dokumen kecil bisa jadi peluru yang liar. Bahkan dokumen yang tak pernah diminta, tak digunakan, dan tak disyaratkan dalam ketentuan syarat pencalonan pasangan calon di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dipersoalkan ulang.
Itulah yang terjadi pasca Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati di Rokan Hilir 2024. Surat Keterangan Pengganti Ijazah (SKPI) yang dikeluarkan sekolah dasar dan menengah atas, mendadak jadi bahan tuduhan pemalsuan. Padahal SKPI itu diterbitkan oleh sekolah dasar negeri dan sekolah menengah pertama negeri di Pekanbaru, ditandatangani kepala sekolah, diketahui oleh Dinas Pendidikan, dan dilengkapi laporan kehilangan dari kepolisian. Dokumen yang lahir dari prosedur resmi, kini dipersoalkan karena diduga lahir dari proses rekayasa karena baru diurus menjelang masa pendaftaran ke KPU.
Faktanya, dokumen itu tidak digunakan dalam proses pencalonan di KPU. Yang diserahkan adalah fotokopi ijazah SLTA atau sederajat tahun 1968 yang telah dilegalisir dan diverifikasi. Dokumen tersebut telah memenuhi syarat administratif sebagaimana diatur dalam Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota, yang menyebutkan bahwa syarat pendidikan calon kepala daerah adalah paling rendah SLTA atau sederajat.
Karena itu, keberadaan SKPI: SD dan SMP tidak relevan secara hukum, dan tidak termasuk dokumen yang diverifikasi atau digunakan dalam proses penetapan calon sebagaimana diatur lebih lanjut dalam Pasal 45 dan Pasal 48. Maka, tidak terdapat pelanggaran terhadap ketentuan pencalonan kepala daerah, apalagi unsur pidana yang memenuhi ketentuan 179, 181 dan 184 UU No. 1 Tahun 2015 itu. Yang unsurnya mensyaratkan, dokumen palsu atau surat otentik yang dipalsukan dan sudah ada putusan pengadilan yang berkekuatan tetap (inkracht).
Tafsir Politik
Lantas, kenapa SKPI itu tetap dijadikan isu? Jawabannya bukan hukum, tapi tafsir. Tafsir atas momen politik, tafsir atas persepsi publik. Di tengah situasi pasca-pilkada, SKPI dijadikan peluru. Bukan karena fungsinya, melainkan potensinya untuk digiring menjadi narasi.
Tapi hukum tidak hidup dalam tafsir politik. Untuk menyebut dokumen sebagai palsu, Pasal 263 KUHP mengharuskan adanya perbuatan membuat atau memalsukan dokumen, disertai niat jahat dan tujuan menipu. Kemudian ada putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Dalam kasus SKPI ini, dokumen tersebut dikeluarkan oleh lembaga resmi. Berdasarkan data arsip, dan tidak digunakan untuk mengakses hak apapun secara melawan hukum.
Akta Otentik
Pasal 264 KUHP memang memperberat jika dokumen itu berupa akta otentik. Tapi SKPI bukan akta otentik dalam pengertian hukum perdata—bukan produk notaris atau pejabat negara yang menyimpan kekuatan pembuktian formil. Pasal 266 KUHP menyasar perbuatan menyuruh pejabat mencantumkan keterangan palsu dalam akta otentik. Tak ada fakta yang menunjukkan bahwa pihak sekolah dipaksa, ditekan, atau dimanipulasi. SKPI dikeluarkan berdasarkan laporan kehilangan dan identifikasi data peserta didik lama.
Begitu juga dengan Pasal 185A UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, sasarannya adalah menjerat keterangan tidak benar dalam proses pencalonan, apabila berdampak terhadap hasil pemilu. Tapi SKPI tidak digunakan untuk mencalonkan diri. Maka pasal ini gugur sejak awal. Begitu pula Pasal 179, 181, dan 184 UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan. Yang diverifikasi adalah ijazah terakhir, bukan seluruh riwayat pendidikan. SKPI tidak masuk dalam daftar verifikasi. Maka, keberadaannya tidak punya nilai pembuktian dalam konteks pencalonan, apalagi pembatalan hasil.
Pelanggaran Privasi
Menurut Pasal 17 huruf h UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP), riwayat pendidikan adalah bagian dari informasi pribadi yang bersifat privasi. Hanya bisa dibuka dengan izin pemiliknya. KPU sendiri ketika mengunggah dokumen persyaratan calon, di antaranya legalisir fotokopi ijazah SLTA/sederajat itu terlebih dahulu meminta izin dengan menyodorkan dokumen formulir persetujuan kepada masing-masing calon. Ketika SKPI disebarkan ke publik tanpa izin, dan disandingkan dengan tuduhan palsu, masalahnya beralih ke ranah pelanggaran privasi.
Apalagi jika penyebaran itu disertai narasi yang menjatuhkan martabat pribadi. Dalam konteks ini, Pasal 27A UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) ikut bekerja. Pasal ini—yang ditegaskan kembali oleh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 65/PUU-XXI/2024, tanggal 28 April 2025—melindungi kehormatan individu, selama tuduhan diarahkan kepada orang per orang, bukan institusi. Maka, fokus pertanyaan hukumnya pun bergeser: bukan siapa yang memiliki dokumen, melainkan siapa yang menyebarkannya.
Ijazah Jokowi
Tentu berbeda dengan kasus ijazah Jokowi yang saat ini lagi viral di mana-mana dan terus dibahas. Pada kasus tersebut, dokumen ijazah yang dipersoalkan digunakan secara aktif dan dicantumkan sebagai bagian dari persyaratan pencalonan—apakah itu untuk pemilihan wali kota, gubernur, dan bahkan presiden. Meskipun pada akhirnya tak berpengaruh langsung pada proses penetapan calon oleh KPU, karena prosesnya sudah selesai, tetap saja dokumen itu bisa diuji di ranah hukum lainnya.
Di situlah ruang pengujian yang adil seharusnya dibuka: lewat proses pengadilan. Bukan dengan cara membungkam, apalagi melaporkan mereka yang mencoba menguji kebenaran melalui jalur hukum. Menstigma mereka sebagai pengganggu atau bahkan mempidanakan pencari keadilan adalah bentuk kriminalisasi—sebuah praktik yang semestinya dijauhi dalam demokrasi.
Jika sebuah dokumen yang tak digunakan untuk syarat pemilihan, dan tak diverifikasi oleh KPU, kemudian disebarkan dan dituduh palsu secara terbuka, maka unsur pelanggaran bukan lagi berada di tangan pemilik, tapi pada mereka yang menyebarkan dan menuduh. Di sinilah publik perlu cermat. Demokrasi memang memberi ruang kritik, tapi kritik yang sehat berdiri di atas fakta, bukan tafsir liar. Tuduhan dokumen palsu tak bisa dibangun dari rasa tidak suka. Ia harus membawa pasal, unsur, dan pembuktian.
Keteladanan Pemimpin
Memang pada kejadian yang menimpa Bupati Rokan Hilir, ruang untuk melaporkan balik terbuka luas. Pasal 27A UU ITE jelas memberikan perlindungan terhadap kehormatan pribadi yang diserang di ruang digital. Namun dalam konteks ini, langkah yang lebih elegan justru adalah menunjukkan keteladanan sebagai seorang pemimpin. Sebagai kepala daerah yang baru saja dilantik, sikap menahan diri adalah bagian dari etika kepemimpinan. Meskipun privasinya sudah bolak-balik dibuka di muka publik. Tapi, seorang pemimpin tetap dituntut berdiri lebih tinggi dari hiruk-pikuk politik yang emosional.
Pelapor adalah bagian dari warga yang dipimpinnya. Wajar jika dalam kontestasi yang belum dewasa, ada ekspresi penolakan yang keras, bahkan berlebihan. Menyikapi itu dengan melaporkan balik memang hak, dan celah hukumnya terbuka. Tapi pertanyaannya: apakah membalas laporan dengan laporan akan menyelesaikan sesuatu? Atau justru menyeret semua pihak ke dalam sirkulasi dendam hukum yang tidak berkesudahan?
Langkah hukum seharusnya bukan jalan balas dendam, melainkan koreksi dan keteladanan. Bukan untuk membalas, tapi untuk menempatkan ulang diskursus ke rel yang lebih adil dan rasional. Karena ketika ruang publik dibanjiri opini tanpa dasar, maka hukum adalah jangkar. Dan SKPI—yang tak pernah diminta, tak pernah digunakan, dan tak pernah disyaratkan—sebenarnya tak bisa jadi peluru apa-apa. Semoga.***