Agnez Mo Memang "Tak Berdarah Indonesia" Kok, Salahnya Dimana?

Pernyataan-Agnez-Monica-atau-lebih-dikenal-sebagai-Agnez-Mo-jadi-viral-dan-menuai-kontroversi.jpg
((courtesy: Facebook Agnez Mo))

RIAU ONLINEJAKARTA-“Saya sebenarnya tidak punya darah Indonesia sama sekali. Saya sebenarnya campuran Jerman, Jepang, dan Chinese (Tiongkok.red). Saya hanya lahir di Indonesia. Saya juga beragama Kristen, di Indonesia mayoritas adalah Muslim. Saya tidak bilang bahwa saya tidak berasal dari sana, karena saya merasa diterima. Tetapi saya merasa tidak seperti yang lain.”

Demikian petikan pernyataan Agnez Monica, atau akrab dikenal sebagai Agnez Mo, dengan Build Series by Yahoo, yang viral di media sosial sejak hari Selasa (26/11) dan memicu kontroversi di tanah air. Mulai dari aktivis, netizen hingga sesama artis mengecam musisi berusia 33 tahun kelahiran Jakarta itu. Meskipun demikian tidak sedikit juga yang mendukungnya, bahkan tidak meragukan nasionalisme Agnez.

Siapa Sebenarnya yang Disebut Orang Indonesia?

Lepas dari kontroversi itu, menarik untuk mengungkap siapa sebenarnya yang disebut orang Indonesia? Apakah semata-mata dilihat dari keturunan, asal usul, pola migrasi hingga relasi kawin yang dapat diketahui dari data genetik DNA? Atau dari unsur non-genetik, seperti sejarah, etnografi, arkeologi, paparan lingkungan dan sebagainya.

Menurut Prof. Herawati Soepolo PhD, periset di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, yang kini kerap dipertanyakan adalah seberapa Indonesia seorang warga Indonesia?

‘’Jika melihat dari pernyataan Agnez yang mengatakan ia memiliki campuran darah Tionghoa, Jepang dan Jerman, jelas memang kebetulan nenek moyang dia tidak ada yang misalnya berasal dari Jawa atau Sumatera atau Sulawesi… Tidak ada yang salah dengan pernyataan itu karena sebelumnya sudah ada pernyataan bahwa ia berasal dari Indonesia yang sangat beragam dan betapa ia memang minoritas tetapi merasa diterima, meskipun ia merasa tidak seperti yang lain,’’ kata Herawati.


Hasil Analisa Tunjukkan Empat Pola Migrasi Yang Ikut Bentuk Sosok Orang Indonesia


Lebih jauh Prof. Herawati menjelaskan betapa dari hasil analisa atas data genetik DNA sekitar tiga ribu orang Indonesia dari 13 pulau dan 80 komunitas, lalu membandingkannya dengan data non-genetik, tim di Eijkman selama beberapa tahun, akhirnya dapat menentukan sejarah keberadaan orang di 13 pulau besar di Indonesia, mulai dari waktu kedatangan, pola migrasi hingga relasi kawin.

‘’Saya khan mempelajari apa yang disebut manusia Indonesia karena kita berbeda, kita negara kepulauan, negara maritim. Dulu, dengan sulitnya transportasi dan terisolasinya pulau-pulau dulu, membuat orang-orang yang berada di sana lebih nyaman tinggal di pulau mereka saja dan tidak pernah kemana-mana. Indonesia sendiri setelah diperiksa dengan DNA yang diturunkan dari ibu – yang berarti migrasi perempuan, dan DNA yang hanya diturunkan laki-laki kepada anak laki-lakinya – berarti migrasi laki-laki; menyatakan bahwa ada gelombang migrasi pertama ke kepulauan nusantara sekitar 50-60 ribu tahun lalu yang berasal dari Afrika, melalui dua rute : India Selatan dan sebagainya ke paparan Sunda karena Jawa-Kalimantan-Sulawesi masih jadi satu, dan rute lainnya lewat ke Nusa Tenggara hingga ke Australia. Gelombang migrasi kedua sekitar 30-10 ribu tahun lalu datang dari Asia Tenggara Daratan, yang waktu itu masih jadi satu. Gelombang migrasi ketiga dari Taiwan, turun dari Tiongkok Daratan ke Filipina hingga ke nusantara dan masuk ke Madagaskar, Polinesia, dll dan membawa bahasa yang sekarang kita pakai. Gelombang migrasi terakhir adalah jaman sejarah, yaitu bagaimana pedagang-pedagang itu memberi kontribusi genetiknya kepada manusia Indonesia. Jadi apa “isi” orang Indonesia? Apakah kita hanya berasal dari satu gelombang migrasi saja, sehingga bisa mengatakan saya “murni” Cina Daratan, atau apa. Ternyata dari teknologi terbaru tidak demikian adanya,’’ ungkapnya.


Prof. Herawati Soepolo PhD. yang baru-baru ini mengadakan pameran ‘’Asal Usul Orang Indonesia’’ di Jakarta, mengatakan teknologi terbaru untuk mengetahui asal usul sesungguhnya itu tidak saja diperlukan untuk mempelajari struktur populasi di Indonesia, tetapi juga mempelajari pola penanganan penyakit.

‘’Struktur populasi di Indonesia diperlukan untuk penanganan penyakit. Lembaga Biologi Molekuler Eijkman khan memang bekerja dalam bidang kedoktera, jadi akhirnya memang ke soal itu. Kemudian menarik orang karena mereka jadi sadar dengan apa yang dimiliki,’’ ujar Herawati.

Orang Indonesia yang Asal Usulnya Beragam, Ternyata Sejak Awal Toleran

Yang menarik juga, ujar Hera, penelitian itu membuktikan bahwa orang Indonesia yang asal usulnya beragam itu sejak awal merupakan sosok yang toleran.

“Pertanyaannya khan apakah mereka yang datang ke suatu pulau, lalu menggeser kelompok yang sudah lama ada, menimbulkan pertentangan, perpecahan dan perang? Ternyata tidak. Yang terjadi dan terbukti justru pembauran, peningkatan rasa toleran. Mereka justru kawin dan salign beradaptasi. [Tetapi mengapa kini hal itu tidak terjadi dan muncul rasa intoleransi?] Itu jelas karena lingkungan. [Bukan genetikanya?] Sampai sekarang tidak ada bukti tentang itu. Semuanya dilahirkan murni, tetapi tergantung dari tempatnya. [Seperti anak baru lahir yang diibaratkan sebagai kertas putih ya Bu, tergantung bagaimana orang tua ingin mewarnainya?] Betul. Orang tua dalam konteks ini adalah lingkungannya.’’

 

Agnez Mo sendiri lewat Instagram menyesalkan pemotongan wawancara berdurasi 27 menit itu.

“Why don’t you cut and edit this part? Shame on people who only want to spread hatred by twisting my words and my intention. All I said were good things, that even when I’m a MINORITY, I got to share this amazing diversity that I learn in my country. I have always shared that in ALL my interviews (national and international). I can’t choose my blood or my DNA, but I always STAND for…”

Artikel ini sudah terbit di VOA Indonesia