Apa Hubungan Gemar Foto Selfie dengan Gangguan Psikologi?

Selfie.jpg
(Internet)

 

RIAU ONLINE - Suka mengambil foto selfie atau merasa sangat kesulitan untuk tidak mengambil foto selfie sehari saja? Anda mungkin mengalami "psikologis kompleks". Kondisi ini disebut sebagai "selfitis", yang merupakan tindakan selfie berlebihan.

Istilah ini pertama kali diciptakan pada tahun 2014 sebagai bagian dari artikel berita yang mengklaim bahwa selfitis akan dianggap sebagai gangguan mental oleh American Psychiatric Association.

Dr. Mark Griffiths, dari Departemen Psikologi Nottingham Trent University, mengatakan, beberapa tahun yang lalu, salah satu artikel muncul di media yang mengklaim bahwa kondisi selfitis akan digolongkan sebagai gangguan mental.

"Nyatanya, artikel ini adalah hoax. Tapi ini bukan berarti kondisi selfitis itu tidak ada. Kami sekarang telah mengkonfirmasi keberadaannya dan mengembangkan Skala Perilaku Selfitis (Selfitis Behavior Scale) pertama di dunia untuk menilai kondisinya," ujar dia seperti dikutip dari laman SUARA, Senin 18 Desember 2017.

Melalui penelitian ini, peneliti melihat 400 peserta dari India karena negara ini memiliki pengguna Facebook terbanyak, sehingga Skala Perilaku Selfitis dapat digunakan untuk menentukan seberapa parah orang menderita kondisi tersebut.


Dengan menggunakan skala satu, untuk sangat tidak setuju, sampai lima untuk yang sangat setuju, orang dapat menentukan seberapa akut kebiasaan selfie mereka dengan menanggapi beberapa pernyataan.

Seperti "membagikan foto selfie saya menciptakan persaingan yang sehat dengan teman dan kolega saya", atau "Saya merasa lebih populer ketika saya memposting foto selfie saya di media sosial".

Peneliti lainnya, Dr. Janarthanan Balakrishnan mengatakan, biasanya kondisi ini dialami oleh mereka yang memiliki rasa kurang percaya diri dan berusaha 'menyesuaikan diri' dengan orang-orang di sekitar mereka dan mungkin menunjukkan gejala yang serupa dengan perilaku kecanduan lainnya.

"Kini keberadaan kondisi tersebut tampaknya telah dikonfirmasi, diharapkan penelitian lebih lanjut akan dilakukan untuk lebih memahami bagaimana dan mengapa orang mengembangkan perilaku berpotensi obsesif ini, dan apa yang bisa dilakukan untuk membantu orang-orang yang paling terkena dampak dari hal ini," tutup dia.

Sukai/Like Fan Page Facebook RIAUONLINE 

Follow Twitter @red_riauonline

Subscribe Channel Youtube Riau Online

Follow Instagram riauonline.co.id