RIAU ONLINE, PEKANBARU - Kuasa hukum terpidana kasus narkoba, Irwansyah Putra dari Kantor Hukum Elang Timur, mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam proses hukum kasus peredaran narkotika seberat 30 kilogram sabu di wilayah Sepahat, Kabupaten Bengkalis, Riau.
Sebelumnya, kasus ini ditangani oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) sejak September 2024 dan menyeret tiga tersangka, yakni Ahmad, Suhaidi, dan Kasum.
Ketiganya awalnya didampingi oleh Irwansyah berdasarkan surat penunjukan resmi dari BNN. Dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP), ketiga tersangka mengakui keterlibatan dalam tindak pidana narkotika yang dikendalikan oleh bandar besar di Malaysia bernama Apeng, dengan bantuan transportasi laut dari seseorang bernama Akun.
Tersangka Ahmad diduga sebagai bandar dalam kasus ini. Ia yang memiliki hubungan langsung dengan pihak luar negeri, menawarkan pekerjaan dan memerintahkan Suhaidi untuk terlibat dalam proses pengambilan barang.
“Terkait dengan kinerja, peran intelektualnya di sini ada pada Saudara Ahmad, tersangka Ahmad. Nah, karena kenapa? Tersangka Ahmad lah yang menawarkan dan memerintahkan serta menyuruh Suhaidi untuk melakukan pekerjaan penjemputan narkotika tersebut,” kata Irwansyah.
Suhaidi lantas mengganti nomor ponsel sesuai permintaan Ahmad, yang kemudian digunakan sebagai kontak oleh pengirim narkotika dari seberang.
Proses penjemputan sabu dilakukan oleh seseorang bernama Gege, yang kemudian diterima oleh Suhaidi dan diserahkan kepada Kasum. Kasum sendiri, menurut BAP, diminta tolong oleh rekan kerjanya bernama Ale-ale dan dihubungi oleh seorang bernama Rohman dari Malang untuk mengambil barang di Pekanbaru, yang belakangan diketahui adalah narkotika. Kasum menerima imbalan operasional sebesar Rp10 juta, namun baru menerima separuhnya.
Irwansyah mengungkapkan, pada awal Oktober 2024, kuasa hukumnya untuk tersangka Ahmad dicabut, dan proses hukum terus bergulir tanpa sepengetahuannya. Ia menyayangkan bahwa proses persidangan atas nama Ahmad telah berlangsung terpisah dan tanpa saling bersaksi di antara ketiga terdakwa, yang menurutnya melanggar prinsip keterkaitan kasus.
“Ahmad telah divonis lebih dulu pada Maret 2025, dengan vonis 10 bulan penjara dari tuntutan 12 bulan,” ujar Irwansyah.
Irwansyah menyayangkan kliennya, Suhaidi, yang hanya menjalankan perintah, justru dituntut hukuman mati sebelum akhirnya diputus 20 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru. Ia menilai perlakuan terhadap Ahmad dan Suhaidi tidak seimbang.
“Pengendali ini, terdakwa Ahmad ini sudah diputus duluan, sudah diputus duluan oleh Majelis Hakim itu kalau saya tidak salah itu 17 Maret 2025 sudah diputus, aktor intelektualnya sudah diputus dengan tuntutan 12 bulan dan diputus 10 bulan penjara dan sekarang pun Ahmad itu sudah bebas dan sudah kembali kepada keluarganya,” terangnya.
Lebih lanjut, Irwansyah mengkritisi munculnya Pasal 131 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dalam dakwaan Ahmad yang tidak tercantum dalam proses penyelidikan BNN hingga tahap P-21. Ia menilai kejanggalan ini berpotensi mencederai semangat pemberantasan narkotika yang menjadi agenda utama Presiden Prabowo Subianto.
“Dalam BAP Penyelidik Bandar Narkotika Nasional itu sampai dengan P21 tidak ada yang namanya pasal 131, yang artinya mengetahui perbuatan pidana narkotika tapi tidak melaporkan kepada pihak yang berwajib, belakangan muncul dalam dakwaan terdakwa Ahmad. Kejanggalan-kejanggalan ini begini yang menurut kami ini tidak memberikan satu masukan yang baik atau support terhadap astacita Presiden Prabowo yang mana narkotika ini adalah extraordinary crime yang benar-benar harus ditumpas,” jelasnya.
Pihak kuasa hukum Suhaidi telah menyatakan sikap untuk melakukan upaya hukum banding atas vonis tersebut. Irwansyah menutup pernyataannya dengan menegaskan komitmen mendukung program negara dalam pemberantasan narkotika secara adil dan transparan.