Rahul Jadi Ketua DPC Gerindra Pekanbaru, Tito: Indikasi Resentralisasi Partai Politik

Tito-Handoko.jpg
(Hasbullah)

RIAUONLINE, PEKANBARU - Pengamat Politik, Tito Handoko menilai ditetapkannya Rahul sebagai Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Gerindra Kota Pekanbaru sangat mengejutkan.

"Rahul tidak pernah dijagokan dan tidak pula pernah dimunculkan namanya dalam percaturan Partai Gerindra di Kota," ujar Tito, Jumat 23 Juli 2021.

Menurutnya, mekanisme penunjukan pimpinan di tingkat Cabang maupun Daerah yang dilakukan Dewan Pimpinan Pusat ini dapat mendistorsi prinsip demokrasi lokal.

"Tidak hanya di Gerindra, mekanisme ini juga terjadi di partai-partai lain yang penunjukan kepemimpinan di tingkat lokal di tentukan oleh struktur yang lebih tinggi di atasnya atau memang oleh DPP secara mutlak," papar kandidat doktor Universitas Muhammadiyah Yogya ini.

Kerapuhan bangunan prinsip demokrasi lokal memang disebutnya menjadi problem. Pilihannya sederhana saja stabilitas atau distabilitas pengelolaan partai.


"Ujung-ujungnya adalah legitimasi DPP yang digunakan untuk memotong mata rantai konflik di tingkat lokal," ujarnya.

Tak pelak, ditetapkannya Rahul sebagai Ketua DPC Partai Gerindra Kota Pekanbaru ini sekaligus menjawab tesis resentralisasi yang dimulai dari tubuh partai politik. .

Sebetulnya, pola-pola tangan besi DPP ini justru mengingatkan publik pada pengelolaan Partai Politik masa Orde Baru yang semua serba ditentukan oleh pusat.

Bagaimanapun legitimasi yang dibangun tetap akan menimbulkan riak mengingat Rahul tergolong "anak kemaren sore" di Gerindra dan banyak senior yang telah berdarah-darah membesarkan Gerindra di Kota Pekanbaru.

Bagi kader Partai Gerindra, gejolak batin pasti mereka rasakan apalagi Rahul secara family stories dibesarkan dalam Partai yang berbeda. Menurut Tito, hal ini menjadi ujian bagi Rahul untuk menyatukan Gerindra.

"Tantangan melakukan konsolidasi antara senior dan junior akan dihadapi oleh Rahul dan tentu saja dalam perjalannya akan dibuktikan dengan tercapai atau tidaknya target pemenangan Partai Gerindra pada 2024," jelasnya.

Di sisi lain, atensi masyarakat juga disebutnya menjadi persoalan eksistensi kekuatan politik lokal. Masyarakat nampaknya sudah tidak terlalu peduli dengan dinamika di tubuh partai politik sebab tidak ada untung ruginya selain even lima tahunan, Pilkada, Pileg, atau Pemilu.

"Ini juga menjadi preseden buruk bangunan demokrasi lokal yang mengharapkan tingginya tingkat partisipasi publik," tutupnya.