Mengulik Sejarah Masjid Kuning Bengkalis, Disebut Dibangun Panglima Asal Batusangkar

masjid-kungin.jpg
(Andrias)

Laporan: ANDRIAS

RIAU ONLINE, BENGKALIS - Warga Bengkalis tentunya tidak asing lagi dengan Masjid Kuning, di Jalan Panglima Minal, Desa Senggoro, Kecamatan Bengkalis. Letaknya sekira empat kilometer menuju arah Pusat Pemerintahan Kabupaten (Pemkab) Bengkalis, Riau.

Masjid didominasi warna kuning ini dibangun sekitar tahun 1817 silam, oleh tokoh yang memiliki nama asli Gombah Bauk. Tokoh ini paling dikenal dengan sebutan Panglima Mina di masanya itu ternyata berasal dari Batu Sangkar, Sumatera Barat.

Masjid Panglima Minal awalnya berupa sebuah masjid kecil. Namun, berjalanya waktu, dan semakin berkembangnya Agama Islam di Desa Senggoro maka masjid itupun dibangun menjadi masjid yang paling besar masa itu.

Kendatipun sudah terjadi beberapa kali rehab atau perubahan, namun tidak mengubah khas-nya sejak dahulu.

Masjid Kuning memiliki, dua kubah juga terdapat tiga pintu utama, satu di pintu belakang dan dua di samping kiri dan kanan. Serta memiliki dua puluh jendela samping dan belakang.

Bagian dalam dipenuhi tulisan Kaligrafi serta berplafon kayu. Tiang utamanya berada di tengah-tengah masjid berdiri kokoh sebanyak empat tiang berukiran kaligrafi.

Konon, Masjid Kuning dipercayai oleh masyarakat sebagai Masjid tertua yang ada di Kota Terubuk, Kabupaten Bengkalis. Kini, usianya mencapai 202 tahun masih berdiri kokoh dan cantik terlihat dengan khas warna kuningnya.

Mengulik sejarah Masjid Kuning dari Ketua pengurus Masjid Kuning, Azhar Efendi.


Dia menceritakan, Panglima Minal atau Gombak Bauk tiba ke tanah Bengkalis saat masa Bengkalis dikuasai oleh Lanun atau perampok laut di bawah pimpinan Megat.

"Perampok masa itu sangat meresahkan masyarakat karena sering merampok kapal-kapal masyarakat yang melintas di perairan Selat Bengkalis dan Tanjung Jati," cerita Azhar Efendi kepada RIAUONLINE.CO.ID, Sabtu, 23 November 2019.

Kata Azhar, akibat seringnya terjadi perampokan menbuat Raja Siak saat itu resah. Kemudian mengeluarkan sayembara untuk membasmi Lanun-lanun di Selat Bengkalis ini.

"Raja Siak saat itu menjanjikan akan menjadikan Panglima bagi siapa yang sanggup menumpas lanun atau perompak laut ini," ujar Azhar Efendi.

Tokoh Sumatra Barat yang saat itu mendengar sayembara dari Raja Siak, kemudian secara diam- diam mengunakan perahu berangkat ke daerah Tanjung Jati. Disaat itulah Gombak Bauk menantang para lanun untuk adu kesaktian.

Singkat cerita, Gombak Bauk atau Minal berhasil mengalahkan pimpinan lanun dan para Lanun ini sebagai tawanan kehadapan Raja Siak.

"Sesuai janjinya Raja Siak pun memberikan gelar Panglima kepada Gombak Bauk atau Minal hingga di zamannya di kenal Panglima Minal," sambungnya

Setelah mendapat gelar Panglima ini, Minal pindah ke kota Bengkalis bersama istrinya. Saat pindah itulah Panglima Minal membuat sebuah masjid, yang kemudian sampai saat ini masih berdiri kokoh.

Awalnya masjid ini juga hanya masjid terbuat dari kayu. Kemudian terus berkembang sampai saat ini dibantu sumbangan masyarakat secara pribadi maupun pemerintah akhirnya masjid ini berkembang sampai seperti sekarang.

Dinamakn Masjid Kuning

Nama Masjid Kuning diceritakan Azhar Efendi memiliki sejarah unik yang dipercaya oleh masyarakat. Konon, menurut warga Desa Senggoro, Kecamatan Bengkalis, masjid ini sebenarnya awal dibangun tidak diberi nama oleh Panglima Minal.

Selesai membagun masjid ini Panglima Minal bersama istrinya juga menanam pohon kenanga di sisi kanan dan kiri masjid.

"Pohon inilah kemudian tumbuh besar dan bunga-bunga kenanga berwarna kuning terus berguguran diatas masjid, sehingga lama-kelamaan menutupi masjid. Karena tertutup bunga kenanga masjid ini terlihat kuning dari kejauhan," ujarnya semberi menambahkan masyarakat yang melintas di depan masjid menyebutnya masjid kuning karena pantulan warna masjid tersebut.

Nama Masjid Kuning inilah yang digunakan oleh masyarakat Desa Senggoro dan melekat sampai saat sekarang.

Azhar mengakui, meskipun mengetahui sejarah Masjid Kuning, tetapi warga sekitar tidak memiliki catatan resmi terkait sejarah ini.

"Cerita ini kami dapatkan dari mulut ke mulut orang tua tua di sini. Bahkan sekarang mereka yang tau cerita ini juga sudah tidak ada lagi," tutupnya.