Apakah Korban Pemerkosaan Boleh Aborsi? Ini Penjelasannya

Ilustrasi-Aborsi.jpg
(INTERNET)

RIAUONLINE - Kasus pemerkosaan dan kekerasan seksual yang menyebabkan kehamilan membuat masyarakat mempertanyakan aturan aborsi. Lalu bolehkah menggugurkan kandungan atau aborsi karena perkosaan?

Dijawab oleh perwakilan Direktorat Kesehatan Keluarga, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dr. Yenny Yuliana, menggugurkan kandungan yang tumbuh akibat praktik pemerkosaan dibolehkan.

Hal tersebut ia katakan saat mengisi acara diskusi webinar KemenPPPA, Rabu (15/12/2021) lalu.

Yenny mengatakan aborsi adalah tindakan ilegal di Indonesia, tapi ada 2 hal penyebab yang diperbolehkan atau dikecualikan, yaitu alasan medis mengancam keselamatan ibu, dan karena pemerkosaan.

"Di dalam undang-undangan kesehatan itu boleh dilakukan pengguguran kandungan atas 2 indikasi. Satu karena indikasi medis, artinya menyelamatkan nyawa si ibu. Kemudian kasus pemerkosaan," jelas Yenny.

Adapun proses aborsi untuk kasus pemerkosaan tidaklah mudah, karena ada batasan usia kandungan, yakni tidak boleh lebih dari 40 hari. Sehingga pemeriksaan usia kehamilan adalah hal wajib sebelum digugurkan.


"Kalau sudah lewat 40 hari, itu tidak bisa dilakukan aborsi karena kasus pemerkosaan," jelasnya.

Setelahnya, aborsi juga tidak bisa dilakukan sembarangan, melainkan harus dilakukan oleh dokter terakreditasi, sekaligus harus dilakukan di fasilitas kesehatan, rumah sakit hingga klinik yang ditunjuk pemerintah.

Ditambah, pasien juga harus lebih dulu menjalani sesi konseling. "Setelah dilakukan konseling tidak semuanya mau menggugurkan kandungan," ungkap Yenny.

Sayangnya, menurut dia kebanyakan kasus pemerkosaan hingga hamil datang ke fasilitas kesehatan, usia kandungan janin sudah lebih dari 40 hari atau korban sudah dalam kondisi hamil besar.

"Jarang yang datang, pada kasus pemerkosaan yang masih baru, karena sering ditutup-tutupi, begitu hamil, baru terungkap bahwa itu pemerkosaan," jelasnya.

Alhasil, setelah bayi dilahirkan maka perlu musyawarah dan kerjasama semua pihak, termasuk keluarga korban, KemenPPPA, dinas sosial dan sebagainya, untuk menjamin masa depan anak yang dilahirkan.

"Siapa nanti yang akan mengasuh, apakah keluarga atau diserahkan kepada negara, itu perlu keterlibatan semua sektor. Memang untuk hal ini butuh effort yang besar untuk kasus seperti ini," tutup Yenny.

Artikel ini sudah tayang di SUARA.com