Oleh: Ilham Muhammad Yasir Redaktur Eksekutif RiauOnline
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Di tengah riuhnya gedung pengadilan, palu kehormatan hakim seharusnya menjadi simbol keadilan. Namun, kini kita dihadapkan pada kenyataan pahit. Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, beserta tiga hakim di PN Jakarta Pusat, terjerat dalam kasus suap.
Kasus ini mengungkapkan bagaimana mafia peradilan selalu ada disekeliling ‘sang pengadil’. Dan bagaimana hakim yang seharusnya menjaga integritas justru menggadaikan martabatnya demi kenikmatan duniawi.
Kasus ini semakin memprihatinkan ketika hakim-hakim yang terlibat memamerkan mobil mewah dan sepeda motor berharga fantastis. Seolah keadilan bisa dibeli dengan barang-barang materi.
Ini bukan hanya seruan untuk keadilan, tetapi juga jeritan tentang bagaimana dunia peradilan kita telah jatuh, dirusak oleh mereka yang seharusnya menjaga harkat dan martabatnya.
Hakim adalah garda depan yang menjaga keadilan dan kebenaran dalam sistem hukum kita. Mereka harus menjadi simbol integritas, dengan tanggung jawab moral dan hukum yang besar. Namun, ketika hakim-hakim ini menggadaikan martabat mereka demi gaya hidup mewah dan uang, apakah keadilan masih bisa ditegakkan?
Kasus-kasus besar seperti pembunuhan Ronald Tanur dan ekspor CPO menunjukkan bagaimana hakim yang seharusnya menegakkan hukum justru terlibat dalam praktik suap dan korupsi.
Dalam kedua kasus ini, para hakim tidak hanya mengeluarkan putusan kontroversial, tetapi juga terlibat dalam perilaku yang sangat naif, menjadikan keadilan sebagai barang dagangan yang bisa dibeli dengan uang.
Di balik palu yang diketuk di ruang sidang, terdapat gaya hidup mewah yang menunjukkan ketidaksetaraan antara hakim dan rakyat yang mereka lindungi. Gaya hidup ini bukan sekadar hasil dari pekerjaan mereka yang bergaji besar, tetapi lebih karena uang suap yang mereka terima.
Uang yang masuk ke kantong mereka bukan hanya berasal dari gaji negara, melainkan juga dari praktik suap yang menodai integritas mereka.
Dalam kasus ekspor CPO, kita melihat bagaimana tiga korporasi besar yang jelas terlibat dalam penyalahgunaan izin ekspor justru dibebaskan dari dakwaan korupsi. Ini adalah contoh jelas bagaimana keputusan hukum bisa dibeli dengan suap dan bagaimana gaya hidup mewah hakim yang terlibat dalam perkara ini menunjukkan bahwa keadilan bisa dipengaruhi oleh uang.
Gaya hidup hakim yang memamerkan barang-barang mewah dan liburan yang tidak terjangkau oleh masyarakat umum adalah indikasi kuat bahwa mereka telah terjerumus dalam praktik korupsi. Mereka menyalahgunakan posisi mereka untuk meraup keuntungan pribadi, lebih tertarik mempertahankan gaya hidup mewah daripada menegakkan hukum secara adil.
Suap yang diterima oleh hakim-hakim ini tidak hanya memberi keuntungan finansial sementara, tetapi juga merusak sistem hukum yang mereka jaga. Ketika hakim terjerumus dalam perilaku tidak bermoral, mereka mengorbankan kepercayaan publik yang semakin rapuh terhadap sistem peradilan.
Dengan semakin banyaknya keputusan yang bisa dibeli, bagaimana masyarakat bisa percaya bahwa keputusan hukum akan adil dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku?
Ketika hakim memilih hidup dalam kemewahan yang didapat dari praktik korupsi, mereka bukan hanya merusak nama baik mereka sendiri, tetapi juga menghancurkan martabat seluruh sistem peradilan Indonesia.
Mereka yang seharusnya melayani kepentingan rakyat, malah menyalahgunakan jabatan untuk memperoleh keuntungan pribadi. Hakim-hakim yang seharusnya mengayomi dan melindungi keadilan, telah mengorbankan martabatnya demi kehidupan mewah.
Ini adalah seruan untuk kita semua: bahwa keadilan harus tetap tegak, meskipun harus melawan segala godaan duniawi. Nauzubillah min zalik.
*Ilham Muhammad Yasir, aktif juga sebagai anggota Jaringan Koalisi Komunitas Anti-korupsi Riau dan saat ini sedang menyelesaikan Pendidikan Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Islam Riau.
Profil Penulis
Ilham Muhammad Yasir, SH, L.LM, lahir di Selatpanjang, 15 Juni 1975. Tepatnya, di Dusun Sidomulyo, Desa Sei-Cina, Kecamatan Rangsang Barat, Kepulauan Meranti. Dari sepasang pasangan petani, (alm) Muhammad Yasir bin H Yusuf dan Ramsiah binti Sodri.
Ia menyelesaikan Pendidikan dasar di Madrasah Ibtidaiyah Al Khairiyah, dan Madrasah Tsanawiyah (MTs) Al-Khairiyah di kampungnya. Sekolah menengah atasnya diselesaikan di MAN 1 Selatpanjang.
Kekagumannya kepada sejumlah tokoh pendiri bangsa, seperti Mohammad Hatta, Mohammad Yamin, Mohammad Natsir dan H Agus Salim membuatnya berjuang keras untuk bisa menjejaki alam Negeri Minangkabau, Sumatera Barat.
Akhirnya, jalan takdir itu mengantarkannya menempuh dan menyelesaikan pendidikan Sarjana S1-nya (S.H.) di Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang (2000). Ia belajar langsung di kampus hukum yang didirikan oleh salah satu dari tiga tokoh perumus Pancasila, Mohammad Yamin [Soekarno dan Mohammad Roem].
Ia juga menjadi bagian dari anak Riau yang mendapatkan kesempatan beasiswa belajar di Malaysia. Program ini pertama kali digagas oleh Gubernur Saleh Djasit (1998-2003), dan dilanjutkan Gubernur Rusli Zainal (2003-2008).
Ia menyelesaikan program S2 Ilmu Per-UU-an (L.LM.) di Fakulti Per-Undang-Undangan Universiti Kebangsaan Malaysia (2006). Saat ini sedang menyelesaikan Pendidikan Program Doktor (S3) Ilmu Hukum di Universitas Islam Riau.
Waktu dan karirnya lebih banyak didedikasikan di dunia jurnalis. Diawali sejak di Riau Pos (2001) selama 13 tahun hingga pernah 10 tahun memimpin lembaga Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Riau, tangannya tidak pernah berhenti menulis. Menulis sudah menjadi habits-nya sejak di bangku sekolah menengah atas.
Aktivitas sosialnya juga tak pernah berhenti di tengah kesibukan sebagai jurnalis. Di awal karirnya sebagai jurnalis di Riau Pos, ia menyelakan waktu ikut praktek magang di kantor pengacara Betty Deswita Syawir, SH, MH (2001). Di tahun 2002, ia ikut menginisiasi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Teratai. Dan, di 2004 LBH Teratai ini kemudian menjadi cikal-bakal Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pekanbaru di bawah naungan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Di Kota Pekanbaru sebagai cabang resminya yang ke-16.
Ia juga pernah merintis kantor hukum Philosophia Law Firm [2010], namun hanya bertahan hingga 2013. Karena ia terpilih menjadi anggota KPU Provinsi Riau. Pasca 10 tahun di KPU, lembaga firma hukum tersebut perlahan-lahan kembali ia hidupkan lagi. Sebagai dedikasi kepada profesi jurnalis, ia berkolaborasi dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Pekanbaru dan LBH Pekanbaru menginisiasi Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBHP) Pekanbaru (2014), di sela-sela mengikuti seleksi KPU Provinsi Riau ketika itu.
Saat ini salah satu kesibukannya adalah menulis dan sebagai jurnalis freelance serta fokus menyelesaikan pendidikan linier S3 Ilmu Hukum-nya di Universitas Islam Riau.