Oleh Ilham Muhammad Yasir, RedakturEksekutifRiauOnline
RIAU ONLINE, PEKANBARU - SENGKETA hasil Pemilihan Presiden 2024 menorehkan catatan penting dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Di tengah kepadatan isu elektoral, perhatian publik tersedot ke Mahkamah Konstitusi (MK) ketika itu sebagai panggung terakhir penentuan keabsahan hasil pilpres 2024. Dua pasangan calon presiden—Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Mahfud MD—menggugat hasil pilpres dengan berbagai dalil pelanggaran dan ketidakadilan prosedural. Mereka mempertanyakan validitas hasil dan netralitas negara dalam proses penyelenggaraan pilpres.
Namun yang paling menonjol dalam dinamika sidang adalah perbedaan pandangan di antara majelis hakim MK. Dari delapan anggota majelis hakim yang menyidangkan perkara, tiga di antaranya menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion. Mereka menilai bahwa terdapat pelanggaran yang signifikan dan terstruktur yang berdampak pada hasil akhir pemilu. Pendapat ini bukan hanya berbeda secara teknis, melainkan juga menyuarakan perbedaan prinsipil dalam memaknai keadilan elektoral.
Dissenting Opinion
Saldi Isra secara tegas menyoroti ketidaknetralan aparatur negara, khususnya penjabat kepala daerah, yang menurutnya menjadi bagian dari desain sistematis untuk memenangkan pasangan tertentu. Dalam pandangannya, tindakan semacam ini telah mencederai prinsip kejujuran dan keadilan pemilu, yang seharusnya dijaga oleh seluruh komponen negara.
Sementara itu, Enny Nurbaningsih mengambil pendekatan serupa namun lebih menekankan pada aspek sistemik. Ia menyatakan bahwa pelanggaran yang terjadi bukan hanya insidental, melainkan telah menyentuh integritas pemilu secara keseluruhan. Baginya, pelanggaran yang signifikan dan tersebar luas tidak bisa dibiarkan berlalu tanpa koreksi.
Arief Hidayat menambahkan dimensi yang lebih konkret dengan menyoroti penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) yang digunakan secara politis selama masa kampanye. Ia menegaskan bahwa manipulasi distribusi bansos tidak hanya bertentangan dengan prinsip netralitas negara, tetapi juga berpotensi besar memengaruhi preferensi pemilih. Ia menyebut tindakan semacam itu sebagai bentuk kooptasi kekuasaan terhadap rakyat yang rentan.
Ketiga pendapat ini, meskipun berada di pihak minoritas, membawa pesan moral dan hukum yang kuat. Mereka bukan sekadar menolak hasil, tetapi mengajak publik untuk melihat lebih dalam soal substansi keadilan dalam pemilu. Melalui dissenting opinion tersebut, ketiganya menghadirkan pendekatan hukum progresif—sebuah kerangka pemikiran hukum yang tidak sekadar terikat pada legalitas prosedur, melainkan mencari keadilan substantif yang berpihak pada kepentingan rakyat dan legitimasi demokrasi.
Independensi Hakim
Dissenting opinion dalam tradisi hukum konstitusi merupakan bentuk ekspresi independensi hakim. Dalam konteks Pilpres 2024, dissenting opinion tersebut justru menjadi cermin dari integritas sebagian hakim dalam menjaga marwah konstitusi. Ketiga hakim ini mencatatkan bahwa penggunaan aparat negara secara masif, pelanggaran etik penyelenggara pemilu, dan bias kekuasaan yang terang-terangan telah mencederai prinsip netralitas negara yang seharusnya menjadi pondasi utama dalam pemilu yang demokratis.
Putusan mayoritas MK yang menolak permohonan secara keseluruhan memang bersifat final dan mengikat. Namun kehadiran dissenting opinion menjadi semacam 'catatan kaki' sejarah, yang kelak akan dibaca ulang sebagai bentuk peringatan bahwa hukum tidak selalu tunggal dalam tafsir, apalagi dalam perkara yang melibatkan kepentingan politik tingkat tinggi. Perbedaan pandangan ini memberi sinyal bahwa di tengah tekanan politik dan ekspektasi publik, masih ada hakim yang berdiri atas dasar nurani dan konstitusi.
Putusan Mayoritas
Reaksi publik terhadap dissenting opinion tersebut cukup luas. Di satu sisi, banyak yang mengapresiasi keberanian tiga hakim tersebut dalam menjaga integritas hukum dan memberi warna pada dinamika konstitusional. Di sisi lain, sebagian menganggapnya tidak cukup mengubah putusan akhir, dan hanya menjadi semacam 'opini pelipur lara'. Namun demikian, dalam sistem hukum yang demokratis, dissenting opinion memegang peranan penting dalam membentuk preseden, membuka ruang refleksi, dan menjadi pijakan kritik terhadap dominasi putusan anggota majelis mayoritas.
Yang menarik, ini bukan kali pertama Mahkamah Konstitusi menghadapi ujian legitimasi dalam sengketa hasil pilpres. Dalam beberapa pilpres sebelumnya, MK juga menjadi tempat gugatan yang penuh tekanan politik. Namun pada Pilpres 2024, tekanan itu tidak hanya berasal dari luar, tetapi juga tampak dalam bentuk ketegangan internal majelis. Perbedaan pendapat di antara para hakim menunjukkan bahwa konsensus tidak selalu bisa dibentuk ketika menyangkut persoalan mendasar seperti etika kekuasaan dan integritas proses pemilu.
Desain Pilpres
Ke depan, catatan ini akan sangat berharga dalam membangun desain hukum pilpres yang lebih adil dan transparan. Publik perlu diyakinkan bahwa lembaga yudikatif tidak tunduk pada arus kekuasaan, dan dissenting opinion harus diberi ruang dalam ruang demokrasi sebagai tanda bahwa hukum masih hidup. Putusan Mahkamah Konstitusi bukan sekadar soal kalah dan menang, tapi bagaimana proses itu mencerminkan nilai keadilan substantif, bukan hanya prosedural.
Penutup
Ketika Mahkamah Konstitusi akhirnya membatalkan presidential threshold pada Januari 2025, barangkali itulah momen di mana sebagian suara dissenting ini menemukan pembenaran sejarah. Bahwa demokrasi tidak bisa terus dikunci dalam lingkaran sempit oligarki dan kooptasi kekuasaan. Bahwa suara minoritas dalam ruang hukum bisa menjadi awal dari koreksi besar dalam sistem elektoral kita. Di sinilah pentingnya mencatat, meskipun hanya tiga dari lima, suara dissenting itu telah menggetarkan dinding konstitusi.***
*Dewan Pembina Yayasan Peduli Literasi Demokrasi Riau (YPLDR), Ketua dan anggota KPU Provinsi Riau 2019–2024 dan 2014 – 2019.