Kisah Hani, Bocah Penyintas Kanker Mata Pemilik Segudang Prestasi

Hanifah-Nurliana.jpg
(Ratna Dewi Syarif)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Hanifah Nurliana, akrab disapa Hani, seorang gadis kecil ceria berusia 9 tahun dengan rambut panjang lurus dan ikal di bagian bawah berwarna hitam serta murah senyum merupakan penyintas kanker mata atau Retinablastoma.

Mulanya pada Desember 2016, mata sebelah kiri Hani menunjukkan pergerakan aneh. Terkadang mata terlihat juling sesaat. Saat itu keluarga Hani menyadari bahwa keadaan mata Hani harus segera diperiksa ke Dokter.  

 

“Saat main pun matanya sempat terlihat juling tapi sebentar saja, lalu normal kembali,” kata Ratna Dewi Syarif, akrab dipanggil Dewi, ibu kandung Hani.

Memasuki awal Januari 2017 Hani mendapat rujukan ke rumah sakit khusus mata di Pekanbaru. Hasil pemeriksaan menunjukkan mata Hani sebelah kiri sudah tidak bisa melihat. Pada saat itu, Hani dinyatakan terkena penyakit Glukoma (kerusakan pada syaraf mata) karena tekanan tinggi pada bola mata.

Seiring berjalannya waktu Hani mulai merasakan sakit pada kepala sebelah kiri. Namun, karena usia Hani masih 5 tahun pada saat itu ia tidak bisa mengutarakan rasa sakit ia alami.

Hani mengepalkan kedua tangannya dan merapatkan rahang hingga bergetar karena menahan rasa sakit. Bahkan ia tidak bisa diajak berkomunikasi dan tidak mau makan.

“Dia mulai merasakan sakit pada bagian kepala sebelah kiri sampai di tokok-tokok kepalanya,” ujar Dewi.

 

Setelah sebulan pengobatan, kondisi Hani tidak menunjukkan peningkatan. Badan tampak semakin kurus. Sehingga, Hani harus dirujuk kembali ke rumah sakit berbeda di Pekanbaru. Selama 3 bulan rawat jalan di rumah sakit tersebut, dokter mulai curiga dengan keadaan mata Hani.

 

“Retinanya saat diberi cahaya sewaktu periksa seperti mata kucing dan terlihat kosong, disitulah dokter mulai curiga,” ucapnya.

 

Kemudian, Hani di rujuk lagi ke rumah sakit di Padang, Sumatera Barat. Di sana Hani hanya pergi berdua dengan Dewi karena ayah Hani harus tetap bekerja dan menjaga tiga kakak Hani lainnya masih sekolah.

 

Saat bertemu dengan dokter spesialis mata melihat kondisi Hani sang dokter sudah memiliki firasat.

 

“Setelah dilakukan pemeriksaan dan discane ternyata Hani dinyatakan mengidap kanker mata atau Retinablastoma,” ungkapnya.

 

Sel kanker pada mata Hani terdeteksi pada stadium dua. Dewi merasa sangat terpukul mengetahui fakta tersebut. Hatinya begitu hancur menerima kenyataan yang terjadi pada anak bungsunya.

 

“Rasanya dunia mau kiamat bagi saya,” keluhnya.

 

Dewi terus menangis saat menemani Hani berobat. Namun, Hani tetap menunjukkan kekuatan dan kecerian di hadapan ibunya.

 

“Mama kenapa nangis ? Hani aja gak apa-apa,” tirunya.

 

Ia mengaku juga hingga jatuh sakit karena tidak sanggup menghadapi takdir ini. Beban pikiran yang Dewi rasakan terasa amat menyiksa baginya.

 

“Saya drop dua hari, tensi naik hingga tekanan 140 padahal sebelumnya tidak pernah begitu,” ujarnya.

Hanifah Nurliana2


Hanifah Nurliana

Namun, Dewi mendapatkan banyak dukungan dari suami, keluarga dan orang terdekatnya untuk tetap semangat menemani Hani agar bisa sembuh.

 

“Kalau ibu sakit juga siapa yang jaga dan menemani Hani berobat, sedangkan bapak harus tetap bekerja,” tirunya.

 

Dewi pun seolah mendapatkan energi baru untuk bangkit dari keterpurukan. Ia mulai memupuk semangat untuk bisa menemani Hani hingga sembuh.

 

Penyebaran kanker mata tergolong cepat. Sehingga, dokter menyarankan agar mata Hani sebelah kiri harus segera diangkat. Seminggu kemudian dengan persiapan singkat bola mata Hani resmi diangkat untuk kemudian diganti dengan mata palsu.

 

Pasca pengangkatan bola mata, dokter menyarankan agar Hani melakukan kemoterapi karena sel kanker yang bersarang di bagian kepala Hani tergolong ganas. Dewi menerima saran dokter dengan meminta rujukan agar proses kemoterapi dilakukan di RSUD (Rumah Sakit Unit Daerah) Arifin Ahmad.

 

Proses kemoterapi yang harus Hani jalankan sebanyak delapan siklus selama delapan bulan.

 

Besarnya biaya pengobatan kanker membuat orangtua Hani sempat harus meminjam uang kepada kerabat keluarga meski sebagian sudah ditanggung dengan BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan.

 

Setelah melakukan kemoterapi kondisi Hani sempat drop. Hani sering muntah, tidak mau makan dan hanya bisa terbaring lemah di kasur.

 

Rambut Hani juga mulai rontok. Saat tidur rambut berserakan di sekitar bantal. Akhirnya Dewi berinisiatif untuk mencukur rambut Hani.

 

Dokter juga menyampaikan bahwa imun Hani akan menurun akibat kemoterapi. Sehingga, Dewi menjaga Hani dengan ketat agar tidak terkena penyebab penyakit lain.

 

“Saya jaga Hani agar tidak berada di pusat keramaian seperti ke pasar, jadi kalau pun keluar rumah harus pakai masker,” ucapnya.

 

Selesai proses kemoterapi Hani mulai beraktifitas seperti orang lain pada umumnya. Namun, Hani harus tetap melakukan kontrol kesehatan.

 

Setelah menjalani lamanya proses pengobatan Hani, menyaksikan setiap kali Hani merasakan sakit dan melihat Hani dikemoterapi serta saat setelah pengangkatan bola mata Dewi merasakan sedih yang mendalam. Ia tidak kuasa menahan air mata hingga menangis mengingat masa-masa tersebut.  

 

“Sedih,” kata Dewi sambil menangis dan mengusap air mata.

 

Dewi harus menerima kenyataan bahwa anaknya kini juga seorang disabilitas karena harus kehilangan bola mata di bagian sebelah kiri. Kemudian Dewi banyak menemukan anak-anak penyintas kanker rata-rata putus sekolah dan tidak bisa lagi bersosialisasi dengan anak-anak lainnya.

 

“Saya berpikir kalau begini nanti masa depannya gimana,” ucapnya.

 

Dewi mengkhawatirkan masa depan Hani. Dewi berpikir, meski keadaan Hani seperti ini ia harus tetap bisa belajar mandiri. Dewi ingin Hani harus bisa bersosialisasi dengan baik agar ia tidak malu dan minder.

 

Hampir empat tahun berlalu, Hani kini sudah banyak mengukir prestasi. Sejak kelas satu SD (Sekolah Dasar) Hani sering mendapat juara 1. Hani juga semangat mengikuti lomba menggambar dan mewarnai dan memperoleh juara.

 

Hani merupakan anak memiliki sifat percaya diri tinggi. Ia sangat senang tampil di depan umum seperti menyanyi dan menari. Bahkan Hani sudah bisa bernyanyi lagu bahasa Inggris.

 

“Hani suka nyanyi lagu berjudul Meraih Bintang, Keluarga Cemara, Andai Aku Punya Sayap, Moana, dan We Are One,” kata Hani.

 

Selain itu, Hani kini sedang mengikuti kelas khusus untuk mengahafal Al-Quran.

 

“Hani sedang menghafal juz 30, 10 surat lagi selesai,” katanya.

 

Hani, mengatakan, ia semangat belajar karena ingin dapat juara. Hani memiliki cita-cita ingin menjadi seorang dokter.

 

Tujuan Dewi mengarahkan Hani untuk bisa berprestasi mendapatkan juara, berani tampil dan menjadi penghafal Al-Quran agar ia memiliki kelebihan untuk menutup kekurangan secara fisik.

 

“Tujuannya saya ingin ada kelebihan dalam diri Hani untuk menutupi kekurangannya,” kata Dewi.

 

Dewi berharap, kelak di masa yang akan datang Hani bisa hidup mandiri dan tidak bergantung dengan saudara-saudaranya.

 

Kemauan Hani mengikuti berbagai acara dan kegiatan membuat Dewi ikut semangat untuk mendukung Hani.

 

“Lihat dia semangat saya jadi ikut semangat juga,” ujarnya.

 

Dewi berharap Hani bisa menjadi inspirasi bagi penyintas Retinablastoma. Sikap dan semangat Hani menunjukkan bahwa ia tidak minder dengan takdir yang ia jalani bahkan mampu berprestasi.

Dewi berpesan kepada orangtua yang anaknya juga menjadi penyintas kanker agar jangan menunda-nunda proses pengobatan yang telah dianjurkan dokter. Terkhusus bagi penyintas retinoblastoma atau kanker mata. Sebab retinoblastoma memiliki penyebaran yang cepat.

“Saya sangat ingin bilang kepada orangtua jika ada kelainan pada mata anak jangan menunda untuk proses pengobatan karena penanganannya harus cepat agar anaknya bisa diselamatkan,” ucapnya.