Anggota DPR RI Asal Riau, Jon Erizal, Minta Penambahan Alokasi Beasiswa LPDP untuk Luar Jawa

Anggota-Komisi-XI-DPR-RI-Jon-Erizal.jpg
(istimewa)

RIAU ONLINE, JAKARTA - Anggota Komisi XI DPR RI Jon Erizal meminta Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menambah jumlah alokasi penerima beasiswa untuk daerah-daerah di luar Pulau Jawa.

Hal ini untuk memberikan kesempatan yang lebih besar kepada anak-anak daerah yang memiliki kemampuan intelegensi yang hebat, tapi kurang mendapatkan informasi tentang pelaksanaan tes penerimaan beasiswa dari LPDP tersebut.

"Pemberiannya tidak hanya bertumpu di sejumlah daerah, misalnya jumlah penerima beasiswa lebih besar di daerah Pulau Jawa saja. Tapi juga menambah jumlah penerima beasiswa untuk daerah-daerah lain di Indonesia. Termasuk untuk Riau harus ditambah," ujar Jon Erizal saat Komisi XI DPR menggelar rapat dengan LPDP Kemenkeu di Gedung DPR, Rabu 4 Desember 2019.

Berdasarkan data yang diperoleh Jon Erizal dari LPDP per Oktober 2019, provinsi penerima beasiswa tertinggi adalah Jawa Barat yakni sebanyak 4.147 orang, disusul Jawa Timur 2.997 orang, DKI Jakarta (2.532), Jawa Tengah (2.198). Sementara Riau hanya 358 orang.

LPDP adalah satuan kerja di bawah Kementerian Keuangan yang mengelola dana pendidikan sesuai amanat PMK Nomor 252 Tahun 2010. Program layanan LPDP terdiri dari beasiswa untuk S2-S3, pendanaan riset dan pengelolaan dana (investasi).

Menurut Jon Erizal, selama ini memang tes dan proses seleksi untuk mendapatkan beasiswa dari LPDP cukup sulit dan ketat. Proses seleksi yang ketat ini, kata Jon, sudah bagus. Tapi bukan berarti jumlah peserta yang ikut dari daerah-daerah menjadi berkurang.

"Karena tesnya sulit, saya menyarankan untuk di-coaching atau dibuka satu atau dua kelas di universitas atau gabungan universitas di beberapa provinsi di luar Jawa. Hal ini dilakukan agar bisa membuka peluang yang lebih besar bagi calon penerima beasiswa di daerah untuk lolos, termasuk Riau," saran legislator asal Riau ini.

Apalagi sekarang, kata politisi Partai Amanat Nasional (PAN) ini, kita tengah menggenjot kekurangan jumlah S3. Saat ini jumlah S3 di Indonesia masih jauh sekali dibanding negara-negara lain, seperti Malaysia, Singapura, Jepang, apalagi dibandingkan dengan Amerika Serikat.


Perbandingannya, kata Jon, dari 1 juta orang, Indonesia hanya memiliki 150 orang yang bergelar doktor. Berbeda jauh dengan Amerika, dari 1 juta orang, punya 7.500 orang yang doktor.

Sentuh Penemu yang Hanya Tamat SD

Dalam kesempatan itu Jon Erizal juga meminta LPDP tidak hanya menyentuh S2-S3, pendanaan riset dan pengelolaan dana (investasi). Namun, tegas Jon, LPDP juga harus menyentuh penemu-penemu yang sudah melakukan riset sendiri dan berhasil diimplementasikan, tapi mereka hanya tamatan SD.

"Contohnya Mariandi, anak Bengkalis, Riau. Dia hanya tamat SD, tapi berhasil menciptakan pesawat tanpa awak. Penemu seperti Mariandi ini lah yang juga harus disentuh oleh LPDP," jelasnya.

Mariandi merupakan warga Desa Air Putih, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau. Pria berusia 35 tahun ini berhasil menciptakan pesawat tanpa awak dengan terbang selama dua jam di udara.

Pesawat yang terbuat dari kayu balsa itu dikendalikan dengan remote control dan komputer jinjing (laptop). Pesawat itu diklaim dapat digunakan untuk pemetaan wilayah abrasi pantai dan memantau kebakaran hutan maupun lahan.

Mariandi butuh waktu 10 hari untuk membuat pesawat tanpa awak. Ayah satu anak ini mengaku hanya tamatan sekolah dasar (SD).

“Pesawat ini dibuat dari fiber dan kayu balsa. Saya buat pesawat ini selama 10 hari. Itu untuk pembuatan bodi pesawat saja. Sedangkan untuk spare part dan batrainya dipesan ke Malaysia melalui jalur laut,” cerita Mariandi baru-baru ini.

Pria yang akrab disapa Andi ini mengaku membuat pesawat otodidak dan belajar dari hobi aeromodeling dan media sosial.

“Saya hobi aeromodeling. Kemudian melihat cara-caranya (pembuatan pesawat) di media sosial. Saya lalu berpikir untuk mengembangkannya dengan menjangkau jarak yang jauh hingga tiga jam perjalanan,” ujarnya.

Andi menuturkan, biaya untuk satu pesawat ini tergantung pemesanan dan jarak jangkauan pesawat, serta lama terbangnya. “Biayanya mulai dari Rp8 juta sampai Rp10 juta. Tergantung komponennya,” katanya.

Menurut Andi, pesawat tanpa awak ini juga sudah digunakan warga Bengkalis untuk pemetaan tapal batas antardesa, pemantauan abrasi pantai dan kebakaran hutan yang terjadi saat ini.

Dalam tujuh bulan, Andi mengaku sudah membuat tiga pesawat tanpa awak yang diberi nama capung air dan berwarna orange. Pesawat buatannya itu sudah dibeli warga Kalimantan dan Jawa seharga Rp50 juta.
.