Dinasti Politik Gerindra Riau, Pengamat: Kader Instan Tak Punya Mental Politik

Tito-Handoko.jpg
(Hasbullah)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pengamat politik Riau, Tito Handoko menyoroti dinasti politik yang terjadi dalam struktur partai Gerindra sehingga berhasil menempatkan sejumlah anggota keluarga di DPRD Riau.

Diakui Dosen Universitas Riau ini, tidak ada aturan yang dilanggar oleh Ketua DPD Gerindra Riau, Nurzahedy, namun secara etika politik itu tak bisa dibenarkan.

Karena, sejumlah politisi yang seharusnya bisa meraup suara banyak di Pemilu 2019 lalu menjadi terbuang karena partai sudah dikelola secara kekeluargaan.

Tito menjelaskan, partai boleh-boleh saja mengelola partai secara dinasti, namun anggota keluarga yang akan diorbitkan ini harus terlebih dahulu ditempa melalui sistem jenjang kader.

"Boleh saja sebenarnya, tapi harus mulai dari bawah. Sehingga kader punya kecukupan ideologi. Pendidikan politik berjenjang itu perlu. Kalau dipaksa orbit begitu dia tidak bisa mengkampanyekan visi misi partai, jadinya dia mengkampanyekan visi misi pribadi," kata Tito, Sabtu, 22 Februari 2020.

DPRD, sambung Tito, merupakan lembaga yang dalam pengambilan keputusan harus secara kolektif kolegial, sehingga kemampuan komunikasi politik seorang politisi sangat diperlukan.

Diakui Tito, sistem demokrasi di Indonesia memungkinkan partai mengorbitkan kader instan tanpa melalui jenjang kader. Meski ada partai yang menerapkan sistem jenjang, salah satunya PKS.

"Untuk pembelajaran politik, partai dinasti itu tak bagus, masyarakat akhirnya skeptis dengan politik, politik jadi tak dewasa, karena rekrutmen tak baik, akhirnya publik menganggap politik itu pragmatis," jelasnya.

Tak hanya itu, kesiapan mental anggota keluarga tersebut juga tidak terlatih menghadapi dinamika politik, dimana seorang politisi harus siap menghadapi goncangan dan gelombang kritik dengan bekal mental politik dan mental mengelola kekuasan.

Bekal mental politik ini akan melekat dalam diri Politisi kalau dia memang dilatih sejak dari tingkat ranting, cabang, hingga daerah, Tito yakin politisi seperti ini akan menjadi matang secara mental.

"Sebut saja anak Nurzahedy, Muhammad Aulia yang sekarang jadi anggota DPRD Riau, harusnya kan dia dikader dulu dari bawah, jadi dia matang secara pengalaman. Permasalahan politisi sekarang adalah mereka cenderung baper dan tipis telinga," tuturnya.


Ketua DPD Gerindra Riau, Nurzahedy beberapa waktu yang lalu sempat membantah dirinya memainkan politik dinasti, karena bukan dia yang menentukan anak dan adiknya menjadi anggota DPRD Riau.

"Yang memilih kan rakyat, bukan saya yang memilih. Mereka juga kampanye sendiri di dapilnya masing-masing," katanya.

Kampanye Pileg, ujar anggota DPR RI ini, ia serahkan sepenuhnya kepada caleg yang memiliki hubungan kekeluargaan dengan dia, dimana selain anak dan adiknya, ada juga beberapa nama keponakannya di struktur Caleg DPRD Kota Pekanbaru

"Gak ada itu (dinasti), mereka kampanye sendiri-sendiri di dapilnya supaya dipilih oleh rakyat," tegasnya.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP Gerindra, Ahmad Muzani tidak mempermasalahkan jika ketua partai Gerindra yang ada di daerah memainkan dinasti politik untuk mengangkat anggota keluarganya menjadi pejabat baik di eksekutif maupun legislatif.

"Partai politik itu adalah kekuatan yang mengharapkan dari rakyat, jadi siapa saja bisa. Artinya, Caleg dan Cabup pada akhirnya menjadi dirinya di depan rakyat, jadi bagaimana si calon itu menampilkan dirinya bahwa dia mampu dan dipilih oleh rakyat," kata Muzani di Pekanbaru, Jumat, 17 Januari 2020.

Hubungan darah, tambah Muzani, kadang-kadang menjadi faktor loyal atau tidaknya seorang kader kepada partainya.

"Di parpol itu diperlukan loyalitas, itu kadang makin bagus kalau ada hubungan darah, jadi tidak ada problem (dinasti). Yang penting rakyat memilih dan menetapkan dia," tambahnya.

Untuk diketahui, DPD Gerindra Riau dibawah kepemimpinan Nurzahedy berhasil mendudukkan dua orang anggota keluarganya di DPRD Riau pada Pemilu Legislatif 2019 lalu.

Dua orang tersebut ialah, anak Nurzahedy, Muhammad Aulia yang duduk menjadi anggota DPRD Riau Dapil Pekanbaru. Aulia sendiri merupakan pemain baru di perpolitikan Riau.

Meski baru di dunia politik, partai memberikan kepercayaan kepada Aulia untuk mendapatkan nomor urut 1, sekalipun ada caleg petahana yang juga Ketua Advokasi DPD Gerindra Riau, yakni Dr Taufik Arrakhman. Taufik merupakan legislator yang cukup vokal di DPRD Riau.

Bahkan di struktur caleg DPRD Riau Dapil Pekanbaru sendiri saat itu mengalami sedikit masalah, pasalnya Bacaleg Gerindra DPRD Riau dapil Pekanbaru, Said Usman Abdullah mengaku dipermainkan oleh DPD Gerindra melalui Ketua Penjaringan Bacaleg yang merupakan adik dari Ketua DPD Gerindra Riau, yakni Nurzafri.

Said Usman kala itu diminta berbagai syarat yang menurutnya sengaja dibuat-buat untuk menjegal ia maju di DPRD Riau, dimana ia diminta untuk pindah dapil ke Siak - Pelalawan dan ada permintaan yang tidak mungkin bisa di penuhi.

"Ini kan kelihatan bahwa ada ketakutan mereka dengan kehadiran saya, padahal kita kan sama-sama berjuang untuk mengangkat suara partai. Kalau mereka meminta saya pindah Dapil, itu kan secara tidak langsung ingin mencelakai karir politik saya, lebih baik saya pindah dari sekarang," kata Said saat itu.

Yang kedua, ada nama Nurzafri yang merupakan adik kandung Nurzahedy. Nurzafri juga diberikan nomor urut 1 untuk DPRD Riau dapil Kampar, sekalipun di dapil tersebut ada nama petahana Adriyan.

Nurzahedy sendiri merupakan ketua DPD Gerindra Riau sekaligus anggota DPR RI dapil Riau periode 2014-2019, ia kembali terpilih menjadi anggota DPR RI periode 2019-2024.

Sebagai informasi, meski merupakan partai Prabowo namun Gerindra tidak bisa memaksimalkan kesempatan ini di Pileg 2019, dimana hanya terjadi peningkatan suara yang sangat sedikit.

Sementara, partai koalisi Prabowo, PKS mendapatkan peningkatan suara yang mencapai 100 persen lebih. Dimana, PKS mendapatkan 7 kursi di DPRD Riau dari 3 kursi. Sedangkan di tingkat kabupaten kota terjadi peningkatan dari 26 menjadi 50 kursi.