Saat Media Penyiaran Jadi Ancaman Serius Masyarakat

Fesmed.jpg
(RIAUONLINE.CO.ID/Izdor)

RIAUONLINE.CO.ID, JAKARTA - Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Atmajaya, Salvatore menyampaikan kritikan terhadap perkembangan media penyiaran di Indonesia. Media penyiaran cenderung abai dalam memberikan informasi untuk kepentingan masyarkat.

 

Salvatore menilai terdapat lima persoalan media penyiaran saat perkembangan media penyiaran di Indonesia saat ini yang justru menjadi ancaman bagi kepentingan informasi masyarakat.

 

Menurut Salvatore, adapun permasalah tersebut yakni konten. dia melihat konten media penyiaran saat ini lebih mendominasi kepada hiburan. Tayangan yang ditampilkan kebanyakan tidak mendidik. "Hanya sedikit yang mendidik," ujarnya, saat Talkshow Cerdas Memilih Media dalam acara Festival Media, di Kampus Universitas Atmajaya, Jakarta. Sabtu (14/11/2015).

 (KLIK: Menkominfo Rudiantara Tanya Asap Kepada AJI Pekanbaru)

 

Kemudian tentang kepemilikan media yang kebanyakan dimiliki oleh ketua partai politik. Dia melihat fakta saat Pemilihan Umum beberapa waktu lalu. Faktor kepemilikan sangat mempengaruhi siaran berita.

 

lalu tanggung jawab media. Dia mengatakan undang-undang Pers sudah mengikat tanggung jawab dengan kuat. Namun kata dia, sejak 10 tahun terakhir tanggung jawab media jauh dari realitas sebenarnya yang harus dipenuhi.

 


Menurutnya, tanggung jawab yang mesti dipenuhi media penyiaran yakni tayangan maupun konten beritanya seharusnya untuk kepentingan publik. Namun faktanya saat ini tanggung jawab media kebanyakan untuk kepentingan kelompok atau pemilik media.

 

"Media penyiaran ini menggunakan frekuensi publik yang dikuasai oleh negara. Seharusnya tayangan yang ditampilkan itu untuk kepentingan publik. Jika untuk kepentingan politik pemilik maupun kelompoknya maka tanggung jawabnya sudah hilang," jelasnya.

 

Masalah lainnya yakni soal distribusi. Dia melihat distribusi penyiaran selama ini sangat tersentralisasi. Misalnya, isu perseteruan politik di tingkat nasional seolah menjadi konsumsi wajib masyarakat. Sedangkan isu daerah jarang sekali terpantau. Sentralisasi informasi bisa mempengaruhi banyak hal," ujarnya. (BACA: AJI Gelar Festival Media Bertema Cerdas Memilih Media)

 

masalah yang sangat serius acaman lanjut Salvatore yaitu paralelisme poltik. Saat ini keterkaitan media sangat erat dengan partai politik. Dia menambahkan, tingkat kedekatan media dengan partai politik bisa dilihat dari pemilik, jurnalis yang bekerja dan ideolgi dan praktik jurnalisme yang diterapkan.

 

"Kalau media memiliki tingkat paralel yang tinggi maka akan muncul kecenderungan informasi yang ditayangkan itu sangat berorientasi pada keompok tertentu. Media digunakan untuk alat mepromosikan tokoh dan partainya," jelasnya.

 

Lembaga pengawas siaran yakni Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kata dia tidak punya kewenangan yang cukup untuk menertibkan pelaku penyiaran yang melanggar aturan, sejauh ini hanay sebatas memberikan teguran tertulis kepada perusahaan penyiaran yang melanggar itu.

 

Padahal lembaga penyiaran seperti televisi saat ini menjadi media yang paling dicari masyarakat sebagai rujukan dan mencari informasi. Di saat kualitas tayangan yang diberikan ke masyarakat hancur-hancuran, tentu audien yang menonton tayangan akan terpengaruh dan salah dalam mengambil keputusan dan tindakan.

 

Untuk mengimbangi situasi ini, pemerintah bersama masyarakat sudah seharusnya mewujudkan lembaga penyiaran publik atau komunitas, yang secara aktif mendorong masyarakat untuk mau dan aktif dalam setiap kebijakan kebijakan atau kesempatan pada pemilihan umum.

 

"Ini juga memacu masyarakat tidak apatis, tidak malah golput pada saat ada pemilu. Caranya ya televisi publik memberikan edukasi secara baik," katanya.