Kala Luhut Kecil Terpesona Baret Merah di Kota Pekanbaru

Luhut-Binsar-di-Kopassus.jpg
(Istimewa)

RIAU ONLINE, PEKANBARU - Bonar Pandjaitan akhirnya bekerja di Caltex, sebuah perusahaan minyak milik Amerika Serikat di Riau. Bonar tak ingin jadi tentara lagi setelah penurunan pangkat massal yang membuatnya turun dari letnan dua ke pembantu letnan.

Keluarganya sejahtera sejak bekerja di Caltex, Riau. Namun pada paruh kedua 1950-an, ketenangannya terusik. Kala itu perlawanan terhadap pemerintah pusat bergejolak dari Sumatera Barat dan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) berdiri. 

Riau merupakan daerah yang terjangkit PRRI. Sejatinya, PRRI satu paket dengan Permesta di Sulawesi Utara. Pasukan dari Jawa banyak yang dikirim ke daerah-daerah tersebut.

Pemerintah pusat pun mengirim tentara ke Kota Pekanbaru yang menjadi pusat Riau. Pasukan Kangguru yang berisikan pasukan Kompi A Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) dengan kemampuan terjun payung dikerahkan untuk merebut Pekanbaru. 

Pada 12 Maret 1958 pasukan ini diterjunkan dari Tanjungpinang hingga merebut lapangan udara Simpangtiga tanpa menemui kesulitan, karena para pengikut PRRI memiliki lari dan bersembunyi.

"Siang hari itu juga pasukan ini malahan sudah berhasil menguasai Kota Pekanbaru," catat Julius Pour dalam Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan, sebagaimana dilansir dari Historia.id, Minggu 29 Oktober 2023.

Letnan Leonardus Benjamin Moerdani alias Benny Moerdani adalah komandan yang memimpin Pasukan Kangguru dan Kompi A RPKAD. Pasukan ini bagian dari Operasi Tegas yang dipimpin Letnan Kolonel Kaharuddin Nasution. Usai merebut Pekanbaru, pasukan Benny ditugaskan ke Medan, Sumatera Utara.

Saat RPKAD menduduki Pekanbaru, anak tertua Bonar, Luhut Binsar Pandjaitan, masih duduk di SD. Ketika itu ia terpesona oleh kegagahan pasukan baret merah.


"Saat itu, ia melihat kegagahan prajurit RPAKD yang baru saja mendarat di Pekanbaru," catat Noorca Massardi dalam Biografi Luhut Binsar Pandjaitan.

RPKAD dengan prajurit yang tidak terlalu banyak mampu merebut Pekanbaru. Ini menjadi prestasi luar biasa bagi Republik Indonesia pada 1950-an. Peristiwa di Pekanbaru itu ternyata memberi kesan terhadap bocah yang disapa Luhut itu.

"Di Pekanbaru itulah, untuk pertama kalinya Luhut memantapkan tekad untuk menjadi prajurit RPKAD," sambung Noorca.

Meski begitu, Luhut muda tidak serta merta langsung bergabung dengan tentara. Menurut buku Tritura dan Hanura: Perjuangan Menumbangkan Orde Lama dan menegakkan Orde Baru, Luhut sempat kuliah, bahkan memimpin Presidium dari Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI). KAPI bahkan turut mengguncang pemerintahan Presiden Soekarno yang dianggap angkatan 66 sebagai Orde Lama dan ikut mendirikan Orde Baru.

Luhut masuk Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang setelah Soeharto naik jadi pejabat presiden pada 1967. Pemuda kelahiran Simargala, Toba Samosir pada 28 September 1947 itu lulus pada 1970 sebagai penerima Adhi Makayasa. Ia lulus bersama mantan KSAD Subagya Hadisiswoyo dan mantan Menteri Agama Fachrul Razi.

Namun RPKAD sudah tidak ada saat Luhut masih menjadi taruna di AMN. Tapi ada Pusat Pasukan Khusus Angkatan Darat (Puspassus AD) yang juga menggunakan baret merah. 

Mimpinya untuk mengenakan baret merah pun berlanjut dengan bergabung dengan Komando Pasukan Sandhi Yudha (Kopassandha), yang saat itu menggantikan Puspassus.

Ketika sudah menjadi letnan dan menjabat Komandan Kompi A Detasemen Tempur (Denpur) 1 Kopassandha, Luhut bertemu orang yang dulu memimpin perebutan lapangan udara di Kota Pekanbaru, Benny Moerdani. Saat itu Luhut hendak berangkat ke Timor-Timur lewat Halim Perdanakusumah. Di sana Benny yang sudah jenderal dan menjadi pejabat intelijen memberi briefing singkat.

"Saya percaya kalian akan bisa merebut Dili. Tetapi saya juga sadar, di antara kalian pasti akan ada yang gugur dalam pertempuran," kata Benny Moerdani, seperti ditulis Julius Pour dalam Benny: Tragedi Seorang Loyalis.

Benny tidak salah, mengingat perlawanan dari pejuang kemerdekaan Timor-Timur begitu kuat. Pasukan Indonesia memang berhasil merebut Dili. Tapi korban jiwa yang juga tidak sedikit. Di hari pertama pertempuran saja, sebanyak 21 personel Detasemen Grup 1 Kopassandha kehilangan nyawa.

Julius Pour dalam tulisannya menyebut bahwa Luhut yang dijadwalkan terjut untuk merebut landasan udara Comor, terpaksa batal terjun. Hercules yang dinaikinya terpaksa kembali ke Kupang karena sudah terlampau jauh melenceng dari dropping zone.

"Satu-satunya radio yang seharusnya untuk Letnan Kolonel Soegito juga tidak bisa diterimakan, karena terbawa terbang kembali," sambung Julius Pour.

Waktu pun akhirnya membuktikan bahwa Luhut pulang dengan selamat. Bahkan Luhut menjadi jenderal dan memainkan peran penting dalam perpolitikan nasional, meski tidak pernah menjadi panglima ABRI seperti Benny.