Walhi Riau Minta Pemerintah Tegaskan Sanksi Pengusaha Sawit di TNTN Sesuai UU

TNTN-Pelalawan3.jpg
(Foto: Instagram/@btn_tessonilo via kumparan)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau meminta pemerintah menegaskan sanksi hukum berdasarkan undang-undang (UU) yang berlaku, terhadap perambah hutan dan pengusaha perkebunan kelapa sawit di kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN).

Direktur Eksekutif Walhi Riau, Evan Sembiring mengatakan, Walhi menilai rencana pemulihan TNTN selama ini, dengan program revitalisasi Tesso Nilo dirusak oleh ketentuan UU Cipta Kerja.

Berdasarkan ketentuan Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja telah menghapus pertanggungjawaban pidana aktivitas perkebunan di kawasan hutan yang sudah dimulai sebelum November 2020. Hal ini memperparah penguasaan kawasan hutan untuk kebun sawit dan memberikan kebebasan pada para pelaku kejahatan kehutanan dalam melanjutkan aktivitas ilegalnya. 

"Tetapi, seharusnya UU CK itu berlaku untuk pembukaan lahan kebun sebelum November 2020. Nah, sekarang bagaimana dengan komitmen pemerintah untuk pembukaan lahan hutan setelah tahun 2020? Harusnyakan setelah November 2020, tidak ada pembukaan lahan lagi," ujarnya, Rabu 25 Juni 2025.

Ia menjelaskan, pemerintah harus memulai penegakan hukum yang tegas untuk oknum-oknum yang membuka lahan, terutama pasca UU CK terbit, yakni setelah November 2020.

"Cek saja berapa luas perkebunan sawit atau perkebunan lainnya yang dibuka diatas tahun 2020. Kalau mau tegas, skemanya sudah ada. Pemberian jangka benah (periode waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki struktur dan fungsi ekologis hutan yang terganggu akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit monokultur) atau perampasan," jelasnya.

Ia menegaskan, penegakan hukum terutama harus dimulai dari korporasi maupun cukong besar yang tentunya berkontribusi paling besar dalam pengrusakan kawasan TNTN dan mengubahnya menjadi lahan sawit. 

"Kalau mulai dari masyarakat kecil itu bukan hal luar biasa. Kami tegaskan agar (penindakan hukum) mulai dari perusahaan-perusahaan. Penertiban ini harus berjalan dengan rasa keadilan juga," jelasnya.

Sementara itu, Manajer Pengorganisasian dan Akselerasi Wilayah Kelola Rakyat WALHI Riau, Eko Yunanda menyebut penertiban dalam kawasan TNTN harus dilakukan dengan dua semangat penting: menghormati HAM dan berorientasi pada pemulihan lingkungan hidup.


Namun, upaya penertiban kawasan hutan oleh Tim Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) di TNTN terkesan sembrono dan tidak didasarkan pada perencanaan pemulihan. 

Satgas PKH pada 10 Juni 2025 menyampaikan perintah kepada seluruh masyarakat untuk relokasi secara mandiri dari kawasan TNTN. Proses relokasi ini dikabarkan paling lambat dilakukan pada 22 Agustus 2025. 

Dikhawatirkan, kebijakan ini hanya menimbulkan letusan konflik besar, apabila Satgas PKH atas nama negara melakukan tindakan penertiban dengan pendekatan militeristik dan represif.

"Relokasi ini bukan sekedar persoalan pindah rumah, masyarakat harus memastikan pekerjaan pengganti untuk memenuhi kebutuhan hidup hingga kelanjutan pendidikan anak mereka yang berpotensi putus sekolah. Guna menyelamatkan hutan alam tersisa di TNTN, pemerintah di berbagai level harus memastikan komitmen pengawasannya, mendorong masyarakat terlibat aktif dalam upaya perlindungan yang selaras dengan aspek ekonomi berpotensi meningkatkan partisipasi untuk melindungi hutan alam tersisa, termasuk pemulihannya," jelasnya. 

Direktur YLBHI-LBH Pekanbaru, Andri Alatas dalam pandangannya menyebutkan penertiban di kawasan TNTN harus dilakukan selaras dengan upaya penyelesaian konflik dan pemulihan hak masyarakat.

Selanjutnya, proses ini harus dengan tegas memperhatikan beberapa kluster kelompok berdasarkan luas penguasaan. Beberapa kelompok yang harus di kluster, yaitu: 

1. Masyarakat yang menguasai kurang dari 5 hektar dan telah melakukan aktivitas lebih dari 5 tahun secara terus menerus (memperhatikan Peraturan Pemerintah 24 Tahun 2021);(memperhatikan ketentuan Pasal 110B ayat (2) UU 18/2013 sebagaimana diubah oleh UU No 6 tahun 2023 tentang Cipta Kerja).

2. Masyarakat atau perusahaan yang menguasai lebih dari 25 hektar (memperhatikan Permentan No 98 Tahun 2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan).

3. Masyarakat yang menguasai lahan antara 5-25 hektar (butuh identifikasi lebih lanjut apakah dapat dimasukkan ke kelompok pertama atau kedua). 

"Ada masyarakat yang dibiarkan negara untuk menetap, beraktivitas ekonomi, dan melakukan aktivitas sosial lainnya di lokasi tersebut selama belasan tahun. Adanya desa definitif dan sarana prasarana menunjukkan besarnya peran negara membiarkan atau bahkan mengakselerasi penguasaan dan aktivitas ilegal di sana. Kesalahan dengan melakukan aktivitas pembiaran ini tidak boleh diulang dengan tindakan represif dan militeristik," jelas Andri. 

Andri juga menegaskan, penegakan hukum kepada pemodal yang mempunyai areal perkebunan besar harus diutamakan. Hukum harus dikerjakan secara selektif dan tidak dengan mudahnya menyasar mereka yang lemah.