Siswa SD Tewas Dirundung, Keluarga Kecewa dengan Sikap Polisi

Siswa-SD-Tewas-Dirundung-Keluarga-Kecewa-dengan-Sikap-Polisi.jpg
(Defri Candra/Riau Online)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Keluarga dari Siswa SD, KB (8) korban dugaan penganiayaan dan perundungan oleh kakak kelasnya di Sekolah Dasar di Kabupaten Indragiri Hulu (Inhu), Viator dan Gimson Butarbutar, mengaku kecewa dengan pernyataan pihak Polda Riau.

Dalam konferensi pers di sebuah hotel di Pekanbaru, Viator didampingi ayah korban, Gimson membantah tuduhan bahwa mereka lalai dalam merawat anak mereka dan menegaskan bahwa apa yang disampaikan Polda Riau bukan menenangkan tapi malah menyakitkan.

“Anak kami itu tidak menunjukkan gejala sakit apa pun sampai hari Minggu tanggal 18. Dia masih bermain dengan teman-temannya di sekolah. Baru pada hari Senin dia mulai mengeluh sakit,” ujar Viator kepada awak media, Sabtu, 7 Juni 2025.

Menurut Viator, korban usai mendapat perundungan dan penganiayaan diam dan tidak langsung mengakui rasa sakit yang dideritanya.

Hingga pada akhirnya rasa sakit itu tak tertahankan dan baru disampaikan kalau dirinya dianiaya kakak kelasnya di belakang sekolah.

Anehnya, justru orang tua dari pihak yang diduga pelaku yang menyarankan agar korban diurut oleh tukang urut yang mereka sediakan, bukan keluarga korban yang mengambil inisiatif itu.

“Bukan kami yang membawa ke tukang urut. Bukan di rumah kami itu dilakukan. Jadi pernyataan dari Pak Dirkrimum Polda Riau sangat menyesatkan dan kami protes keras atas hal itu,” tegas Viator.


Keluarga menekankan bahwa mereka tidak menginginkan balas dendam atau menyakiti anak-anak lain yang terlibat, namun semata-mata mengharapkan adanya keadilan. 

Viator dan Gimson menyesalkan penggunaan bahasa oleh aparat kepolisian yang dinilai menyakitkan dan tidak empati terhadap duka yang sedang mereka alami.

“Kami hanya ingin keadilan. Tapi bahasa yang digunakan Pak Dirkrimum justru menyakiti kami, bukan meredakan duka kami,” kata Viator dengan nada geram dan mata berkaca-kaca .

Salah satu hal yang mereka soroti adalah pernyataan bahwa anak-anak yang terlibat tidak bisa dihukum karena masih di bawah umur. Menurut keluarga, pernyataan ini tidak sepenuhnya benar.

“Undang-undang perlindungan anak tidak mengatakan bahwa anak di bawah umur tidak bisa dihukum. Yang tidak bisa itu ditangkap dan diproses pidana umum, tapi ada proses hukum khusus,” ujarnya.

Keluarga juga menyayangkan bahwa dalam konferensi pers resmi yang disampaikan oleh pihak kepolisian, tidak ada satu pun penjelasan mengenai tanggung jawab pihak sekolah atau pemerintah daerah.

Padahal, Undang-Undang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 54, menyatakan bahwa sekolah dan pemerintah bertanggung jawab atas keselamatan anak-anak di lingkungan pendidikan.

“Kenapa arah pembicaraan hanya menyalahkan kami sebagai orang tua? Kenapa tidak ada pertanggungjawaban dari pihak sekolah yang jelas-jelas merupakan tempat kejadian?” tambah Viator.

Viator meminta agar proses hukum ditegakkan secara adil, transparan, dan manusiawi. Mereka meminta semua pihak, termasuk media dan aparat, tidak memperkeruh suasana dengan narasi yang tidak berdasar.

“Kami bukan ingin menghukum anak-anak yang terlibat, tapi tolonglah, keadilan itu ada jalannya. Jangan buat keluarga kami seolah-olah bodoh atau lalai. Kami ingin proses hukum yang benar,” pungkas mereka.