Warga di Kampung Ini Cuma Bayar Listrik Rp 12 Ribu Per Bulan Lho, Kok Bisa?

Rejo-Handoyo.jpg
(Widi Erha Pradana.)

RIAU ONLINE, KULONPROGO-Warga Kedungrong, Kulon Progo boleh dibilang beruntung. Pasalnya mereka hanya bayar tagihan listrik Rp 12 ribu. Bagaimana kisah rahasianya?

Tentu saja bukan perkara gampang bagi Rejo Handoyo, 50 tahun, meyakinkan masyarakat Dusun Kedungrong, Desa Purwoharjo, Samigaluh, Kulon Progo untuk menggunakan listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Padahal, sudah sejak 2012 dusun tersebut memiliki PLTMH.

Sebenarnya saat ini sudah nyaris semua rumah di Dusun Kedungrong menggunakan listrik dari PLTMH, tapi hanya sedikit yang berani memutuskan untuk menggunakannya secara penuh. Sebagian besar masih setengah-setengah, menggunakan jaringan listrik dari PLN dan PLTMH.

“Tapi kebanyakan sekarang sudah lebih banyak pakai mikrohidro, karena lebih murah dan bisa foya-foya listrik pokoknya,” kata Rejo Handoyo, pengelola PLTMH Kedungrong, Rabu 3 Februari 

Jika dibandingkan, selisih biaya listrik PLTMH dan listrik PLN memang sangat jauh. Masyarakat yang menggunakan jaringan listrik PLTMH hanya dikenai biaya sebesar Rp 12 ribu untuk 35 hari.

Sementara jika menggunakan PLN, tagihan listrik yang harus mereka keluarkan bisa mencapai Rp 100 ribu sampai Rp 200 ribu.

PLTMH Kedungrong dibangun memanfaatkan arus air di saluran irigasi dari Sungai Progo yang melintang melewati dusun tersebut. Cikal bakalnya adalah program mahasiswa KKN UGM pada 2011 yang membuat kincir air, namun gagal.

Tahun berikutnya, ada mahasiswa UGM lagi yang KKN di sana dan lagi-lagi program utamanya adalah pembuatan PLTMH.

Pada tahun kedua, pembangkit yang dibuat berhasil mengeluarkan listrik yang dimanfaatkan untuk penerangan jalan. Tapi hanya bertahan beberapa bulan, kemudian pembangkit tersebut kembali rusak.


“Di tahun yang sama dari Dinas PU ESDM datang ke sini, terus dibangunlah mikrohidro ini,” ujarnya.

Saat itu, Rejo Handoyo dipilih untuk mengikuti pelatihan di Bandung selama dua hari. Di sana, dia digembleng tentang bagaimana cara kerja mesin pembangkit, bagaimana pengoperasian, perawatan, serta perbaikannya. Ketika pulang, dialah yang memegang tanggung jawab terbesar untuk merawat dan mengoperasikan mesin pembangkit.

Dua hari tentu waktu yang sangat sebentar untuk memahami ilmu tentang kelistrikan, apalagi tentang pembangkit. Akhirnya, pengalaman adalah guru yang telah membimbingnya hingga menjadi mahir seperti sekarang.

Rejo juga harus membayar mahal proses belajarnya itu. Satu dinamo 22 KVA pernah hangus, televisi LCD dan dua speaker aktif miliknya juga rusak gegara tegangan dan arus yang belum stabil pada masa-masa awal.

Untungnya Rejo adalah orang yang bandel, dia tidak kapok meski sudah rugi banyak. Masalah demi masalah itulah yang justru membuatnya semakin mahir dan berpengalaman.

“Karena saya korban TV sama speaker aktif itu makanya warga banyak yang takut untuk pakai PLTMH. Tapi pelan-pelan kami kasih pengertian, kalau sekarang listriknya sudah stabil sehingga hampir semua warga sekarang pakai mikro hidro,” kata Rejo.
Banyak tapi Sedikit yang Tahan Lama

Tagihan Listrik Sebulan Rp 12 Ribu, Ini Rahasia Warga Kedungrong, Kulon Progo (2)

Turbin penggerak listrik mikro hidro. Foto: Widi Erha Pradana.

Sebenarnya pembangkit listrik bertenaga energi terbarukan seperti di Kedungrong sudah banyak dibuat di tempat-tempat lain. Tapi, hanya sedikit yang bisa bertahan lama. Sementara yang bisa bertahan sampai delapan tahun lebih seperti PLTMH Kedungrong mungkin hanya hitungan jari.

Padahal, teknisi pengelola PLTMH Kedungrong hanya ada dua orang, Rejo Handoyo dan Widarto. Setiap sore, mereka selalu membersihkan kincir air dari sampah-sampah yang menyangkut. Mereka yang merawat mesin pembangkit dan memperbaikinya ketika mengalami kerusakan, tanpa imbalan.

Tanpa Rejo dan Widarto, PLTMH Kedungrong mungkin akan bernasib sama dengan pembangkit listrik bertenaga energi terbarukan lainnya.

“Kalau ditanya kenapa mau, saya juga enggak tahu. Saya cuman yakin, Tuhan itu Maha Tahu mas, kalau kita menjalankan itu dengan keikhlasan hati, mungkin suatu saat Tuhan akan memberikan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang kita lakukan,” kata Rejo Handoyo.

Atas dasar prinsip itulah, Rejo dan Widarto tetap menjalankan tugasnya merawat mesin pembangkit itu meski tak pernah ada imbalannya. Terlebih, dia juga sadar kalau dirinya juga membutuhkan listrik. Jika dia bisa menyediakan listrik sendiri, maka dia tak perlu lagi memikirkan tagihan listrik yang membengkak karena besarnya pemakaian.
“Karena di rumah saya juga memakai listrik sesuka saya,” lanjutnya sembari terkekeh.

Rejo adalah salah satu yang sudah menggunakan listrik PLTMH secara penuh, meski di rumahnya juga terdapat saluran listrik dari PLN. Di rumahnya, dia tak pernah sayang menggunakan peralatan elektronik, dan tak takut tagihan listrik membengkak.

“Saya pakai TV, ada kulkas, speaker aktif, macam-macam, mesin las saya juga pakai,” ujarnya.
Menurutnya, untuk menjalankan program-program seperti ini memang dibutuhkan orang-orang yang ikhlas. Jika yang menjalankan sudah punya orientasi ke arah keuntungan pribadi, maka program tidak akan jalan.


“Rezeki itu kan yang membagi Gusti Allah mas. Gusti Allah itu lebih adil kalau membagi rezeki. Jadi enggak usah mikir aku dapat apa, kerjakan saja sebaik mungkin,” ujar Rejo Handoyo. Artikel ini suddah terbit di Kumparan.coma