Diterpa Krisis Ekonomi hingga Demam Akik, Adelia Art Besar Berkat Jasa Ekspedisi

Ilustrasi-Uang.jpg
(fajar.co.id)


RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pengalaman berpuluh tahun mengenal salah satu penyedia jasa penyelenggara logistik tak dapat dipisahkan dari salah satu pengrajin yang dimiliki oleh masyarakat Riau, Delva Dellila.

Bahkan crafter ini menganggap, tanpa kehadiran jasa ekspedisi, usahanya bukan apa-apa. Sejak 12 tahun yang lalu dirinya merintis usaha kerajinan tangan yang kini dijadikan sebagai salah satu penopang ekonomi keluarganya. Berbagai pameran dalam dan luar negeri pernah dijajalnya.

Dari omzet ratusan juta rupiah per tahun sampai terpuruk kandas akibat krisis ekonomi merambat hingga ke Kota Pekanbaru juga tak membuat Delva serta merta melupakan bantuan jasa ekspedisi.

Baginya, usahanya tanpa bantuan penyelenggara logistik bagai sayuran tanpa garam, bagai canda tanpa tawa, bahkan bagai burung tanpa sayap.

"Dari susahnya memulai usaha, sampai seperti ini saya sudah menagenal lama dengan kawan-kawan ekspedisi," kata pemilik kerajinan Adelia Art Handmade Accessories di rumahnya itu.

Gambar mungkin berisi: 2 orang, orang dudukRIAUONLINE.CO.ID/AZHAR SAPUTRA

Dua keping gelang bundar berwarna emas yang melingkar di pergelangan tangan kanannya turut menjadi pendengar yang baik dari ucapannya. Sambil duduk di ruang tamu, kursi kayu yang dilengkapi dengan balutan bahan empuk ditutup kain dengan corak garis merah yang saat itu menjadi alas duduknya turut menjadi saksi mati bahwa Delva tak bisa lepas dari jasa ekspedisi.

Gambar mungkin berisi: satu orang atau lebih dan orang dudukRIAUONLINE.CO.ID/AZHARSAPUTRA

Betapa tidak, bahan baku yang menjadi tumpuan usahanya 100 persen didatangkan langsung dari luar Pulau Sumatera. Sebut saja Pasar Tanah Abang, kemudian ada lagi Kota Surabaya, bahkan langsung didatangkan dari sumbernya yang berasal dari Pulau Kalimantan.

"Jika tidak seperti itu, mau dijual berapa harga kalung, bros, anting-anting itu? Mau beli bahan baku di sini (Pekanbaru)? Selisih harganya berlipat-lipat. Bahkan bisa sampai 150 persen," ucapnya seraya tersenyum kecil.

Meja persegi empat dihiasi dengan hewan air kecil seperti bintang laut, siput bercangkang yang berada di balik kaca meja ruang tamu dipandanginya. Tak lama kemudian, percakapan dimulai dari ide awal berwirausaha hingga dirinya sudah dikenal dari kalangan para pecinta seni crafter se-nusantara. Semuanya berawal dari sebuah sumber ilmu yang disebut buku.

 

Secara autodidak dengan memanfaatkan buku-buku bermutu yang beredar melalui salah satu persusahaan perdagangan yang berkedudukan di Amerika Serikat, Amazone. Menjadi salah satu cikal bakal dirinya mengenal dan akrab dengan jasa ekspedisi. Karena saat itu, tidak banyak cara yang dilakukan untuk mendalami hobinya itu,


"Awalnya jadi crafter, belajar dari buku yang langsung beli dari Amazon. Sampai sekarang juga masih pakai buku dari Amazon. Bukunya singgah dan transit dulu di Jakarta. Dan teman yang ada di sana kirim sampai ke sini (Pekanbaru) tanpa ambil imbalan," jelasnya.

Memiliki kemampuan sebagai crafter sejak duduk di bangku SMA, Delva mengembangkan diri dengan buku-buku barunya itu. Hingga media sosial, Facebook mulai dikenal di Pekanbaru pada 2007, wanita berhijab ini untuk pertama kalinya memberanikan diri berjualan secara online.

Perlahan tapi pasti, sejak saat itu bahan baku yang didatangkan dari provinsi tetangga melalui jasa ekspedisi, tiga kali selama dua bulan berturut-turut bergantian pulang pergi ke bengkel sederhana yang beralamatkan di Jalan Dewi 3 nomor 6 Komplek Marsan Sejahtera Kelurahan Sidomulyo Barat Kecamatan Tampan, Pekanbaru, bahkan bisa lebih. Serta turut membanjiri rumah pribadi yang berlainan tempat namun dengan kota yang sama.

Agar penghasilan semakin bertambah, semua seni kerajinan tangan juga turut dicobanya. Mulai kerajinan yang berasal dari kain flanel, gantungan kunci, tempat tisu, beralih kemudian ke kerajinan dengan bahan baku kawat, bebatuan sampai kristal tak luput dari kreatifitasnya.

Hingga tahun 2017, keuntungan yang berhasil diraupnya berada di kisaran Rp 50 - Rp 70 juta. Namun angka itu masih berada jauh di bawah saat dirinya perdana merintis usaha. Delva mengaku, transaksi senilai Rp 500 ribu per orangnya kerap terjadi di masa itu.

"Kalau dulunya, kita kan jualan hanya online. Narik uang satu orang Rp 500 ribu saja itu gampang. Mulai masuk di tahun 2009 mulai terasa dikit berkurang. Tahun 2010 terasa dikit lagi. Tahun 2011 agak banyak terasa. Kalau mau dikatakan, dapat satu orang belanja Rp 200 ribu saja itu sudah hebat," katanya.

Menurutnya, turunnya pemasukan merupakan imbas dari naiknya harga bahan baku. Seperti, bahan baku kristal yang naik hingga 100 persen. Misalnya kristal Cheko, setiap 72 bijinya (1 untai kalung) yang biasanya dihargai Rp 6 ribu melejit naik menjadi Rp 12 ribu.

"Memang seperti itu perbedaannya sebelum dan sesudah zaman krisis moneter (krismon). Bedanya lagi kalau zaman awalnya merintis usaha. Jika kita mau keep barang, mereka (pemasok) memberikan tenggang waktu pelunasan bisa mencapai 2 bulan lamanya loh. Itu tagihan kita mungkin bisa mencapai Rp 2 - Rp 3 jutaan. Tapi setelah krismon, itu sudah tidak berlaku lagi. Saat ini yang berlaku itu ada barang ada uang," ucapnya kembali.

Untuk mengembalikan pelanggannya yang perlahan mulai menghilang, Delva menyiasatinya dengan cara mengkombinasikan kristal yang bagus dengan harga kristal yang lebih terjangkau. Jika dirinya hendak membuat kalung menggunakan bahan miyuki bits (nama kristal) yang berharga Rp 90 ribu untuk setiap ons nya, maka dicampurkannyalah bahan baku itu dengan kristal yang harganya jauh berada di bawah agar lebih terjangkau di kalangan masyarakat. Sampai saat ini.

Peminatnya tak tanggung-tanggung. Kebanyakan berasal dari luar Pulau Sumatera. Seperti Jawa, Kalimantan sampai Sulawesi. Lama berkata-kata, menjadikan matahari di siang itu berangsur turun sedikit demi sedikit agak condong ke barat. Percakapan berubah ke arah jasa ekspedisi yang pertama kali membantunya. Hanya beberapa jasa penyelenggara logistik saat itu Pos Indonesia, Tiki dan JNE.

Delva hanya memilih Tiki dan JNE. Alasannya singkat, karena Pos saat itu tidak menyediakannya tabel daftar harga. Saat itu, tidak memungkinkan bagi wanita itu untuk bolak balik kantor pos untuk menanyakan harga untuk melakukan pengiriman ke wilayah satu hingga lainnya. Sementara pekerjaannya sebagai crafter harus terus dilakoni.

"Awal pesanan saya cuma pakai ekspedisi JNE dan Tiki. Kalau Pos belum bisa seperti itu. Sama kurirnya dulu dikasih daftar dalam bentuk foto copy. Di sana tinggal kita lihat. Konsumen nanya harga berapa, kita bisa langsung tanya alamat dan cek ongkir. Nah yang seperti itu Pos belum bisa," jelasnya.

Memasuki tahun 2006-2007 pesanan semakin hari mulai berdatangan. Termasuk kehadiran dari jasa ekspedisi lainnya di Pekanbaru. Namun, Ibu yang memiliki anak yang tengah bersekolah di tingkat sekolah dasar itu tidak memilih penyedia jasa yang baru tumbuh itu. Alasannya, saat itu pelayanan jasa ekspedisi lain tidak sebaik pelayanan yang diberikan oleh JNE dan Tiki.

"Yang bersahabat itu cuma JNE dengan Tiki. kalau Pos itu saya jarang pakai. Kecewanya itu seperti sudah sampai buka website untuk mau tahu harga, eh sampai di kantornya harganya malah beda lagi. Makanya males. Sebisa mungkin tidak. Walaupun Pos lebih irit," tambahnya.

Di sela-sela perbincangan, Delva meminta sang buah hati yang tengah asyik duduk di ruang tengah. Kakak, begitu ia memanggilnya. Tak lama kemudian si Kakak pergi lalu kembali dengan membawa dua cangkir minuman es yang menyegarkan. Kami pun mencicipinya sambil melanjutkan percakapan.

Meski sudah lama mengenal jasa ekspedisi, bukan berarti dirinya tidak pernah dikecewakan. Walaupun hasilnya ada penggantian barang yang telah lenyap. Delva masih mengingatnya dengan baik hingga hari ini.

"JNE juga pernah mengecewakan. Zaman boming-bomingnya batu akik itu dua kali pesanan saya dibobol. Paket itu masih sampai ke JNE sini. Tapi sudah dibuka. Yang diambil itu batu akiknya. Padahal selain batu, ada dua kumparan kawat yang harganya pada saat itu mencapai Rp 500 ribuan. Kalau kata JNE nya itu ulah orang mereka sama petugas bandara," jelasnya.

Penyelesaianya, sang pengirim dan dirinya sama-sama memberikan data dan permintaan penggantian. Lalu dihubungi oleh petugas. Karena dirinya yang melakukan pemesanan, sang pengirim lalu membuat klaim atas kejadian tersebut. Hasilnya, JNE mengganti barang senilai dengan harga paketan dalam bentuk uang ditambah beberapa butir batu akik beda jenis sebagai permintaan maaf dengan lama penggantian selama satu pekan.

Sementara itu pada kesempatan yang berbeda, Wakil Kepala Cabang JNE Pekanbaru, Zulheri Adha mengatakan bahwa pesanan barang Delva yang sempat hilang tersebut telah dilengkapi dengan biaya asuransi. Itu sebabnya, penggantian barang dapat dengan cepat dilakukan setara dengan barang yang telah lenyap.

Jika pengiriman tidak dilengkapi dengan asuransi kesepakatan yang telah disetujui bersama dengan pemerintah bahwa penggantian hanya dilakukan senilai dengan 10 kali ongkos pengiriman.

"Telah disepakati bersama bahwa jika ada kehilangan, kami hanya menggantikan 10 kali dari ongkos kirim. Berapa pun nilai barangnya. Tapi jika menggunakan asuransi, maka barang akan diganti senilai dengan harga barang tersebut. Jujur bahwa kami sering mendapatkan komplain seperti itu. Logikanya, kalau memang kami yang menghilangkan barang, hilang pula lah pelanggan kami," katanya, Jumat, 12 Oktober 2018.

Zulheri mengakui dalam memasang tarif biaya pengiriman, JNE hanya membebani biaya senilai dengan biaya pemindahan. Semua sudah termasuk biaya penyortiran, sewa gudang di bandara sampai biaya pengiriman melalui pesawat.

"Karena JNE itu kan masih dominanya menggunakan pengiriman melalui udara. Jadi biaya yang dikeluarkan oleh konsumen itu sudah termasuk sampai barang diterima," tutupnya.