(Istimewa)
Kamis, 12 Juni 2025 11:50 WIB
Editor: Yola Ristania Vidiani
(Istimewa)
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Tamparan keras datang dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI untuk Pemerintah Provinsi (Pemprov) Riau. Setelah 13 tahun berturut-turut mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), laporan keuangan Pemprov Riau tahun anggaran 2024 hanya diganjar predikat Wajar Dengan Pengecualian (WDP).
Dirjen BPK RI, Nelson Ambarita, dalam penyampaian laporan di DPRD Riau, adanya adanya temuan signifikan, yang berdampak terhadap ketekoran kas daerah, multiplier efeknya terjadi tunda bayar, tunda salur dan tunggakan pajak oleh Pemprov Riau pada 2024. Hal ini tentu juga berdampak terhadap postur APBD 2025 yang harus menanggung beban.
"Ada temuan penganggaran penerimaan daerah tidak rasional, pengendalian belanja dan pengelolaan utang tidak memadai, sehingga terjadi defisit 1.76 Triliun, akibatnya tidak bisa menyelesaikan beban realisasi belanja serta turut membebani anggaran tahun berikutnya" ungkap Nelson saat menyampaikan paparan di Kantor DPRD Riau, Jalan Jenderal Sudirman, Pekanbaru, Senin, 2 Juni 2025 lalu.
Gubernur Riau Abdul Wahid langsung merespons dengan membentuk tim khusus untuk menyelesaikan 153 temuan BPK.
"Ada lebih kurang 153 temuan, dari sisi kinerja ada 93 sampai 100 temuan, dari sisi kepatuhan lebih kurang 90 juga, kita akan tuntaskan dalam dua bulan ini, saya sudah bentuk tim, agar tidak ada persoalan hukum di kemudian hari," ungkap Wahid kepada awak media saat menghadiri penyelenggaraan kurban di salah satu lokasi di Pekanbaru beberapa waktu lalu.
Sejak menjabat Gubernur Riau pada 20 Februari 2025, Abdul Wahid menghadapi kenyataan kondisi defisit dan tata kelola keuangan yang bermasalah. Bahkan pernyataan Abdul Wahid saat Rembug RPJMD sempat viral.
“Pusing tujuh keliling, kegiatan tahun 2025 nol, masyarakat Riau menanggung dampak tidak adanya pembangunan," curhat Wahid.
Meski begitu, Abdul Wahid berkomitmen akan menyelesaikan persoalan keuangan tahun 2025, agar program kembali berjalan pada 2026.
Namun publik tentu bertanya-tanya, 13 tahun Provinsi Riau berturut-turut menerima penilaian WTP dari BPK RI, menunjukkan tata kelola keuangan dan Pemprov Riau sangat baik dan stabil, SDM aparatur terlihat semakin membaik, seketika runtuh karena laporan APBD tahun 2024 diganjar penilaian WDP, laporan keuangan tidak rasional, tidak mengikuti Standar Administrasi Pemerintahan (SAP)
Baca Juga
Publik menduga ada aktor intelektual yang berperan. Diduga, ada unsur kesengajaan pada kekacauan tata kelola keuangan Provinsi Riau. Ada dugaan pihak-pihak terlibat dalam menyusun APBD 2024 menerima manfaat alias menerima keuntungan. Meski begitu, dugaan ini harus dibuktikan secara hukum.
Dugaan ini diperkuat dengan adanya kesaksian salah satu rekanan atau pihak ketiga yang tidak mau disebutkan namanya. Ia mengaku juga mengalami tunda bayar. Anehnya, ada Surat Perintah Membayar (SPM) yang diterbitkan pada Oktober dan November tidak dicairkan, sementara SPM yang terbit di Desember 2024 dicairkan.
"Saya yakin itu benar, kita tunggu audit BPK mengungkap kebenaran itu, soal ada istilah SPM tua dan SPM muda ini sudah lama tersiar, bukan rahasia umum, ada pejabat yang berperan besar dalam situasi ini, paket proyek yang dia kendalikan semuanya dicairkan, kita yang kecil-kecil ini jadi korban," ungkap rekanan yang tidak mau disebutkan namanya ini
Sementara itu, Pengamat Ekonomi yang juga dosen salah satu kampus di Riau, Romagia saat dimintai tanggapan, mengatakan turut prihatin dengan penilaian WDP yang diberikan BPK RI kepada Provinsi Riau.
"Cukup memprihatinkan, 13 tahun berturut-turut WTP, sekarang wajar dengan pengecualian, artinya ada persoalan serius pada tata kelola pemerintahan dan tata kelola keuangan pemerintah provinsi," pungkas dosen ini saat dijumpai Rabu, 11 Juni 2025 sore di salah satu kesempatan di Pekanbaru.
Lebih lanjut, Romagia menilai wajar jika ada suara-suara publik yang meminta aparat penegak hukum mengusut temuan-temuan BPK RI
"Saya kira wajar ya kalau ada suara-suara publik meminta untuk diusut temuan BPK RI ini, praduga selalu ada, tentu mengutamakan prasangka positif, bisa jadi benar karena ada salah perencanaan proyeksi pendapatan, sehingga perencanaan pada belanja dan realisasi belanja juga jadi ikut salah," jelas Romagia lagi.
Dikatakan Romagia, multiplier efeknya pasti terjadi pada 2025. Otomatis pembangunan tidak berjalan, berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi, uang tidak beredar di masyarakat, pertumbuhan ekonomi di Riau masih sangat bergantung pada APBD.
Jauh sebelum hasil audit BPK RI ini keluar, Pengamat Anggaran mantan Koordinator Fitra Riau, Triono Hadi, pernah mengungkapkan pandangannya terhadap defisit yang dialami Riau.
Menurut Triono, secara regulasi seharusnya pengeluaran yang melebihi anggaran tidak terjadi jika pengendalian keuangan berjalan sesuai ketentuan. Hal itu telah diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 12 Tahun 2019 yang melarang pengeluaran atas beban APBD jika anggaran tidak tersedia atau tidak cukup.
“Setiap kegiatan pemerintah daerah harus berdasarkan Surat Penyediaan Dana (SPD). Jika defisit sudah terdeteksi lebih awal, bagaimana SPD bisa tetap dikeluarkan untuk seluruh kegiatan?” ujarnya mempertanyakan, yang dimuat media Bertuahpos pada Maret 2025 lalu.
Triono juga menekankan pentingnya audit mendalam terhadap pengeluaran tahun 2024, khususnya terhadap kegiatan yang belum dibayarkan. Realisasi belanja barang dan jasa yang mencapai Rp3 triliun serta tunda bayar senilai Rp915 miliar di 34 Organisasi Perangkat Daerah (OPD) patut dikaji ulang oleh pengawas internal maupun eksternal seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Triono menyarankan agar Gubernur Riau segera melakukan evaluasi terhadap pejabat yang berwenang dalam pengelolaan keuangan daerah. Langkah ini penting sebagai bentuk tanggung jawab sekaligus antisipasi agar krisis serupa tidak terulang di masa mendatang.