Oleh: Ilham Muhammad Yasir Redaktur Eksekutif RiauOnline
RIAU ONLINE, PEKANBARU - Presiden 2014 bukan sekadar pertarungan dua tokoh besar—Joko Widodo dan Prabowo Subianto. Pilpres ini menjadi panggung penting dalam transisi demokrasi Indonesia pasca satu setengah dekade reformasi.
Di tengah gegap gempita kampanye dan polarisasi yang tajam, kembali tersekat oleh ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional.
Sebuah regulasi yang sangat menyekat partisipasi. Menyusutkan keragaman pilihan, dan menggiring pemilih pada arena politik yang terus menyempit. Ketentuan threshold yang tinggi ini sudah diatur sejak Pilpres 2009 melalui UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Partai politik atau koalisi partai yang ingin mencalonkan pasangan calon harus mengantongi minimal 112 kursi dari total 560 kursi di DPR, atau 25 persen suara sah nasional.
Dalam praktiknya, tidak satu pun partai politik hasil Pemilu 2014 yang sanggup mencalonkan presiden secara mandiri. Bahkan partai pemenang pemilu, PDI Perjuangan, hanya meraih 109 kursi. Maka terbentuklah dua koalisi besar secara pragmatis.
Koalisi Gemuk
PDI-P menggandeng NasDem, PKB, dan Hanura untuk mengusung pasangan Joko Widodo–Jusuf Kalla, sementara kubu Prabowo Subianto–Hatta Rajasa menghimpun koalisi gemuk dari Gerindra, PAN, Golkar, PKS, PPP, dan PBB.
Dua poros ini mengunci seluruh spektrum pencalonan dan secara otomatis menutup peluang bagi tokoh-tokoh alternatif di luar sistem partai besar. Mereka yang sempat disebut-sebut sebagai calon potensial, seperti Mahfud MD, Dahlan Iskan, atau Rizal Ramli pada akhirnya hilang dari bursa pencalonan karena tak memiliki kendaraan politik yang memenuhi threshold.
Alih-alih menjadi mekanisme penyaring rasionalitas politik, threshold justru menjelma menjadi palang pintu eksklusivitas. Ia mengharuskan partai kecil tunduk pada persekutuan oligarki, menghapus ruang eksistensi ide-ide dan gagasan baru.
Menyandera pemilih dalam pilihan yang sangat terbatas. Demokrasi elektoral yang seharusnya memberi akses luas pada rakyat untuk memilih dari ragam calon, justru dibelokkan ke arah pembelahan sempit: pro Jokowi atau pro Prabowo.
Polarisasi Sosial
Jauh dari itu, ambang batas juga menjadi pintu masuk polarisasi sosial yang dalam. Pada Pilpres 2014, perbedaan pilihan politik berkembang menjadi sekat identitas yang tajam. Dunia maya dan ruang publik riuh dengan narasi saling serang.
Koalisi bukan lagi dibangun atas dasar visi dan platform, tetapi pada kalkulasi kursi dan elektabilitas. Basis pendukung pun dikonsolidasikan dengan semangat “kami” versus “mereka”.
Situasi ini diperkeruh oleh ketidakseimbangan akses media, disinformasi, dan kampanye negatif yang mengikis ruang kesetaraan dan keadilan. Pemilu tak lagi menjadi festival gagasan, tapi jadi arena pertarungan simbol dan loyalitas.
Sedihnya, semua ini berakar dari satu pasal dalam undang-undang yang mematok angka kuantitatif sebagai tiket pencalonan presiden. Sehingga demokrasi yang seharusnya terbuka menjadi tertutup oleh sekat-sekat prosedural.
Desain Politik
Apa yang terjadi di Pilpres 2014 sejatinya bukan anomali, melainkan buah dari desain sistem politik yang dibiarkan berjalan dalam ruang terbatas. Aturan yang mestinya menjamin stabilitas pemerintahan justru menciptakan stagnasi representasi.
Dalam jangka panjang, ini dapat berbahaya: rakyat akan kehilangan pilihan, calon alternatif terpinggirkan, dan sistem politik menjadi seperti kartel yang hanya bergantian mendaur ulang tokoh yang sama.
Tentu, demokrasi bukan soal kuantitas calon semata. Tapi ketika regulasi sudah sedemikian rupa menyaring siapa yang boleh tampil di panggung calon presiden, maka yang terjadi bukan kompetisi ide, melainkan duopoli kekuasaan.
Pilpres 2014 memberi pelajaran penting bahwa kualitas demokrasi tidak hanya diukur dari prosedur yang sah secara hukum, tetapi juga dari sejauh mana ia memberi akses setara bagi semua warga negara untuk mencalonkan dan dicalonkan.
Penutup
Pasca Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus presidential threshold pada awal 2025, kita dapat menengok ke belakang dengan lebih jernih. Bahwa apa yang terjadi di 2014 adalah puncak awal dari eksklusivitas politik yang terus berulang hingga 2019.
Maka menjadi kewajiban kita bersama untuk memastikan agar pemilu ke depan, terutama pemilu 2029 tidak lagi dibangun oleh bayang-bayang sekat dominasi, melainkan atas dasar keadilan politik dan keterbukaan.
Jika pemilu adalah cermin demokrasi, maka Pilpres 2014 adalah refleksi atas memudarnya wajah demokrasi itu sendiri. Saat partisipasi telah dibatasi, dan pilihan telah dikunci, maka sesungguhnya rakyat sedang dipaksa bermimpi dalam mendapatkan kebebasan.
*Dewan Pembina Yayasan Peduli Literasi Demokrasi Riau (YPLDR), Ketua dan anggota KPU Provinsi Riau 2019–2024 dan 2014 – 2019.