Menghidupkan Kembali Gugatan Sampah

Ilham-Muhammad-Yasir.jpg
(Istimewa)

Oleh Ilham Muhammad Yasir, Redaktur Eksekutif RiauOnline

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Di awal pagi, di hari kedelapan Idulfitri 1446 Hijriyah, warga mulai membicarakan bau busuk sampah di pinggir-pinggir kota. Sejumlah orang yang lain masih membicarakan soal parkir. Padahal, sampah yang belum terkelola ada cerita tentang utang lama yang belum dibayar: perintah pengadilan yang diabaikan, dan janji kepada warga yang belum tertunaikan.

Pemerintah Kota Pekanbaru saat ini tengah bersiap menerapkan kebijakan baru soal parkir. Memberikan penurunan tarif parkir (insentif), tapi di sisi lain mengabaikan Perda yang berlaku. Kebijakannya, disebut-sebut lebih modern, lebih tertib, bahkan katanya lebih menguntungkan pendapatan daerah. Namun di balik terobosan itu, ada luka lama yang belum sembuh: pengelolaan sampah kota yang masih jadi pekerjaan rumah dan perintah pengadilan yang belum terealisasi hingga saat ini.

Pada 1 Agustus 2022, Pengadilan Negeri Pekanbaru secara tegas telah  mengabulkan sebagian gugatan Citizen Lawsuit (CLS) atau gugatan warga negara terhadap pemerintah yang diajukan oleh 2 (dua) orang warga Kota Pekanbaru, Riko Kurniawan dan Sri Rahayu yang diwakili Walhi Riau dan LBH Pekanbaru. Melalui Putusan Perkara No: 262/Pdt.G/2021/PN Pbr, majelis hakim menyatakan Walikota, Dinas Lingkungan Hidup, dan DPRD Pekanbaru telah melakukan perbuatan melawan hukum. 

Pemerintah kota, diperintahkan memperbaiki pengelolaan sampah: menerbitkan regulasi pembatasan plastik sekali pakai, membangun sistem pengelolaan sampah terpadu dari pemilihan hingga pemrosesan, hingga melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

Namun hingga April 2025, amanat itu masih banyak yang menggantung. Usai Idulfitri 1466 Hijriyah, efek bau sampah terasa sekali. Yang sudah pernah dilaksanakan baru selembar Peraturan Walikota No. 6 Tahun 2023 tentang pengurangan kantong plastik. Itu pun setengah hati: hanya membatasi kantong plastik, bukan seluruh plastik sekali pakai sebagaimana diperintahkan pengadilan. Sarana-prasarana seperti Tempat Pemrosesan Akhir (TPA), sanitary landfill belum juga terwujud. Sosialisasi jalan di tempat. Pengawasan DPRD yang diharapkan menjadi taring pengendali, malah kosong tanpa tindakan konkrit.

Alih-alih berbenah, Pemko malah sibuk dengan rencana bisnis parkir. Membicarakan tarif, retribusi, dan pola pengelolaan seakan menutup mata atas kebijakan masa lalu. Padahal, satu prinsip dasar dalam tata kelola pemerintahan adalah taat hukum. Bagaimana bisa bicara tentang ketertiban parkir, kalau sampah di jalanan dan di balik dokumen pengadilan belum juga dijalankan.


Gugatan Walhi Riau bukan sekadar soal tumpukan sampah. Ia adalah simbol dari keadilan ekologis yang dilalaikan. Simbol pengabaian hak konstitusional warga atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dan ditegaskan lagi dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan Kesehatan.”

Majelis hakim saat itu juga mempertimbangkan Pasal 5, 10, 28 UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Pemko dan DPRD dinilai lalai. Tidak menyediakan sarana pengelolaan, tidak melakukan pemilahan dan pengangkutan sesuai standar, bahkan tidak menjalankan pengawasan yang melekat sebagai fungsi legislatif daerah.

Kini, saat Pemko hendak menarik pungutan baru dari rakyat lewat kebijakan parkir, pertanyaan yang lebih mendasar harus diulangi lagi: sudahkah utang pengelolaan sampah itu dilunasi? Publik berhak meragukan komitmen ini. Sebab membangun kota bukan sekadar menghitung rupiah dari tarif parkir, tetapi menegakkan kepercayaan. Kota yang gagal mengurus sampahnya adalah kota yang rapuh fondasi kepercayaannya.

Apalagi, pengelolaan sampah bukan urusan kecil. Ia soal kesehatan publik, soal martabat kota, soal hak hidup layak. Pemko seharusnya berhati-hati. Taatlah pada regulasi. Hormatilah putusan pengadilan. Jangan ulangi kesalahan membuat kebijakan tambal-sulam yang hanya menguntungkan sesaat tapi menambah daftar panjang kekecewaan rakyat.

Berhak Menagih

Warga berhak menagih: sudahkah utang pengelolaan sampah itu dilunasi sebelum Pemko kembali menagih rakyat lewat retribusi parkir? Langkah hukum masih terbuka. Walhi Riau masih punya beberapa opsi: Pertama, permohonan eksekusi ke Pengadilan Negeri, karena putusan inkracht bisa dieksekusi kapan saja tanpa batas waktu. Kedua, gugatan baru atas dasar perbuatan melawan hukum karena kelalaian berkelanjutan. Ketiga, laporan ke Ombudsman atas dugaan maladministrasi dan penundaan berlarut-larut. Keempat, melayangkan surat lagi ke Menteri Dalam Negeri untuk mendesak pengawasan administratif terhadap Pemko dan DPRD.

Terakhir, advokasi publik untuk menggerakkan masyarakat mendesak pelaksanaan putusan. Semua langkah ini mendesak untuk dilakukan. Tunggakan bukan sekadar angka di pembukuan hukum, tapi ketidakadilan nyata yang dialami warga setiap hari yang masih berkelanjutan hingga hari ini.

Pekanbaru tak butuh sekadar parkir yang rapi. Pekanbaru butuh pemerintahan yang tahu menghargai hukum, tahu menuntaskan tugasnya sebelum mengatur ulang hidup warganya. Kalau Pemko tak segera membayar utang sampah ini, maka apapun janji mereka tentang parkir atau pembangunan hanya akan jadi tumpukan janji kosong —tak ubahnya seperti sampah-sampah yang mulai membusuk di pinggir jalan itu. Semoga tidak.

Ilham Muhammad Yasir adalah Ketua/Divisi Hukum KPU Provinsi Riau 2014 - 2019 dan 2019 - 2024, saat ini sedang menyelesaikan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum --Hukum Tata Negara-- di Universitas Islam Riau.