Oleh: Ilham Muhammad Yasir Redaktur Eksekutif RiauOnline
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Pembentukan Pasal 6A dalam UUD 1945 hasil amandemen merupakan salah satu pencapaian tertinggi dalam sejarah reformasi konstitusional Indonesia.
Namun untuk benar-benar memahami bobot konstitusionalnya, kita perlu menyelami ulang dinamika politik dan wacana hukum yang melatari lahirnya pasal ini.
Pasal 6A kembali relevan menyusul Putusan Mahkamah Konstitusi No. 62/PUU-XXII/2024 yang menghapus presidential threshold. Putusan MK ini, sesungguhnya secara tidak langsung sebagai mandat historis konstitusi.
Pasal ini bukan sekadar teks normatif. Ia lahir dari perdebatan mendalam di Panitia Ad Hoc I (PAH I) MPR, yang bertugas menyusun kerangka ketatanegaraan baru setelah tumbangnya Orde Baru.
Perdebatan ini mencerminkan tarik-menarik antara keinginan mempertahankan stabilitas melalui sistem perwakilan MPR dan dorongan kuat dari publik dan sebagian anggota MPR untuk mewujudkan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat.
Arus Besar Reformasi
Gagasan tentang pemilihan langsung presiden awalnya dianggap terlalu progresif, bahkan mengkhawatirkan. Beberapa fraksi, terutama dari kalangan TNI-Polri dan partai lama waktu itu, menyuarakan bahwa rakyat belum siap secara politik, dan bahwa pemilihan langsung bisa memicu konflik horizontal.
Namun, arus besar reformasi yang menuntut pemulihan kedaulatan rakyat tidak terbendung. Akhirnya, kompromi konstitusional tercapai: Presiden dan Wakil Presiden akan dipilih secara langsung dalam satu pasangan oleh rakyat, sebagaimana akhirnya ditegaskan dalam Pasal 6A.
Pasal ini menjadi manifestasi kedaulatan rakyat yang otentik. Ia menegaskan bahwa dalam sistem presidensial, kekuasaan eksekutif harus memperoleh legitimasi langsung, bukan melalui representasi parlemen seperti dalam sistem parlementer.
Presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, melainkan kepada pemilih sebagai pemegang mandat.
Praktik Menyimpang
Namun selama dua dekade terakhir, praktik konstitusi menyimpang dari semangat awal ini. Presidential threshold membatasi jumlah pasangan calon, dan akibatnya, rakyat dipaksa memilih di antara opsi-opsi yang telah disaring oleh elite partai.
Ketentuan ini memang bukan berasal dari konstitusi secara langsung, tetapi dari undang-undang turunannya. Di sinilah kontradiksi itu terjadi: semangat konstitusi membuka ruang, tapi undang-undang menutup pintu.
Putusan MK No. 62 Tahun 2024 adalah koreksi historis terhadap penyempitan itu. MK membaca kembali semangat amandemen, bukan hanya bunyinya. Dalam pertimbangannya, Mahkamah tidak hanya menafsir Pasal 6A secara tekstual, tetapi juga secara kontekstual, dengan merekonstruksi maksud para perumusnya di era reformasi.
Kedaulatan Rakyat
Lebih jauh, MK menyadari bahwa dalam sistem pemilu serentak seperti sekarang, presidential threshold justru menjadi sumber ketimpangan. Ia membuat pencalonan presiden tidak didasarkan pada hasil pemilu aktual, melainkan pada hasil pemilu lima tahun sebelumnya.
Dalam amandemen UUD 1945, tidak pernah dimaksudkan bahwa akses terhadap pencalonan akan tergantung pada hasil politik masa lalu.
Oleh karena itu, penghapusan threshold sejatinya adalah pengembalian makna Pasal 6A ke tempat semula: sebagai jaminan konstitusional bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat, tanpa perantara yang membatasi.
Bahwa rakyat tidak hanya diberi hak untuk memilih, tetapi juga untuk memiliki banyak pilihan. Dan bahwa legitimasi presiden bukan hasil transaksi politik elite, tapi kehendak langsung dari suara rakyat.
Penutup
Ke depan, tugas besar kita adalah merawat kembali semangat itu. Amandemen bukan sekadar produk hukum, tetapi perwujudan kehendak politik kolektif bangsa. Pasal 6A adalah simbol dari babak baru demokrasi Indonesia yang berorientasi pada partisipasi langsung. Ia harus terus dijaga dari reduksi, manipulasi, dan penyimpangan.
Maka tulisan ini adalah ajakan, agar kita kembali menengok ke meja-meja rapat PAH I dua setengah dekade lalu, membaca ulang risalah sidang MPR jayaslot, dan merefleksikan kembali suara reformasi yang pernah nyaring menggema: bahwa kekuasaan harus datang dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Semoga.
*Dewan Pembina Yayasan Peduli Literasi Demokrasi Riau (YPLDR), Ketua dan anggota KPU Provinsi Riau 2014–2019 dan 2019–2024.