Oleh Ilham Muhammad Yasir, RedakturEksekutifRiauOnline
RIAU ONLINE, PEKANBARU - LEBIH dari dua dekade pasca-reformasi, demokrasi elektoral Indonesia masih belum stabil dalam lingkaran regulasi yang mengaburkan makna partisipasi rakyat. Salah satu simpul penghambatnya adalah Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, yang mensyaratkan presidential threshold (PT) 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara nasional untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Namun, melalui Putusan MK No. 62/PUU-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membatalkan pasal tersebut dan menyatakan inkonstitusional karena melanggar moralitas, rasionalitas, dan asas keadilan yang tak tolerable dalam demokrasi konstitusional. Sebelumnya, melalui putusan MK No. 116/PUU-XXI/2023 tanggal 29 Februari 2024, MK juga telah memutuskan parliamentary thresholdkonstitusional bersyarat untuk Pemilu 2029. Tidak dihapus, tapi meminta para pembuat UU melakukan kajian ulang.
MK juga mengoreksi ketentuan threshold untuk pilkada melalui Putusan MK No. 60/XXII/2024 pada 20 Agustus 2024. MK menurunkan ambang batas dari 20 persen kursi di DPRD dengan mendasari jumlah penduduk di dalam daftar pemilih dengan empat kategori: 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen.
Pemohon atas Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 diajukan oleh seorang mahasiswa Fakultas Hukum dan Syariah UIN Kalijaga, Yogyakarta. Dr Yance Arizona, selaku ahli pemohon menyampaikan telah terjadi pergeseran paradigma yudisial MK dari model abusive judicial review menjadi responsive judicial review (lihat putusan hlm. 53).
Mahkamah tidak lagi bersembunyi di balik 'kebijakan hukum terbuka' (open legal policy), melainkan mulai aktif mengoreksi distorsi konstitusional yang menggerus hak rakyat dalam berdemokrasi. Mahkamah tidak sekadar menjadi penjaga teks, tetapi juga penjaga ruh konstitusi.
Batas Moralitas
Mahkamah menilai bahwa Pasal 222 telah melampaui batas moralitas demokrasi. Regulasi ini telah menyingkirkan potensi kandidat alternatif dengan dalih penguatan sistem presidensial, padahal justru melemahkan fungsi kaderisasi partai dan mempersempit spektrum pilihan rakyat (hlm. 30–34). Fenomena koalisi pragmatis, sebagaimana terlihat dari “koalisi gemuk”. Pemilu 2019 dan 2024, adalah bukti nyata rusaknya lanskap politik akibat ketentuan ini (hlm. 39–40).
Ambang batas ini juga mendorong oligarki politik dan mengalienasi pemilih dari pesta demokrasi. Sejumlah tokoh seperti Airlangga Hartarto (Golkar), Dahlan Iskan (Demokrat), Tommy Soeharto (Berkarya), dan Giring Ganesha (PSI) pernah didorong oleh partainya, namun kandas karena aturan ini. Bahkan suara pemilih dari Pemilu sebelumnya 'dibajak' untuk memenuhi ambang batas di pemilu berikutnya—sebuah ironi terhadap prinsip one person, one vote, one value (OPOVOV) (hlm. 45–46).
Fondasi Rasionalitas
MK mengkritik fondasi rasionalitas PT yang selama ini dijustifikasi oleh elite sebagai instrumen menyaring calon berkualitas dan menjamin stabilitas pemerintahan. Faktanya, pengalaman negara-negara demokrasi presidensial seperti Amerika Serikat, Brasil, dan Uruguay menunjukkan bahwa tanpa ambang batas pun, pemerintahan tetap stabil dan legitimasi tetap terjaga (hlm. 35–38). Bahkan Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia yang mematok angka paling tinggi, yaitu 20 persen dari kursi DPR (hlm. 36).
Melayani Oligarki
Studi dari Abdul Ghaffar menunjukkan bahwa PT di Indonesia hanya melayani oligarki partai besar dan mengebiri partai baru, tanpa menghasilkan coattail effect positif. Data Pemilu 2019 dan 2024 menunjukkan bahwa partai pengusung presiden pemenang tidak mengalami kenaikan suara signifikan. Gerindra, PAN, bahkan Golkar justru mengalami penurunan suara di tengah kemenangan Prabowo-Gibran (hlm. 39–40).
Dalam pertimbangan hukum (hlm. 41–42), Mahkamah menyatakan bahwa PT menimbulkan ketidakadilan yang nyata karena mereduksi pilihan pemilih hanya pada calon dari partai besar. Hak konstitusional untuk memilih calon pemimpin berdasarkan preferensi ideologis digantikan oleh 'paket kompromi' hasil lobi partai politik. Pemilu serentak menjadi ironi ketika hasil pemilu DPR sebelumnya digunakan sebagai dasar pencalonan presiden di masa depan, melanggar asas periodik dan menciptakan distorsi representasi (hlm. 44–46).
41 Kali Diuji
Putusan ini juga menimbang kuatnya dukungan sosiologis terhadap penghapusan PT. MK mencatat bahwa Pasal 222 telah diuji konstitusionalitasnya sebanyak 33 kali sejak tahun 2017 (hlm. 54). Permohonan ini pertama kali diajukan oleh Rhoma Irama melalui Partai Idaman di awal disahkannya UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ketika itu. Banyaknya gugatan ini membuktikan bahwa ada kegelisahan publik yang akut atas kebuntuan demokrasi. Tidak berlebihan jika putusan ini disebut sebagai pintu masuk ke arah rekonstruksi sistem pemilu yang lebih demokratis dan representatif.
Terkait keinginan menghapuskan presidential threshold, sebenarnya sudah cukup lama dan panjang perjalanannya. Pertama kali diajukan seorang purnawirawan TNI, Saurip Kadi di akhir tahun 2008 terhadap Pasal 9 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pilpres. Ketika itu juga cukup banyak yang ikut memohonkan, di antaranya sejumlah koalisi partai non parlemen, seperti PBB, Partai Buruh, Partai Indonesia Damai Sejahtera, Partai Republik Nusantara, dan Partai Peduli Rakyat Nasional.
MK dalam putusan yang dibacakan 18 Februari 2009 menolak dan menegaskan bahwa pasal 9 tersebut merupakan open legal policy pembuat undang-undang. Setelah itu pengujian tetap dilakukan berkali-kali, dan ada kurang lebih 9 kali permohonan terhadap UU No. 42 Tahun 2008 ini. Jadi total keseluruhan ada 41 kali pengujian baik di UU No. 42 Tahun 2008 maupun UU No. 7 Tahun 2017, tapi tetap ditolak oleh MK, ketika itu.
Dalam konteks rekonstruksi Pemilu 2029, putusan ini bukan semata keputusan hukum, melainkan sinyal bahwa demokrasi kita sedang mencari bentuk yang lebih inklusif dan substansial. Partai-partai politik tak bisa lagi berlindung di balik pintu sempit aturan administratif, tapi harus kembali pada fungsi utamanya: rekrutmen kader dan artikulasi aspirasi rakyat.
Penutup
Mahkamah telah menegakkan mandat konstitusi. Kini giliran publik dan partai politik untuk menjawabnya dengan komitmen pada demokrasi yang sehat—yang memberi ruang bagi semua anak bangsa untuk ikut serta, tak hanya mereka yang punya modal atau koneksi kekuasaan. Momentum ini adalah kesempatan emas untuk memutus rantai oligarki, dan menjadikan 2029 sebagai pemilu yang benar-benar adil, bebas, dan setara bagi semua. Semoga.***
*Dewan Pembina Yayasan Peduli Literasi Demokrasi Riau (YPLDR), Ketua dan anggota KPU Provinsi Riau 2019–2024 dan 2014 – 2019.