Ramai Penolakan, Mahasiswa Riau Sebut Permen PPKS Dibutuhkan di Kampus

pelecehan-seksual5.jpg
(kolase)

Laporan: BAGUS PRIBADI

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Belakangan ramai penolakan terhadap Peraturan Mendikbudristek nomor 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi atau yang akrab disebut Permen PPKS.

Sebelumnya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak Permen PPKS karena dianggap melegalkan zina, sedangkan Muhammadiyah menolak karena dikhawatirkan memicu perilaku seks yang dilarang dalam ajaran agama Islam.

Berangkat dari adanya dugaan pelecehan seksual yang dialami mahasiswi Fisip Universitas Riau (Unri) oleh dosen pembimbingnya, mahasiswa di Riau menanggapi penolakan Permen PPKS. Mahasiswi Jurusan Pendidikan Kimia, Unri, Reva Dina Asri, mengatakan alasan penolakan Permen PPKS bersifat konyol. Pasalnya, kalimat ‘tanpa persetujuan korban’ dalam Permen PPKS tak bisa dijadikan alasan sebagai penolakan dengan dalih melegalkan zina.

“Saya seorang muslim, dan ketika saya muslim dan seorang perempuan saya berhak menolak dilecehkan. Ketika menolak namun tetap dilakukan pelaku artinya pelecehan itu terjadi,” kata Reva saat dihubungi riauonline.co, Kamis, 11 November 2021.

“Intinya, jangan jadikan agama sebagai penghalang untuk kita membuat keadilan. Ketika dalam agama pemaksaan seksual itu dilarang, kita berhak menolak. Sangat dangkal kalau berpikir pelegalan zina. Mahasiswa juga sudah dewasa dan bisa berpikir ketika dia menolak dilecehkan berarti tanpa persetujuan, berarti bisa diproses secara hukum atau secara kampus,” tambahnya.

Mahasiswi yang sembari kuliah bekerja menjadi guru les itu juga menyampaikan, pada Oktober lalu ia dan teman-temannya mendampingi terduga korban pelecehan seksual digital di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Unri. Diungkapkannya, selama mendampingi mereka bingung alur prosedur penanganannya.

“Kami bawa ke LBH Pekanbaru dan diarahkan untuk terlebih dahulu memulihkan mental korban. Setelah itu, kami ke Dinas PPPA Pekanbaru namun dipersulitkan oleh syarat. Dinas PPPA Pekanbaru juga sempat menolak dengan dalih, apakah korban benar dilecehkan atau tidak,” tuturnya.

“Ya, akhirnya karena kami di Pers Mahasiswa Bahana, jadi kami angkat lewat tulisan,” imbuhnya.


Hal itu, menurut Reva, sangat bertele-tele karena tidak adanya ketetapan dalam menangani pelecehan seksual di lingkungan kampus. Reva menegaskan Permen PPKS menjadi pegangan dalam mendampingi korban di lingkungan kampus.

“Buktinya aja, kasus Oktober itu kami adukan ke pihak kampus. Kampus mengaku tak tahu harus buat apa karena tak punya pedoman. Karena Permen PPKS belum ada. Kepala jurusan juga cuma bilang bakal dibawa ke sidang etik, dan setelah dibawa ke pihak Dekanat, Dekanat malah menyuruh korban memaafkan,” ungkap Reva.

“Belum lagi pihak Dekanat malah menemukan korban dengan pelaku, kan aneh. Penanganan kasus pelecehan seksual di situ sangat amburadul. Bandingkan sama kasus di Fisip ini yang lebih terarah karena adanya mahasiswa, dosen, dan civitas akademik yang andil menangani. Jadi publik bisa mengikuti perkembangan dan kampus tak bisa lagi menutup-nutupi masalahnya,” jelas Reva.

Senada dengan Reva, Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, UIN Sultan Syarif Kasim Riau, Wulan Rahma Fanni, menuturkan Permen PPKS sebagai regulasi penanganan pelecehan seksual di lingkungan kampus. Menurutnya, selama ini tak ada regulasi yang tepat dan pasti dalam menanganinya, hanya ada kode etik.

“Padahal kalau sudah soal pelecehan seksual itukan bukan soal etik lagi, lebih besar lagi menyangkut diri sendiri. Permen PPKS mendorong mahasiswa untuk bicara jika mengalami pelecehan di lingkungan kampus,” tutur Wulan.

Belum lagi, sesuai pengungkapan Wulan, tak sedikit mahasiswa yang mengalami pelecehan seksual, baik fisik, verbal, atau digital. Sebab itu, Permen PPKS inilah yang akan melindungi para korban.

“Itu regulasi, jadi jelas bahwa tindakan kekerasan atau pelecehan seksual itu terjadi apabila adanya paksaan, maksudnya yang satu mau yang satu enggak. Jadi jika ada korban, bisa melindungi dia dengan Permen PPKS ini, bukan malah melegalkan zina,” jelasnya.

Tak hanya mahasiswi, Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Riau, Gerin Rio Pranata, menegaskan Permen PPKS amat penting karena setiap manusia--terutama mahasiswa--berhak mendapat rasa aman dan nyaman ketika melaksanakan kegiatan di manap pun, khususnya di lingkungan kampus. Sebab, bagi Gerin, ketika pelecehan itu terjadi akan tidak selesai sampai di situ saja, tapi masih ada trauma berkepanjangan.

“Kita seharusnya sama-sama menyadari dari dekat, misal di kampus atau di tongkrongan soal pelecehan seksual, yang seringnya pelecehan verbal. Kalau kita bisa menyadari itu, harusnya juga bisa menyadari kalau Permen PPKS bukan untuk melegalkan zina,” terangnya.

Ia meminta kampus sebaiknya jangan hanya fokus dengan nama baik soal akreditasi, tetapi pelecehan seksual yang jauh lebih penting. Menurut Gerin, pelecehan seksual bersifat krusial dan perlunya pihak kampus mengkaji yang melibatkan mahasiswa.

“Akan lebih baik lagi jika ada hotline pengaduan terkait kasus pelecehan dan kekerasan seksual di kampus, seminimal mungkin di tingkat universitas ajalah, tapi kalau ada di fakultas itu lebih baik lagi. Selain itu, perlu juga stakeholder yang ada di kampus memberi pemahaman soal bahayanya pelecehan dan kekerasan seksual ini kepada mahasiswa. Mungkin melalui seminar-seminar atau kalau mereka dosen yang progresif membuka lingkar-lingkar diskusi untuk membahas persoalan seperti ini,” harap Gerin.

Terpisah, Anggota Komisi V DPRD Riau, Ade Hartati, sebagai perempuan menjelaskan ke publik bahwa organ reproduksi perempuan berbeda dengan laki-laki. Indung telur, rahim, payudara, menstruasi, hamil, dan menyusui hanya perempuan yang mengalaminya.

Menurutnya, saat ini justru banyak mendapatkan ketidakadilan yang dibuat oleh laki-laki, padahal laki-laki tak mengalami apa yang dialami perempuan. Sebab itu, bagi Ade, penting sekali melihat perspektif keadilan yang hakiki bagi perempuan.

“Relasi kuasa ini lah yang kerap kali merampas keadilan perempuan. Contohnya kasus Fisip Unri itu, ada relasi kuasa antara dosen dengan mahasiswi di lingkungan kampus,” pungkas Ade.