(Istimewa)
Kamis, 27 Maret 2025 07:50 WIB
Editor: Anggun Rosita Alifah
(Istimewa)
Oleh Ilham Muhammad Yasir, Redaktur Eksekutif RiauOnline
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Dalam percakapan tentang pembangunan, budaya sering muncul di akhir—jika sempat. Padahal, budaya adalah fondasi dari jati diri daerah, akar dari arah kebijakan, dan wajah paling halus dari peradaban. Riau memiliki semua itu. Tapi tanpa keberanian regulasi yang hidup, semua akan tinggal narasi. Ranperda Pemajuan Kebudayaan Melayu kini menjadi peluang yang tidak boleh disia-siakan.
Budaya bukan sekadar peninggalan, tapi denyut hidup masyarakatnya. Hari ini, Ranperda Pemajuan Kebudayaan Melayu masih tertahan di ruang penantian. Padahal, di atas meja, naskah akademisnya sudah disiapkan—jelas, berpijak pada semangat UU No. 5 Tahun 2017.
Riau pernah punya Perda No. 9 Tahun 2015 tentang Pelestarian Kebudayaan Melayu. Namun, semangatnya belum cukup menjangkau prinsip dinamis yang diusung UU No. 5 Tahun 2017. UU itu bukan hanya tentang menjaga, tapi memajukan budaya. Bukan hanya tentang warisan, tapi tentang masa depan budaya yang kontekstual dan adaptif. Naskah akademis terbaru telah mengadopsi konsep pelindungan, pengembangan, pemanfaatan, dan pembinaan. Tapi transformasi itu harus diwujudkan dalam regulasi yang operasional, bukan berhenti di konsep.
Jantung Kebudayaan
Jika pusat telah menunaikan tugasnya melalui UU dan PP, maka kini giliran daerah. Riau, sebagai jantung kebudayaan Melayu, memiliki tanggung jawab ganda: menjaga akar dan menumbuhkan ranting. Ranperda yang masih digodok ini adalah momen strategis. Namun ia akan kehilangan makna jika tak disertai keberanian politik, partisipasi komunitas, dan alokasi anggaran yang memadai. Ranperda ini harus menjadi cerminan suara budaya Riau yang sesungguhnya. Maka, melibatkan kelembagaan adat secara utuh adalah keniscayaan.
Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau yang telah lama menjadi pilar kultural mesti diberi ruang dan peran dalam setiap tahapan. Begitu pula Dewan Kesenian Riau (DKR), yang selama ini konsisten menjadi nafas seni dan kreativitas daerah. Tak hanya itu, komunitas budaya, kelompok seni, dan masyarakat seni harus dilibatkan—bukan sekadar diundang hadir, tapi turut menyusun dan mengawal kebijakan ini sejak awal.
Tanpa mereka, Ranperda ini hanya akan menjadi dokumen teknokratis tanpa nyawa kultural. Padahal, keberhasilan pemajuan kebudayaan bergantung pada relasi hidup antara negara dan masyarakat adat-budaya yang selama ini menjaga denyut tradisi itu sendiri.
Baca Juga
Potensi Budaya Melayu
Potensi budaya Melayu Riau sangat besar. Bukan hanya sebagai kekayaan lokal, tapi juga modal untuk diplomasi budaya di tingkat ASEAN. Festival rakyat, sastra lisan, manuskrip tua, kuliner, dan nilai-nilai adat bisa menjadi bagian dari ekonomi kreatif yang hidup. Tapi semua itu hanya mungkin jika daerah punya regulasi yang berpihak dan keberanian untuk mengeksekusi.
Kita perlu menagih keberpihakan dalam APBD. Anggaran untuk kebudayaan tidak bisa lagi menjadi sisa. Ia harus disusun sebagai strategi. Dinas Kebudayaan tak bisa dibiarkan bekerja dengan tenaga terbatas. Mereka butuh penguatan kapasitas, kemitraan dengan akademisi, pelibatan komunitas.
Pendekatan afirmatif harus hadir, agar pelaku budaya bukan hanya penonton, tapi penggerak. Jika Ranperda ini selesai dan benar-benar dilaksanakan, maka Riau bisa menjadi model nasional. Bahwa regulasi daerah bisa lahir dari akar budaya, bukan hanya turunan dari pusat. Namun jika hanya menjadi dokumen indah tanpa keberanian untuk bergerak, ia akan jadi satu lagi catatan simbolik dalam rak birokrasi kita.
LAM Riau bukan sekadar simbol budaya, tetapi fondasi nilai dan etika yang masih dijunjung oleh masyarakat. Peran mereka dalam penyusunan Ranperda harus diperkuat, tidak hanya sebagai representasi kultural, tetapi juga sebagai institusi yang memahami bagaimana tradisi dijalankan dan diwariskan.
Begitu pula dengan DKR, yang memiliki jejaring hingga ke kabupaten/kota. Mereka selama ini menjadi simpul koordinasi pelaku seni—mereka tahu denyut kebutuhan seniman, tantangan mereka di lapangan, dan peluang yang belum tersentuh.
Ranperda ini akan menjadi gagal fungsi jika kelembagaan budaya lokal tidak diberikan ruang dalam struktur dan implementasinya. Kita tidak bisa terus bergantung pada birokrasi yang belum tentu peka terhadap kebutuhan pelaku budaya. Karena itu, perlu dibangun mekanisme konsultatif yang aktif, melibatkan perwakilan komunitas adat, seniman, dan pegiat budaya secara reguler dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi kebijakan.
Lebih jauh lagi, penting untuk menegaskan bahwa substansi Ranperda tidak boleh hanya normatif. Ia harus menyentuh persoalan riil yang dihadapi masyarakat adat dan pelaku seni. Mulai dari ruang ekspresi yang semakin sempit, akses terhadap pelatihan dan panggung yang terbatas, hingga belum adanya perlindungan sosial dan hukum bagi pelaku budaya. Semua itu harus ditampung dan diatur secara detail—agar regulasi ini tak sekadar hadir, tapi menjawab keperluan nyata.
Menjunjung Marwah
Budaya adalah cara suatu bangsa mengenali dirinya. Di tanah Melayu, ia hadir dalam tutur, dalam gerak, dalam pola hidup yang menjunjung marwah. Ranperda Pemajuan Kebudayaan Melayu adalah harapan, sekaligus ujian: apakah kita benar-benar ingin memajukan kebudayaan, atau hanya ingin terus membicarakannya?
Pada akhirnya, yang diperlukan bukan hanya perda. Tapi komitmen kolektif, keberanian politik, dan ketulusan untuk meletakkan budaya sebagai fondasi utama pembangunan. Dan jika itu bisa dilakukan, maka Riau bukan hanya menjaga budaya, tapi memimpinnya ke masa depan. Amiin (habis)
Penulis adalah penikmat seni budaya dan anggota Koalisi Masyarakat Seni Riau (Komaseri) untuk Pemajuan Kebudayaan, saat ini aktif sebagai mahasiswa Program (S3) Doktor Ilmu Hukum Universitas Islam Riau.