RIAU ONLINE, PEKANBARU - Di jantung Riau yang hijau, Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN), Kabupaten Pelalawan, masih berdiri sebagai satu dari sedikit benteng terakhir bagi gajah-gajah Sumatra. Tapi rumah itu kini kian terdesak. Hutan yang semestinya menjadi surga bagi Domang dan Tari, dua anak gajah jinak, yang menjadi simbol konservasi di sana, perlahan berubah wajah. Perambahan yang kian masif terus menekan ruang hidup mereka.
Domang dan Tari bukan sekadar hewan, mereka adalah duta konservasi. Sejak kecil dilatih untuk berinteraksi dengan manusia, keduanya kerap dilibatkan dalam patroli penggembalaan gajah liar atau menyambut tamu dan peneliti yang datang. Tapi kedamaian di sekitar mereka tidak lagi utuh.
Berdasarkan data Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (PKH), Tesso Nilo, yang luasnya dulu mencapai 81.000 hektare, kini hanya tersisa 16.000 hektare. Kawasan konservasi porak-poranda oleh alih fungsi lahan. Hutan alam berubah menjadi kebun sawit ilegal.
Jalur jelajah gajah terputus. Bahkan, di beberapa wilayah, gajah liar masuk ke perkampungan karena kehilangan arah dan sumber pakan.
Ironisnya, sawit-sawit ilegal ini telah menjadi sumber penghidupan utama ribuan kepala keluarga yang kini bermukim di kawasan TNTN.
Upaya penertiban dan rencana relokasi masyarakat dari kawasan TNTN menuai penolakan. Ribuan orang yang mengaku telah tinggal dan mengelola lahan di dalam kawasan TNTN sejak puluhan tahun lalu menggelar aksi unjuk rasa di Kantor Gubernur Riau pada 18 Juni 2025. Mereka menolak relokasi dan menuntut legalitas atas lahan yang mereka kelola.
"Kami bukan perambah, kami rakyat kecil yang mencari nafkah. Jangan tiba-tiba kami dipaksa pergi tanpa solusi. Kalau memang salah, mari cari jalan keluar bersama, bukan diusir,” teriak massa.
Sementara itu, Ahmad Zazali, Pendiri dan mantan Pengawas Yayasan TNTN yang kini juga menjabat Ketua Pusat Hukum dan Resolusi Konflik (Puraka), menyebut TNTN sejak awal telah dibayangi konflik tenurial yang kompleks yang belum kunjung selesai.
“Secara umum, sebelum ditetapkan jadi TNTN pada 2004, dalam kawasan Tesso Nilo telah ada klaim hak ulayat dari Suku Petalangan dan beragam izin perusahaan HPH dan HTI,” ungkapnya, Sabtu, 21 Juni 2025.
Ahmad Zazali menjelaskan, sebelum TNTN ditetapkan, kawasan hutan ini sudah memiliki jalan koridor perusahaan yang kemudian digunakan sebagai akses masuknya para pelaku penebangan liar ke dalam hutan.
Menurutnya, masuknya pihak-pihak yang membuka kebun sawit dalam kawasan TNTN juga tidak bisa dilepaskan dari hubungan antara masyarakat adat dan pemilik modal. Seperti pemberian hibah dan kuasa pemanfaatan/menggarap lahan dari Batin Suku Petalangan atas dasar klaim hak ulayat yang mereka miliki.
Terdapat banyak bukti berupa surat yang menunjukkan adanya hibah dan kuasa penggarapan lahan tersebut. Namun, surat hibah atau kuasa ini diduga hanya modus untuk jual beli lahan terselubung.
“Surat hibah atau kuasa ini diduga hanya modus, yang sebenarnya terjadi adalah jual beli lahan,” katanya.
Selain itu, Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) juga telah mengeluarkan warkah adat untuk mendukung pelestarian kawasan dan mengecam keterlibatan tokoh adat dalam aktivitas ilegal.
"Tesso Nilo bukan hanya paru-paru Riau dan rumah bagi gajah dan satwa lainnya di Sumatera, tapi juga ruang hidup masyarakat adat. Maka pendekatan polemik penerbitan kawasan hutan TNTN harus adil," ujarnya, Jumat, 20 Juni 2025.
Terbaru, Polda Riau mengamankan seorang tokoh adat berinisial JS atas dugaan jual beli-lahan secara ilegal di kawasan Tesso Nilo.
Kapolda Riau Irjen Pol Herry Heryawan mengungkap bahwa pelaku berinisial JS, diduga menjual kawasan konservasi kepada lebih dari 100 orang, dengan dalih memiliki hak ulayat seluas 113.000 hektare.
"JS ini memanfaatkan klaim sebagai batin adat untuk menjual kawasan konservasi. Ini bukan hanya pelanggaran hukum, tetapi juga kejahatan terhadap masa depan lingkungan dan generasi mendatang," tegas Irjen Herry, Senin, 23 Juni 2025.
Sementara itu, Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Riau, Kombes Pol Ade Kuncoro Ridwan, mengimbau masyarakat adat agar tidak terlibat dalam praktik manipulasi adat demi keuntungan pribadi.
"Saya imbau kepada para tokoh masyarakat dan adat, jangan memanipulasi simbol adat kita demi kepentingan pribadi. Itu bentuk pengkhianatan, bukan hanya terhadap hukum, tapi juga terhadap budaya dan generasi penerus kita," ujar Kombes Ade.
Menurut Ade, Tesso Nilo bukan sekadar kawasan hutan, melainkan paru-paru dunia dan habitat penting bagi satwa endemik seperti gajah Sumatera, yang populasinya terus terdesak akibat perambahan dan perburuan liar.
Di hutan ini, Domang dan Tari hidup bersama keluarganya. Di antara sisa hutan dan bayang-bayang kebun sawit, Domang dan Tari berdiri sebagai simbol perlawanan dan pengingat, bahwa alam juga punya batas sabar.