Oleh: Ilham Muhammad Yasir, Redaktur Eksekutif Riau Online
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pemilu adalah pondasi demokrasi, namun integritas penyelenggaraannya selalu menjadi pertanyaan. Sidang Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), 15 Mei 2025 di kantor KPU Provinsi Riau membuka lapisan persoalan yang jarang terungkap ke permukaan.
Di tengah suasana sidang, Nanang Wardianto, anggota Bawaslu Riau, yang dihadirkan sebagai pihak Terkait, sementara Mardius Adi Saputra, sebagai Teradu I.
Keduanya, seharusnya menjadi simbol netralitas penyelenggara pemilu, namun di hadapan panel etik kemarin, hubungannya dengan partai politik tertentu menjadi dipertanyakan. Hubungan mereka menimbulkan keraguan publik, menciptakan garis tipis antara penyelenggara yang netral dan konflik kepentingan yang tak seharusnya terjadi.
Runtuhnya Dinding Netralitas
Dalam sidang tersebut, Karyono, seorang bendahara DPC partai di Kuansing, yang dihadirkan sebagai saksi oleh Pengadu membeberkan fakta mengejutkan. Ia mengungkap komunikasi intens dengan keduanya. Mereka ternyata memiliki hubungan mendalam dengan partai politik.
Bahkan, hubungan ini diperkuat saat keduanya mengikuti proses seleksi sebagai penyelenggara pemilu. Relasi semacam ini, jika dibiarkan, dapat merusak kredibilitas lembaga penyelenggara dan menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap hasil pemilu.
Fenomena ini memperlihatkan betapa mudahnya prinsip netralitas tergeser ketika penyelenggara pemilu terlalu dekat dengan dunia politik. Ketika seorang penyelenggara memperluas pengaruhnya ke arena politik, batas moral yang seharusnya jelas mulai kabur.
Jika praktik seperti ini terus berlanjut, maka kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu akan terus terkikis, menciptakan jurang ketidakpercayaan yang semakin dalam.
Dilema Kepercayaan Publik
Pilkada dan Pemilu 2024 telah berlalu, tetapi bayang-bayang keraguan masih terus membayangi perjalanan demokrasi Indonesia kemarin. Karena berbagai sidang DKPP di berbagai daerah banyak membuka tabir kelam tentang praktik yang mencederai integritas proses pemilu. Jika lembaga penyelenggara tidak mampu menjaga jarak dari pengaruh politik, bagaimana mereka bisa dipercaya untuk menegakkan keadilan dalam setiap proses pemilihan?
Pengawas pemilu bukan hanya penjaga kotak suara, tetapi simbol keadilan dan kepercayaan publik. Jika pengawas gagal menjaga integritas, mereka hanya akan menjadi bayang-bayang kekuasaan, bukan benteng keadilan yang seharusnya mereka wakili. Demokrasi tanpa integritas hanyalah mekanisme kosong, tanpa jiwa dan tanpa makna.
Memulihkan Kepercayaan Publik
Sidang ini harus menjadi momentum penting untuk memperbaiki kembali pondasi kepercayaan publik. Bawaslu dan KPU pusat harus berani bertindak tegas dalam menindak pelanggaran kode etik tanpa pandang bulu. Ini bukan hanya soal menjaga kredibilitas, tetapi juga memperbaiki tata kelola internal yang terus menjadi sorotan pasca Pemilu 2024. Pengawas pemilu harus kembali ke prinsip dasar, menjadi benteng yang kokoh di tengah dinamika politik yang terus berubah.
Penutup
Demokrasi hanya bisa bertahan jika dijaga oleh penyelenggara yang jujur dan berintegritas. Ketika prinsip ini tergerus, maka suara rakyat hanya akan menjadi gema hampa dalam lorong kekuasaan yang gelap.
Inilah saatnya bagi penyelenggara pemilu untuk kembali ke akar, menjadi benteng yang tak tergoyahkan di tengah badai, agar kelak demokrasi Indonesia bukan hanya bertahan, tetapi berjalan dengan tegap dan penuh keyakinan. Semoga.
*Dewan Pembina Yayasan Peduli Literasi Demokrasi Riau (YPLDR), Ketua KPU Provinsi Riau 2019–2024, anggota TPD DKPP 2014–2016 dan 2023–2024.