Pengamat Sebut Pembubaran FPI Catatan Buruk Pemerintah di Tahun 2020

aidil-pengamat.jpg
(istimewa)

RIAUONLINE, PEKANBARU - Pengamat Komunikasi Politik, Aidil Haris menyebut pelarangan organisasi Front Pembela Islam (FPI) perlu dipertimbangkan dan dilihat secara objektif. Ia menyebut hal ini sebagai catatan buruk pemerintahan di tahun 2020.

"Sebenarnya perlu ada pertimbangan-pertimbangan yang lebih arif dan bijaksana oleh pemerintah. Jangan memandang persoalan ini secara subjektif. kalau saya lihat komunikasi yang kecenderungannya melihat pada hal-hal yang tidak real dan sifatnya subjektif," jelas Aidil, Kamis 31 Desember 2020.

Aidil mengkhawatirkan pandangan subjektif ini justru berdampak ke identitas yang disemat FPI terutama identitas religius.

"Ini akan membuat suatu proses komunikasi yang mengalami distorsi dan harusnya pemerintah itu harus melihat secara objektif terhadap keputusan sendiri untuk membubarkan FPI itu harus menjadi catatan penting harus digarisbawahi oleh pemerintah," katanya.

Aidil juga mempertanyakan mengapa FPI disebut sebagai ormas terlarang sampai harus dibubarkan.

"Apakah alasan FPI disebut ormas yang tidak layak, ini harus diidentifikasi dahulu. Kalau sekarang memandangnya cenderung subjektif," ujar Aidil.


Menurut Aidil hal-hal ini justru merusak interaksi antara pemerintah dengan masyarakat kemudian memunculkan proses evasi komunikasi dari kelompok-kelompok identitas tertentu.

Hal yang sama pernah terjadi antara ketika itu Soekarno memenjarakan Buya Hamka. Saat itu yang muncul pandangan bahwa pemenjaraan ini terjadi karena adanya perbedaan pandangan dan ideologi yang dibangun oleh Buya Hamka berbenturan dengan ideologi dibangun oleh Soekarno. Namun ternyata diakhir hayatnya Soekarno justru meminta Buya Hamka untuk menyalatkan jenazahnya.

"Dari peristiwa sejarah ini Pemerintah harus mengambil pelajaran untuk tidak melihat permasalahan secara subjektif karena akan memunculkan konflik baru," ujar Aidil.

Aidil menilai marwah pemerintah justru menurun karena membawa konflik-konflik ini secara subjektif. Pada akhirnya konflik justru membuat kelompok terkotak-kotak mulai dari elit sampai akar rumput karena cara pandang yang tidak realistis dan objektif.

"ini bisa menjadi semacam catatan akhir tahun kebijakan-kebijakan pemerintah yang melihat dan menyelesaikan persoalan itu secara subjektif," papar Aidil.

Aidil berharap pemerintah segera menyelesaikan konflik vertikal ini sehingga tidak menjadi konflik horizontal antar masyarakat.

" Seharusnya hal-hal begini tidak menjadi konflik. Dimana masalahnya selesaikan secara real dan objektif,"

Aidil menyebut demokrasi harus melihat sudut pandang yang lebih objektif yang penuh dengan kedinamisan dan mensyaratkan untuk melihat kemajemukan dengan cara-cara yang lebih bijak.

"Kita seolah tidak siap dengan kondisi dan perbedaan ini," tutup Aidil.