(Istimewa)
Selasa, 20 Mei 2025 07:09 WIB
Editor: Anggun Rosita Alifah
(Istimewa)
Oleh: Ilham Muhammad, Yasir Redaktur Eksekutif RiauOnline
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dikeluarkan pada 2 Januari 2025 lalu menandai transformasi demokrasi di Indonesia.
Dengan menghapus ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold), putusan ini membuka peluang luas bagi persaingan politik yang lebih terbuka, dinamis, dan inklusif.
Momen ini menjadi panggilan bagi seluruh elemen bangsa untuk bersama-sama menata ulang wajah demokrasi menuju Pemilu 2029 yang lebih baik tanpa sekat.
Keputusan MK ini sekaligus mengakhiri era pembatasan yang selama ini mengikat demokrasi di Indonesia melalui aturan presidential threshold. Dengan ruang yang kini lebih lebar, partai politik dan para aktor di panggung politik harus segera merancang ulang strategi dan sistem mereka guna menghadapi realitas Pemilu 2029, yang diprediksi akan penuh dengan dinamika baru sekaligus tantangan berat.
Ambang batas pencalonan presiden yang selama ini menjadi filter formal kini lenyap, sehingga ruang demokrasi pun melebar dan persaingan makin terbuka. Namun, penghapusan ini tidak serta merta menjamin terciptanya demokrasi yang ideal.
Sebaliknya, ia membawa risiko munculnya fragmentasi politik yang tajam dan konflik kepentingan yang kompleks, yang harus diantisipasi dengan bijak agar Pemilu 2029 menjadi ajang kompetisi yang sehat dan bermartabat.
Polarisasi
Dari perspektif hukum dan politik, ambang batas pencalonan presiden sebenarnya adalah produk kompromi dalam perjalanan demokrasi Indonesia yang ingin menjaga stabilitas pemerintahan dan meminimalisasi polarisasi berlebih.
Dalam UUD 1945 pasca amandemen, ambang batas ini diatur untuk menghindari situasi di mana terlalu banyak kandidat menyebabkan pecah suara yang ekstrem dan sulitnya terbentuk pemerintahan yang efektif.
Baca Juga
Dengan menghapus aturan ini, MK menegasikan interpretasi baru terhadap prinsip kebebasan politik sekaligus memperluas peluang bagi partai-partai kecil dan calon independen untuk berlaga.
Namun, apakah penghapusan ambang batas benar-benar memudahkan rakyat mendapatkan wakil dan pemimpin yang terbaik? Ataukah ini justru membuka ruang yang terlalu luas bagi kepentingan pragmatis dan kalkulasi politik semata?
Pertanyaan ini menjadi titik krusial dalam mengkaji rekonstruksi sistem Pemilu 2029 yang kini tengah dipersiapkan.
Perubahan Regulasi
Rekonstruksi yang dimaksud tak hanya soal perubahan regulasi dan prosedur teknis, melainkan juga membutuhkan pemikiran mendalam tentang bagaimana membangun mekanisme pengawasan yang kuat dan menjamin transparansi serta integritas pemilu.
Dalam situasi tanpa ambang batas, kompetisi politik akan semakin sengit dan cair, sehingga dibutuhkan tata kelola yang lebih adaptif dan responsif untuk mengantisipasi risiko fragmentasi politik yang dapat mengancam stabilitas nasional.
Selain itu, rekonstruksi pemilu pasca putusan MK ini juga harus menimbang implikasi sosial dan budaya politik masyarakat. Demokrasi Indonesia yang sudah lama hidup dengan aturan baku presidential threshold, kini harus beradaptasi dengan realitas persaingan yang lebih terbuka dan kompetitif.
Partai politik, sebagai aktor utama, perlu merumuskan strategi baru yang mampu mengelola koalisi dan mendukung calon presiden tanpa terjebak pada pragmatisme jangka pendek yang merugikan kepentingan rakyat.
Literasi Politik
Sementara itu, dari sisi masyarakat pemilih, tantangan utama adalah bagaimana meningkatkan literasi politik dan kesadaran demokrasi agar pemilih mampu menentukan pilihan berdasarkan visi, misi, dan rekam jejak calon, bukan sekadar kepentingan sesaat atau politik uang.
Pendidikan politik yang masif dan berkelanjutan harus menjadi bagian dari rekonstruksi yang lebih luas ini.
Kekuatan demokrasi sejatinya terletak pada kualitas pemilihnya; ketika masyarakat mampu berpikir kritis dan memilih dengan bijak, sistem politik pun akan lebih sehat dan akuntabel.
Oleh karena itu, upaya peningkatan literasi politik harus menjadi agenda utama, melibatkan berbagai pihak --lembaga pendidikan, media, organisasi masyarakat sipil, pemerintah-- untuk membentuk budaya politik yang cerdas dan bertanggung jawab.
Penutup
Perjalanan menuju Pemilu 2029 dengan aturan baru tanpa ambang batas pencalonan presiden adalah sebuah tantangan sekaligus peluang. Sebuah momentum penting untuk merefleksikan dan membangun kembali pondasi demokrasi yang tidak hanya kuat secara hukum, tetapi juga kokoh dalam nilai-nilai demokratis yang sesungguhnya.
Dalam konteks ini, seluruh elemen bangsa --mulai dari pemerintah, partai politik, penyelenggara pemilu, hingga masyarakat sipil-- harus bersinergi membangun kesadaran kolektif bahwa demokrasi bukan sekadar prosedur politik, melainkan sebuah proses yang menuntut tanggung jawab bersama untuk menjaga keadilan, kejujuran, dan keberlanjutan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
*Dewan Pembina Yayasan Peduli Literasi Demokrasi Riau (YPLDR), Ketua dan anggota KPU Provinsi Riau 2019–2024 dan 2014 – 2019.