Ketika Janji Hilang, Kenyataan pun Terulang

Oleh-Ilham-Muhammad-Yasir-Redaktur-Eksekutif-Riau-Online.jpg
(Istimewa)

Oleh Ilham Muhammad Yasir, Redaktur Eksekutif RiauOnline

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Penetapan 7 (tujuh) tersangka oleh Polres Pekanbaru dalam kasus pengelolaan sampah ilegal dan praktik pungutan liar bukanlah kejadian yang berdiri sendiri. Peristiwa ini justru menjadi refleksi dari kelemahan struktural yang selama ini diabaikan—terutama oleh pemerintah kota. 

Sejak tahun 2021, melalui putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru No. 262/Pdt.G/2021/PN Pbr, Pemko dan DPRD Pekanbaru telah diperintahkan untuk memperbaiki tata kelola persampahan secara menyeluruh, mulai dari regulasi pembatasan plastik hingga sistem pemrosesan dan sosialisasi kepada masyarakat. 

Namun, perintah hukum itu tak kunjung dijalankan secara serius. Ketika hukum administrasi diabaikan, maka penegakan hukum pidana seperti penangkapan tujuh tersangka hanyalah konsekuensi logis dari sistem yang dibiarkan rusak. Ini bukan sekadar penegakan hukum—ini adalah alarm bahwa putusan pengadilan tak boleh lagi dianggap angin lalu.

Bersih Nyaman

Di kota yang dijanjikan bersih dan nyaman, bau busuk justru menjadi penanda arah. Sampah menumpuk, bukan hanya di sudut jalan, tapi juga dalam sistem yang macet dan janji yang tak kunjung direalisasi. 

Pekanbaru tak hanya dibanjiri limbah rumah tangga, tapi juga limbah ketidakpedulian. Di sinilah kenyataan kembali mengulangi dirinya —karena janji tinggal janji.

Tahun 2021 menjadi momen penting ketika itu dua warga Pekanbaru, Riko Kurniawan dan Sri Rahayu, melalui WALHI Riau dan LBH Pekanbaru, menggugat Pemko Pekanbaru, DPRD Pekanbaru, dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK). 

Gugatan itu menyoroti kelalaian dalam pengelolaan sampah yang menyebabkan pencemaran lingkungan. Fakta-fakta di persidangan mengungkap kegagalan pemerintah kota dalam menyusun kebijakan pengurangan sampah plastik, lemahnya infrastruktur, dan buruknya sistem pengelolaan sampah.


Tata Kelola Sampah

Pengadilan Negeri Pekanbaru melalui Perkara No: 262/Pdt.G/2021/PN Pbr  itu mengeluarkan putusan yang memberi rekomendasi tegas: Pemko harus segera melakukan langkah nyata. 

Pemerintah kota, diperintahkan memperbaiki pengelolaan sampah: menerbitkan regulasi pembatasan plastik sekali pakai, membangun sistem pengelolaan sampah terpadu dari pemilahan hingga pemrosesan, hingga melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Namun, setelah tiga tahun, putusan itu nyaris tak bergema. Tak ada perubahan signifikan. Pemerintah dan DPRD seolah menutup mata.

Pada awal 2025, masalah kembali mencuat. Saat tengah berolahraga, Kapolda Riau, Irjen Pol Herry Heryawan, menemukan tumpukan sampah di Jalan Diponegoro. Aksinya mengunggah video dan menyampaikan kritik melalui pantun menjadi viral di media sosial. 

Publik pun kembali menyorot persoalan klasik ini. Tidak lama kemudian, Polres Pekanbaru menetapkan tujuh tersangka terkait praktik pengelolaan sampah ilegal dan pungutan liar. Namun, sorotan publik justru tertuju pada mengapa kondisi ini selalu berulang setiap usai Idul Fitri atau usai Tahun Baru, ketika sistem seharusnya sudah bisa mengantisipasi.

Kejadian Berulang

Kejadian yang berulang serupa pernah terjadi pada 2021. Saat itu, Kepala DLHK dan sejumlah staf telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, hingga kini, kelanjutan kasus itu belum ada kejelasan. 

Di tahun 2023, eks Kepala DLHK tersebut bahkan sempat mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Riau di 2023, meski status hukumnya kala itu belum ada kejelasan. 

Pemko dan DPRD belum menjalankan sepenuhnya putusan pengadilan, menunjukkan lemahnya komitmen terhadap pelayanan publik. Kebersihan bukan sekadar urusan estetika kota, tetapi menyangkut kesehatan, kepercayaan publik, dan integritas pemerintahan. 

Pemko seharusnya menjalankan perintah pengadilan terlebih dahulu, baru kemudian dapat menindak para pelanggar tata kelola sampah tersebut secara pidana. Pemko harus memberikan contoh dan keteladanan sebelum memberikan hukuman kepada warganya.

Perbaiki Sistem

Penggunaan hukum pidana seharusnya menjadi langkah lanjutan setelah sistem pengelolaan diperbaiki. Jika tidak, kita hanya akan berkutat pada 'siapa yang salah', bukan 'apa yang harus dibenahi'. 

Tiga tahun sejak putusan pengadilan, tak ada perubahan berarti. Pekanbaru seakan terjebak dalam labirin kebijakan yang tak kunjung selesai.

Warga berhak atas kota yang bersih, tertib, dan bebas dari praktik kotor —secara harfiah maupun birokratis. Waktunya sudah habis untuk alasan. Pemko Pekanbaru dan DPRD harus bertindak. 

Jika tidak sekarang, kapan lagi? Pekanbaru tak boleh terus tenggelam dalam tumpukan janji yang tak ditepati. Semoga.

Ilham Muhammad Yasir adalah mahasiswa Program Doktor (S3) Ilmu Hukum --Hukum Tata Negara-- di Universitas Islam Riau.